Mudik lebaran setiap tahun kini telah menjelma sebagai tradisi yang bergerak massif. Khususnya dari mereka yang hidup di kota-kota besar. Bahkan dari situs gaikindo.or.id menyebutkan, untuk tahun ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memprediksi jumlah penumpang mencapai 17.698.484 orang. Angka itu naik 1,69 persen dari tahun lalu (17.404.575 orang).
Jumlah mobil pribadi naik 4,5 persen dari tahun lalu, dari 2.371.358 kendaraan menjadi 2.478.069 kendaraan. Sepeda motor naik 50 persen dari 2015 (3.759.122 motor) menjadi 5.638.683 motor. Itu pun tampaknya belum memadai. Kemenhub masih harus menyiapkan angkutan 46.478 bus, 195 kapal penyeberangan, 447 lokomotif, 1.694 kereta, 334 kereta api dan 529 pesawat.
Mengapa peristiwa mudik sedemikian kental hingga nyaris tak peduli dengan hambatan di jalan, kepadatan hingga resiko yang mengancam jiwa? Sebab di sana ada kerinduan yang membuncah. Hasrat pulang kampung itu telah menghilangkan seluruh ketakutan berkendara lalu mengerakkan bara api kerinduan untuk saling memeluk dalam kehangatan antar sesama keluarga.
Di antara mereka ada yang pulang dengan membawa seonggok oleh- oleh. Harganya boleh jadi tak seberapa. Tapi mampu menyempurnakan makna pertemuan yang telah terpendam sekian lama.
Tradisi pulang kampung pada dasarnya memiliki dimensi eksoterik sekaligus esoterik. Pada dimensi eksoterik, seluruh pemudik diminta untuk tak membawa pulang barang dalam jumlah berlebihan. Cukup dengan persiapan pakaian lebaran, serta beberapa oleh-oleh yang pas untuk warga kampung.
Pemudik juga diminta untuk tak tampil bermewah-mewahan selama dalam perjalanan hingga tiba di tempat tujuan. Di samping untuk alasan keamanan, juga memberi pesan agar pemudik tak menampakkan kesenjangan sosial di tengah warga.
Tradisi tahunan ini, oleh para Sufi justeru mengajak manusia untuk memaknainya sebagai refleksi mudik ke haribaan Ilahi. Mudik menuju jalan Tuhan yang lebih hakiki, lebih fitrawi.
Dalam perjalanan menuju Tuhan, pemudik disebut pesuluk. Yaitu mereka yang telah lebih awal mematangkan perjalanan rohaninya sebelum benar-benar dipanggil ke alam keabadian lewat pintu kematian.
Seluruh pesuluk masing-masing punya cara berpulang. Mereka menyiapkan bekal untuk perjalanan yang cukup panjang lagi melelahkan. Tak ada bekal selain amal ibadah yang dikerjakan selama hidupnya. Lebih dari itu, hanya kerinduanlah yang terus mendekam dalam sanubari mereka.
Adakah di antara kita telah merenungkan bekal kematian setelah kehidupan ini? Ataukah kita masih saja sibuk mengintai jalan-jalan semu dan penuh kepalsuan?
Jika setiap lebaran kita diperdengarkan seruan kemenangan fitrah setelah sebulan penuh memadatkan batin agar makin suci, adakah kita menjadi bagian dari orang-orang yang meraih lencana fitrah? Ataukah sebaliknya, tak secuil pun makna ramadhan yang direguk sebagai pelepas dahaga batin kita.
Mari kita pulang. Mari segera mudik ke kampung hakiki. Kampung yang meminggirkan ego, benci, dengki serta segala bentuk penyakit batin lainnya. Di sana, di kampung hakiki itu, yang terdengar hanya tangisan haru dan rindu. Selebihnya, kedamaianlah yang bakal terus mewarnai harmoni kehidupan. Min al Aidin wal Faizin. Maafkan Saya.
Komentar