Langsung ke konten utama

Memahami Plus Minus Metode Tafsir

Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, ibarat samudera yang keajaiban dan keunikannya tak pernah sirna di telan masa. Hingga pada perkembangannya, lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam.
Para ulama telah menukilkan ribuan karya di bidang tafsir. Serta menjelaskan metode dijadikan sebagai perangkatnya. Beberapa metode yang hingga kini akrab digunakan para ahli tafsir di antaranya:

Pertama, Metode Tahliliy. Pola ini menafsirkan al-Qur’an berbasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini akan menganalisis setiap kosa kata atau lafal dari aspek bahasa dan makna. Dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat i'jaz, badi’, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, dan isti’arah.

Sedangkan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, aqidah, moral, perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.

Pola Tahlily merupakan metode tafsir al-Quran yang dilakukan dengan cara urut dan tertib ayat dan surah sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf. Yakni dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Al Imran dan seterusnya hingga surah al Nas.

Kelebihan dari metode tafsir tahlily ini karena ruang lingkupnya luas dan dapat memuat berbagai macam ide.Sedangkan kelemahan dari metode ini yaitu, Menjadikan petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian), Melahirkan penafsiran yang subjektif, serta kajiannya tidak mendalam.

Kedua, metode Ijmaliy atau makro. Tafsir ijmali adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian serta tak mengandung pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.

Dengan metode ini, mufasir berupaya menjelaskan makna-makna al-Quran dengan uraian singkat dan yang mudah. Sehingga dapat dipahami semua orang, tanpa membedakan lamat keilmuan masing-masing.
Dengan metode ini, mufassir berupaya menafsirkan kosa kata al-Quran dengan kosa kata yang berada di dalam al-Quran sendiri.  Sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung dalam al-Quran.

Adapun kelebihan dari metode ijmali ini di antaranya, Praktis, mudah dipahami dan Bebas dari israiliyat. Sedangkan sisi kelemahannya karena bersifat parsial (terbagi tapi tidak mendalam), serta tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

Ketiga, metode komparatif atau muqaran. Ini merupakan teknik menafsirkan al-Quran dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejulah ayat. Tafsir muqaran membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat dengan hadis. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis.

Pola ini juga menentukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterimanya. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang lainnya.

Tafsir muqaran memiliki kelebihan yaitu, bersifat objektif, kritis dan berwawasan luas. Sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataannya bahwa metode tafsir muqaran tidak bisa diigunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran seperti halnya pada tafsir ijmali dan tahlili.

Keempat, metode al-Maudlu’iy (Tematik). Metode ini menafsirkan al-Quran dengan langkah-langkah tertentu yang dimulai dengan menentukan topik sampai memberikan kesimpulan atau jawaban akhir bagi permasalahan yang dibahas. Tema seputar isu kontemporer semisal Narkoba, Toleransi, Bayi Tabung dapat disentuh secara lebih qurani sebagai efek dari metode tematik ini.

Adapun kelebihan dari metode tafsir maudhu’i antara lain: Menghindari problem atau kelemahan metode lain, Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran, Kesimpulan yang mudah dipahami, Menjawab tantangan zaman serta membuat pemahan menjadi utuh. Namun kekurangannya, karena Memenggal ayat al-quran, membatasi pemahaman sebab fokusnya pada sebuah tema yang dibicarakan.
Demikianlah serpihan pengetahuan tafsir ini. Agar kita memahami betapa khazanah keilmuan dalam Islam teramat kaya, luas dan mendalam. Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa