Langsung ke konten utama

Surga, Neraka dan Sikap Hidup

Saat dua objek masa depan di atas dibincang, seringkali manusia terperangkap dalam debat yang tak bertepi. Sebagian menganggap itu hanya realitas simbolik, sebagian lainnya 'menebak' sebagai ruang kenikmatan di satu sisi, dan ruang kesengsaraan di sisi lain.

Pada peristiwa lainnya, tema Surga dan Neraka kini telah dipermaklumkan sebagai isi cerita para pengkhutbah yang ketinggalan zaman. Bahwa bagi siapa pun yang kini masih senang bicara seputar surga dan neraka, itu dianggap sebagai corak beragama yang sedemikian tertinggal di tengah wacana keagamaan yang kian terpenggal.

Dengan sangat konservatif, coretan ini juga sedang larut dalam bincang surga dan neraka. Kendati terus berusaha memandangnya dalam pantulan dimensi kekinian. Bahwa memahami realitas Surga dan Neraka sangat berbanding lurus dengan memahami akan arti kehadiran manusia, berikut dengan tanggung jawab yang diembannya.

Sebab terlalu naif, jika gugusan doa dan pengharapan kita panjatkan dengan kedua tangan menengadah mengejar surga. Sementara di waktu yang lain, tangan juga terkotori perilaku fitnah, dengki dan kemunafikan. Itu artinya, manusia mendamba surga, namun perilakunya lebih memantaskan sebagai penduduk pribumi di neraka.

Surga dan neraka juga menandai babak baru terhadap karakter serta sikap hidup setiap manusia. Termasuk dalam dimensi empiris. Ketegasan untuk memilih Surga dan mencampakkan Neraka sama halnya dengan ketegasan menentukan sikap hidup.

Terlalu memalukan jika manusia senang bermain-main di zona remang-remang. Tampaknya surga, namun faktanya neraka, atau pun sebaliknya. Boleh jadi, dalam menilai sesama pun akan digunakan alas pikir yang sama. Bahwa apa yang dilakukan oleh orang lain, selalu diseret paksa ke alam pikirannya.

Secara sepihak, nalarnya dinobatkan sebagai hakim atas kehidupan orang lain. Tanpa harus berusaha lebih bijak terhadap lingkar ketidaktahuannya pada aspek yang lebih utuh. Bukankah ini bagian dari sikap hidup yang amat sangat picik?

Hancurnya reputasi seseorang ataupun yang baru menapaki identitas 'jadi orang' disebabkan oleh sikap tidak terang alias abal-abal. Ingin disebut penengah, namun di belakang layar terus bergerak dengan gaya saudagar, alias cari untung. Kesenangannya dalam bersikap masih seringkali dihembuskan dari nafsu suka dan tidak suka.
Karena itu, jangan heran jika karakter bermuka dua alias munafik akan terus menjangkiti relung jiwanya. Di permukaan tampak idealis-fantastis-bombastis, namun jejak hidupnya terbilang miris. Cukup dengan mengingatnya kembali bakal membuat kita terus menangis. Kasihan!

Perhatikanlah ketika Allah swt berfirman dalam Qs. Al Baqarah; 11-12. "Dan bila dikatakan kepada mereka, janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tapi mereka tidak sadar".

Demikianlah Allah swt telah menggariskan dengan tegas betapa tidak sedikit umat manusia di dunia ini tengah terjangkit oleh penyakit kemunafikan. Lebih ajaib, sebab tanpa dipermaklumkan pun, mereka sendiri yang akan mengupas aib serta kebusukan batinnya ke alam nyata. Cepat atau lambat.

Sekali lagi, realitas simbolik atas Surga dan Neraka, jika direfleksikan lebih jernih, akan hadir pesan penuh makna; Wahai Manusia, sehatkan ragamu, jernihkan hatimu, tegaskan dirimu akan kemana arah dan masa depan kalian? Biasakanlah memastikan sebuah pilihan hidup.

(Wallahul Mustaan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa