Jika ditanya, seputar pembangunan rumah ibadah, nyaris dipastikan bakal memunculkan aneka ragam tema yang layak didiskusikan. Mengapa? Sebab rumah ibadah setidaknya memiliki dua dimensi; teologis dan sosiologis.
Dalam timbangan teologis, para penganut agama telah terpatri dalam batin bahwa ikhtiar membangun rumah ibadah adalah bagian tak terpisahkan dari sikap ketundukan kepada Tuhan yang berbalas janji surga, kelak.
Dalam Islam misalnya, Rasulullah saw telah bersabda: barang siapa yang membangun masjid, maka Allah akan menyiapkan singgasana di surga.
Selain janji surga, pembangunan rumah ibadah juga bergandengan dengan tugas men-syiar-kan agama di muka bumi. Bahkan telah menjadi parameter suksesnya sebuah agenda syiar. Demikianlah sisi kemuliaan yang bakal diraih oleh siapapun yang mencatatkan namanya dalam panggung sejarah pembangunan rumah Ibadah.
Pesatnya pembangunan rumah ibadah pada suatu daerah idealnya tidak hanya menimbang aspek semangat membangun saja. Sebab ke depan, kita akan menyimak tumbuh suburnya bangunan bercorak khas agama tanpa dibarengi dengan penataan wilayah yang memadai.
Untuk itu, perlu pendekatan yang lebih membumi serta bijak dalam memahami persoalan yang satu ini. Pertama, sudah saatnya setiap rumah ibadah yang hendak dibangun dapat berpijak pada desain tata ruang suatu wilayah. Bukan hanya karena aspek tumpah ruahnya desakan aspirasi umat.
Jika tak diantisipasi sejak dini, rumah ibadah akan menjadi momok tersendiri di tengah-tengah umat. Sementara jamaahnya sama sekali tak mengalami pertambahan siginifikan pada setiap kali ibadah dilangsungkan. Belum lagi dengan 'benturan' pengeras suara yang saling 'menyerang' jika waktu ibadah telah tiba.
Dengan konsep ini, pemerintah dapat memberi payung hukum untuk menentukan radius pembangunan tiap-tiap rumah ibadah.
Kedua, dengan pengaturan berdasar perencanaan tata ruang wilayah, pola pembinaan pun sangat memungkinkan untuk didesain agar berbasis rumah ibadah. Konkretnya seperti apa? Jika suatu ketika terdapat perselisihan intern agama, kita tidak harus serta merta menyikapinya dalam kerangka pikir kamtibmas. Juga bukan dengan gegabah mencari siapa benar dan siapa salah.
Cukup dengan 'mengembalikan' setiap umat ke tiap-tiap rumah ibadah. Selanjutnya akan menjadi tanggung jawab para tokoh agama untuk memberi pencerahan lebih dalam.
Dampak dari pola ini juga terbilang efektif untuk menangkal laju perkembangan gerakan trans nasional (baca: Wahabisme) yang setiap saat mengancam keutuhan NKRI serta kekhasan beragama di Nusantara. Dua pendekatan di atas kiranya melecut nalar berpikir semua pihak. Bahwa agama juga butuh keseriusan untuk diurusi. Bukan klaim semata.
(Mamasa, 25 Mei 2016).
Komentar