Mimbar Masjid acap kali menyajikan gambaran peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw sebagai ihwal keajaiban hikayat semata. Sehingga lingkar kesimpulan umat Islam hanya disesaki oleh jawaban atas pertanyaan ‘bagaimana’, bukan ‘mengapa’. Padahal, peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw merupakan etape penting dalam rangkaian perjuangan berat beliau melanjutkan transformasi moral, sosial, dan spiritual umat manusia.
Adalah Wahyuddin Halim, dosen saya, menukilkan pesan transformatif Isra Mi’raj tahun 2008 silam. Katanya, ada tiga pesan penting yang seharusnya tak boleh diabaikan setiap kali mengenang peristiwa itu. Dengan maksud merevitalisasi dan mereguk hikmahnya bagi kehidupan kita.
Pertama, sebelum Nabi melakukan Isra’ dan Mi’raj, beliau mengalami tiga ujian terberat sejak beliau mendapat mandat kenabian. Yaitu, meninggalnya dua penolong dan pelindung utama beliau, istrinya, Khadijah al Kubra, dan pamannya, Abu Thalib. Kala itu disebut tahun duka cita (amul huzn). Ditambah lagi dengan semakin kerasnya tantangan dari kalangan kaum kafir Quraisy terhadap beliau.
Allah Maha Adil, Isra Mi'raj menjadi perjalanan wisata batin setelah sekian waktu dirundung duka. Bahwa di balik kedukaan yang mencekam, tersimpan kebahagiaan yang membungkam. Pelajaran terpenting atas pesan ini, Allah selalu menyiapkan lembaran kehidupan yang terbungkus kebahagiaan. Sebaliknya, Tuhan tak senang pada para penggerutu, menyesali diri serta mendekam dalam sesal tak berkesudahan. Sebab itu sama halnya dengan menyumpal pintu kasih sayang Tuhan.
Kedua, ketika Nabi berada pada ‘jarak’ terdekat yang bisa dicapai seorang hamba dengan Allah, apa pun permintaan Nabi sebenarnya bakal dikabulkan. Tapi dalam puncak tertinggi ekstase spiritualnya, Nabi tak meminta agar dikekalkan dalam maqam spiritual tertinggi, guna melepas diri dari tantangan berat di alam dunia. Nabi justru bermohon agar umatnya diselamatkan dari siksaan berat neraka.
“Muhammad dari Arabia naik ke langit tertinggi dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah kalau aku seperti dia, tentu aku takkan mau kembali,” ungkap seorang sufi Indo-Pakistani dalam seuntai puisinya yang dikutip Muhammad Iqbal.
Apa hikmah yang bisa ditenggak dari sini? Perjalanan spiritual sejati seseorang ternyata bukan berakhir tatkala telah merasa sedemikian dekat dengan Allah.
Justru saat maqam terdekat dengan Tuhan telah diraih, sang pejalan spiritual itu harus kembali melantai ke komunitas manusia di dunia nyata, lalu hidup dan berjuang bersama dan untuk mereka. Rute perjalanan spiritual, karena itu, sejatinya adalah berawal dari diri sendiri menuju Allah. Lalu kembali ke pengabdian pada sesama sembari memohon pancaran cahaya petunjuk Allah.
Ketiga, Nabi menerima perintah shalat lima waktu saat Mi’raj. Seringkali, saat rindunya membuncah, beliau meminta Bilal untuk menggemakan azan supaya beliau bisa segera shalat demi mengenang peristiwa itu. Shalat adalah mi’rajnya orang Mukmin, kata beliau. Karena itu, shalat sangat erat hubungannya dengan peristiwa Mi’raj. Artinya, setiap manusia yang sukses, rupanya memiliki ritus kontemplasi yang hebat. Mereka adalah mistikus sejati, dengan teknik meditasinya masing-masing.
Selain memiliki jaringan dan hubungan kemanusiaan yang kuat dan hangat, mereka ternyata sangat merawat hubungan intim dengan Tuhan Yang Kudus. Orang-orang hebat memiliki kecenderungan menjaga harmoni antara kontemplasi dan aksi, seperti Nabi yang tak putus-putusnya bersimpuh di hadapan Allah sembari mendedikasikan seluruh hidup dan matinya demi umat yang sangat dicintainya.
Shalat merupakan medium paling efektif dan efisien merawat keintiman dengan Tuhan. Baik untuk tujuan ejakulasi spiritual secara individual maupun untuk memperoleh ilham, motivasi dan kepercayaan diri menghadapi tantangan dunia eksternal yang berat.
Karena itu, hanya orang yang mampu menjaga hubungan vertikal dan horizontalnyalah yang bisa mencapai kegemilangan hidup. Seorang pemimpin yang hendak mencapai kemenangan serta kegemilangan, tapi tidak konsisten berkomunikasi dengan Tuhan sesungguhnya hanyalah seorang pemimpi. Pergumulan kental dalam dimensi perebutan popularitas dan elektabilitas sungguh tak cukup untuk diandalkan. Masih ada Tuhan yang menjadi penentu atas segalanya. Dan shalat adalah cara manusia membisikkan seluruh hasrat yang hendak direngkuhnya. Mari Isra-kan raga, Mi'raj-kan jiwa....
Komentar