Langsung ke konten utama

Pemimpin dan Komitmen Toleransi

Wajah Kerukunan umat beragama di Indonesia dipandang sebagai ornamen peradaban umat manusia di muka bumi. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar dunia, bumi Nusantara ini tercitra baik di mata dunia. Ancaman teror hingga tindakan bunuh diri telah dilakukan oleh kelompok gerakan radikal atas nama agama. Belum lagi dengan percobaan makar sejumlah oknum dengan ragam alasan. Semua terbukti tumpul mematahkan keutuhan NKRI.

Tapi itu, belum cukup. Sebab di belahan realitas lainnya, praktik penghasutan itu tak pernah berhenti, jeda sedikitpun. Sebabnya bermacam-macam.

Ada yang berangkat dari Ideologi Khalifah sembari menganggap kepemimpinan saat ini setara dengan Thagut. Ada pula yang mencoba menyeret cara berpikir kebangsaan yang hendak melakukan pemangkasan 'ruang agama' di ranah publik.

Belum lagi dengan gempuran teknologi informasi yang acapkali menuangkan konten sesat dan menyesatkan terhadap saudara seiman. Ironisnya, daya dobrak teknologi informasi belum dibarengi dengan kesanggupan kritis penganut agama-agama dalam membaca sebuah gagasan kebenaran.

Di saat suara para Kiai dan Ustadz sedemikian lantang menyuarakan etika dan akhlak bangsa, dunia maya justeru menyajikan model beragama yang makin tak bijak.

Sasaran dari pergerakan ini terbukti jitu menggerus tatanan keberagamaan generasi muda, khususnya para pelajar. Hingga pada penyampaian paham keagamaan serba instan dan cepat saji. Sembari mengerutkan dahi atas realitas tersebut, isu toleransi nyaris membeku. Sebab di lingkar elit agama sesungguhnya belum tuntas membincang masalah toleransi. Belum lagi dengan konstruksi berpikir para pemimpin terhadap penguatan toleransi.

Mengapa belum tuntas? Ialah dikarenakan sikap inkonsisten terhadap paham dan semangat bertoleransi. Di satu sisi memandang toleransi sebagai perekat identitas kebangsaan. Namun pada sisi yang lain, gagasan toleransi masih saja 'dicurigai' sebagai tema pesanan dari luar untuk mengobok-obok Bumi pertiwi ini. Bukankah ini bagian dari 'bisul' sosial yang setiap waktu berpotensi meletus?

Di sinilah perlunya agama itu dibincangkan dalam alas pikir yang lebih membumi. Semangat toleransi seharusnya telah menjadi pandangan hidup seluruh anak bangsa. Kita tegas bahwa bangsa ini harus berketuhanan, sekaligus kita komitmen bahwa sisi kemanusiaan terlarang dipinggirkan atas nama amanat Tuhan.

Implikasi paling absah akan tampak ketika produk kebijakan yang di dalamnya memberi kepastian (khususnya kepastian hukum) kepada seluruh pemeluk agama. Bukan hanya menjadi objek wacana saja. Sesungguhnya, momentum kali ini sudah tepat untuk menuangkan tawaran kepada siapapun yang hendak menyatakan sikap siap maju sebagai Pemimpin di Sulawesi Barat. Syaratnya, elit agama tidak boleh ikut larut dalam dramaturgi politik. Apalagi sampai masuk menjadi bagian kelompok yang senang memainkan prinsip konsistensi hidup.

Sebaliknya, elit agama dapat berdiri kokoh menyajikan tawaran sambil berseru; kita hanya mencari siapa calon pemimpin yang berani bicara toleransi. Sekaligus berani menciptakan produk kebijakan yang konsisten di atas garis toleransi.

Adakah pemimpin yang bisa seperti itu? Adakah elit agama yang bicaranya lurus? Lurus dalam ibadah. Lurus dalam politik. Hanya Tuhan yang tahu. Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui