Langsung ke konten utama

Elsa, Indiana dan Mr. Jones

Film Indiana Jones and The Last Crusade merupakan salah satu karya yang mengakhiri narasinya dengan simpulan tegas namun mendalam. Ketika Elsa, sang pemeran cantik itu mencoba merebut cawan, ia justeru terjebak dalam lubang besar di hamparan bumi yang retak. Cawan itu terjatuh ke jalam lubang yang berjarak sehasta.

Saat Indiana hendak melompat untuk meraih cawan yang baru saja direbut Elsa, ayahnya, Mr. Jones justru menarik tangan si Indiana. Sementara Elsa, harus mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis. Ia tenggelam dalam lumpur lapisan tanah yang panas dan mendidih.

Mengapa cawan itu amat diperebutkan? Sebab, baik Indiana maupun Mr. Jones adalah dua sosok yang sangat patuh pada firman Tuhan. Sementara cawan disimbolkan sebagai objek kenikmatan dan keabadian. Dalam jaket tebal yang dikenakan, keduanya tak hanya menyimpan firman Tuhan itu dalam sakunya. Mereka bahkan sangat hapal dengan seluruh pesan Ilahi.

Nah, di sinilah kehebatan film itu. Benak pemirsa dimainkan pada kesimpulan yang menjebak, bahwa setelah cawan itu direbut oleh Indiana, usailah seluruh gugusan cerita yang dikandung. 

Ternyata tidak, sebab setelah itu, cawan yang terjatuh seketika menyiratkan bahwa kenikmatan sama sekali tak dibutuhkan. Yang lebih penting adalah melepasnya, lalu mencari pemilik sejati. 

Pesan film ini bagi saya begitu memberi bekas akan pentingnya menelusuri kembali jejak-jejak keabadian. Tentang apa sesungguhnya yang hendak kita raih di seluruh lalu lintas kehidupan ini.

Jangan menduga, karakter Elsa sungguh amat padat dan ramai dimainkan oleh umat beragama sepanjang peradaban ini. Yakni kecerdikan untuk tak peduli dengan cawan keabadian. Namun ketika, ia membutuhkan, sampai mati pun akan diperjuangkan.

Kita pun kerap menjadi Elsa. Kepercayaan kita seketika membuncah, mendesak agar seluruh doa-doa segera terkabul. Tanpa kesadaran dan rasa malu bahwa selama ini, kita adalah bagian dari hamba yang masih saja berlumpur dosa. Kesadaran berketuhanan 'mazhab' Elsa ini selalu berbanding lurus dengan tingkat kepentingan semata.

Beragama jika ada maunya. Sebaliknya, ia mencampakkan agama ketika hasratnya terancam gagal. Ia memilah dan memilih di antara seluruh daftar kebaikan baragama. Sebaliknya, tanpa rasa malu, ia 'mencoret' sebahagian pesan agama dari kehidupan. Sembari merekayasa hayalan bahwa Tuhan selalu mengampuni kesalahan hamba-hamba-Nya. 

Maka, pantaskah meminta pada Tuhan yang Mahasuci sementara kita sendiri belum sepenuhnya melepas jiwa dari kotoran ruhani? 

Ada juga yang mirip dengan perilaku Indiana. Ia mengira bahwa cawan itulah yang menjadi akhir pencapaiannya. Sekali lagi, Indiana salah kaprah. Sangkaannya menembus satu ikatan keakuan diri bahwa sikap baiknya selama ini, sangat pantas diganjar dengan menyandang gelar sebagai pemilik cawan keabadian. 

Sebagaimana halnya, kita menduga bahwa surga itu sebagai kenikmatan tak terkira. Spiritualitas kita salah kaprah, sebab selalu menduga bahwa seluruh deretan amal-amal baik kita sudah sangat pantas untuk diganjar dengan surga.

Padahal, bukankah sekali waktu segenap amal kebaikan kita selama ini dapat saja tergusur oleh bulir-bulir kepongahan dan keangkuhan yang mengancam karya baik itu?

Marilah berguru kepada Mr. Jones. Dialah seorang ayah yang menghabiskan sisa umurnya untuk mencari jalan keabadian. Saat itu, ia temukan bahwa kesederhanaan adalah cawan keabadian yang seungguhnya. Bukan pada bentuk cawan itu, namun tentang kesadaran batin bahwa cawan pun tentu masih punya pemilik yang lebih pantas untuk dikejar.

Dengan pintu kesederhanaan, manusia akan lebih mudah mencapai derajat kemuliaan menuju jalan keabadian. Percaya, spiritualitas kita seringkali terkotori oleh terlampau banyaknya aksesoris rasa agama.

Namun ketika ditelusuri lebih dalam, kita hanya menemukan sejumlah titik-titik semu. Bahkan bukan hal mustahil, aksesoris itu kerap membelokkan kita dari harapan berjumpa dengan Tuhan, lalu terhempas dalam gerak-gerak sangkaan saja. Bukankah ini yang lebih tepat disebut dengan proyek gagal?

Dalam  banyak hal, kesederhanaan itu mampu menarik siapapun untuk menjadi lebih baik menuju jalan Tuhan. Di dunia empirikal sekalipun. Gaya borjuasi para penguasa jelas-jelas menunjukkan adanya sikap meninggalkan kesederhanaan. Perilaku korupsi yang kian merajalela disebabkan oleh sikap lupa ingatan terhadap arti sebuah kesederhanaan.

Bahkan isteri yang mata duitan sesungguhnya telah memancing kekasihnya berbalik haluan dari jalan kesederhanaan. Itu artinya, jejak menuju keabadian belumlah sepadan antara harapan dan langkah kaki kita di muka bumi ini.

Kita berharap masuk surga, namun perilaku lebih memantaskan jatuh ke lubang neraka. Kita mendamba berjumpa Tuhan, namun kita tak pernah bergerak menuju jalan keabadian. Ya Allah, Tunjukkan kami Jalan yang Lurus, Luas, dan Lapang....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui