Langsung ke konten utama

Nyali Para Pendahulu

Masa lalu tak selamanya harus berlalu. Jika menengok ke belakang, pola hidup para pendahulu memiliki aneka rupa keajaiban. Prediksinya tajam terhadap potret masa depan. Kehidupan mereka diwarnai dengan keputusan bercita rasa insting walau kerap dihadapkan pada kondisi alam yang serba genting.

Dengan menggunakan parameter kekinian untuk mengukur nyali para pendahulu, jelas nyaris tumpul. Sebab untuk memasukkan mereka dalam barisan buta aksara, pastilah berjumlah banyak. Lalu mengapa mereka justeru lebih mudah mendekati lingkar kebahagiaan, kesahajaan, dan keteduhan? Setidaknya ada dua pegangan hidup mereka. Yakni, keyakinan dan kezuhudan. 

Oleh Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keyakinan merupakan pengetahuan yang mantap tentang sesuatu. Disertai dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan itu. Dalam tingkatan keyakinan umat manusia, seringkali didahului dengan keraguan. Namun, sekali lagi, kata Pak Quraish, ketika sampai pada tahap yakin, keraguan yang tadinya ada menjadi sirna. Kelemahan utama generasi masa kini karena terlampau lama bergumul dalam keraguan. Jangankan untuk yakin terhadap orang lain, bahkan untuk dirinya pun ia masih ragu, alias tak punya rasa percaya diri.

Tantangan dunia pendidikan yang dewasa ini dibenturkan dengan serapan angkatan kerja, menurut saya, salah satunya disebabkan oleh krisis keyakinan yang bersinggungan erat ketidakmampuan menerima resiko sebuah keputusan. Untuk tidak mengatakan bahwa pelajaran tentang keyakinan sebenarnya mulai jarang diajarkan dengan baik.

Artinya, jauh sebelum merujuk pada timbangan dalil-dalil agama, problem utama kita saat ini adalah lahirnya generasi cerdas, tapi minus keyakinan. Efek krusialnya, adalah pragmatisme sosial, budaya, politik, bahkan agama. Sikap hidup pun dominan pada apa yang membuat nyaman dan menguntungkan. Tidak lagi menggiring pada cita-cita ideal sebagai pemegang mandat atas tugas merahmati semesta alam.

Kekuatan atas keyakinan para pendahulu juga disokong oleh paham kezuhudan. Dengan begitu, gaya hidup mereka murni bermuara pada azas kebutuhan hidup. Bukan keinginan apalagi syahwat yang meledak-ledak untuk memiliki sesuatu.

Namun, jangan keliru memahami hal yang satu ini. Zuhud bukan bermakna anti dunia, serba kere, serta tampil compang-camping. Pandangan itu sungguh sangat keliru dan menyimpang. Bagi Abu al-Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari ‘pelibatan’ Tuhan.

Jika pun kaya, itu bukan berkonotasi kepemilikan. Justeru diendapkan dalam relung kesadaran bahwa kepemilikan atas harta yang dimiliki sesungguhnya hanyalah semu dan sementara. Bagi kita yang hidup di zaman mutakhir ini, ihwal kezuhudan agaknya nyaris tak dibincang sebagai jurus pamungkas dalam merumuskan agenda kemanusiaan. Hadirnya birokrasi parlente-borjuis yang berujung pada praktek koruptif merupakan imbas paling sahih dan faktawi bahwa pesan kezuhudan memang telah jauh ditinggalkan.

Prinsip yakin dan zuhud sepatutnya tak dinamai sebagai barang usang. Apalagi jika telah dicap tak layak pakai. Mesti diakui, nyali para pendahulu masih lebih hebat dari pada asumsi kehebatan yang kita anut di zaman ini. Percayalah....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa