Langsung ke konten utama

Media di Mata Agama, dan Sebaliknya

Pada sebagian pihak, media dipersepsi lahir dari rahim peradaban Yahudi. Ia lebih dekat kepada mainstream propaganda zionisme dari pada kepentingan menuangkan informasi yang sebenarnya. 

Anggapan itu terus menguat ketika satu rumusan ilmiah dari Mazhab Frankfurt menemukan bahwa kesaktian media hingga detik ini hanya mampu menampilkan realitas kedua (second reality), sebab telah melalui fase konstruksi serta produksi.

Media juga dipandang sebagai arus kekuatan pemodal dan penguasa dalam menggerakkan kebohongan yang berulang-ulang hingga menjadi kebenaran yang ditelan mentah-mentah atas nama kepentingan keduanya.
Jika lebih ekstrim, media dianggap tak memiliki pertalian yang jelas dengan Agama (Islam). Wajar, dalam beberapa event bercita rasa agama, media dituding berkontribusi serba negatif, minimal dianggap tak penting menyimak konstruksi/ mekanisme berpikir media terhadap Agama. Lebih jauh, media terus disudutkan ke alam terkutuk; tak wajar jika media bergumul dengan agama. Sebab merupakan fitnah yang terlembagakan.

Sebaliknya, realitas media juga menunjukkan sikap yang masih gamang dan malu-malu ketika menggarap isu-isu bercorak khas agama. Narasi ritualitas masih begitu kental terasa dalam penyajian berita, lalu mengabaikan irisan lain. Padahal sesungguhnya itu jauh lebih penting.

Sebagai misal, ketika Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan gagasan Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan, media tampaknya tak melihat varian-varian menarik sebagai isu hot lagi mendebarkan. Padahal dari sanalah sesungguhnya dapat mengambil pijakan konseptual tentang bagaimana media 'menggembosi' umat agar benar-benar utuh menjaga marwah ajaran agamanya dalam satu kesatuan NKRI; Beragama sekaligus Bernegara.

Idealnya, alas pikir media dalam menggarap isu agama benar-benar runtut dalam hirarki berpikir Pancasila. Itu berarti media dituntut berani menerobos gagasan beragama yang benar-benar konsisten di atas garis falsafah pancasila. Sehingga, ada tanggung jawab besar para awak media untuk terus menjadi bagian dari benteng perlawanan terhadap pergerakan transnasional (wahabisme dan khilafah oriented).

Namun faktanya, trend wahabisme tampaknya telah mendominasi sejumlah konten media, khususnya televisi. Bahkan ada kesan media masih melonggarkan arus ajaran yang sesungguhnya tak pantas tumbuh subur di Indonesia.

Alasan bahwa media berdiri di atas semua kepentingan memang harus tetap dijunjung tinggi. Tapi jangan lupa, memberi toleransi atas hal yang satu ini lamat-lamat bakal menggerus komitmen ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an kita. Pada posisi ini, media semestinya tegas untuk berkata TIDAK pada siapapun yang tak ingin melihat bangsa ini lestari dengan keragamannya.

Dalam tangkapan yang lebih dekat, yakni soal penentuan awal puasa dan penetapan hari lebaran Idul Fitri. Jika masih menggunakan pola memperhadap-hadapkan antara satu mazhab dengan mazhab lain, di sinilah kesemrawutan dan tampak betapa tertinggalnya konstruksi berpikir media terhadap Agama. Sekaligus melanggengkan paradigma khilafiyah sebagai model beragama yang sama sekali tak punya peluang saling berkompromi. Ini keliru dan tak boleh dibiarkan keliru.

Pada posisi inilah, media harus memiliki frame berpikir yang jitu, atau di kalangan pesantren dikenal dengan istilah gaya berpikir manhajiyah, bukan mazhabiyah. Utamanya dalam membaca agama sebagai objek isu yang selama ini masih memerlukan pengembangan analisa yang lebih maju dan progresif.

Bagi saya, ini jelas bukanlah proyek sekali jadi. Sebab subtansinya, membincang agama dalam tangkapan media sama halnya sedang merancang satu peradaban. Dan Itu pasti membutuhkan waktu yang tak sedikit.
Rancangan Undang-undang perlindungan umat beragama, kebijakan dan strategi pemerintah daerah terhadap pengembangan toleransi beragama, penyiapan sarana dan rumah ibadah berbasis tata ruang wilayah, pasokan sumber daya manusia di bidang pembinaan umat, dan porsi anggaran pembinaan umat adalah sederet garapan isu yang sayang dilewatkan begitu saja.

Sejumlah point di atas kiranya dapat menjadi cetak biru bagaimana mengukur keberhasilan suatu pemerintah di bidang agama. Akan lebih menarik jika perspektif itu bergerak dari rahim redaksi media.

Insya Allah, di usianya yang ke-12, Radar Sulbar menjadi bagian dari ikhtiar ini. Kata para Ulama, menulis di media itu lebih memperjelas atas bakti ketaatan kita di muka bumi.


Jika sebuah perusahaan media mampu mengartikulasi makna spiritualitas, lalu dituangkan dalam karya jurnalistik, di saat yang sama sesungguhnya juga sedang bergerak menuju kesadaran keabadian. Kesadaran berbakti kepada Tuhan. Selanjutnya, biarlah malaikat yang melanjutkan pencatatan itu tiba saatnya Tuhan memanggil; Saatnya Pulang, genggamlah catatan duniamu. Met Ultah Radar Sulbar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa