Langsung ke konten utama

MTQ, Pertandingan dan Perbandingan

Secara historis, Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ)  telah ada di Indonesia sejak tahun 1940-an sejak berdirinya Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Sejak tahun 1968, saat Menteri Agama dijabat K.H. Muhammad Dahlan (salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) MTQ dilembagakan secara nasional. MTQ pertama diselenggarakan di Makassar pada bulan Ramadhan tahun 1968.

Kala itu hanya melembagakan tilawah dewasa saja dan melahirkan Qari Ahmad Syahid dari jawa Barat dan Muhammadong dari Sulawesi Selatan. Ajang MTQ selanjutnya menjadi agenda nasional hingga ke daerah. Di Sulawesi Barat sendiri, tahun ini dipusatkan di Kabupaten Mamasa.

Pada dasarnya, setiap momentum MTQ selalu memiliki makna penting, khususnya dalam hal adu kehebatan generasi muda muslim. Prosesnya juga tidak mudah. Sebab harus melalui beberapa jenjang musabaqah.
Mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga ke level nasional. Itu artinya, MTQ bukanlah ajang selebrasi maupun kompetisi semata. Melainkan punya sisi lain yang mesti disentuh lebih dalam.

Bagi saya, MTQ merupakan efek hilir saja. Sebab ada aspek hulu yang tak boleh dipandang sebelah mata. Kekhawatiran akan lahirnya 'peserta impor' selalu menjadi tema yang hangat dibicarakan berulang kali. Setidaknya, arena MTQ seringkali menjadi medan saling memalsukan kepesertaan antar masing masing daerah. Kasus demikian, sekali lagi juga terkategori sebagai kasus hilir. Bukan hulu.

Lalu apa aspek hulu yang dimaksud? Ialah sensitivitas kita semua atas pola pembinaan terhadap Qari dan Qariah. Tak terkecuali dengan mereka yang ikut bertanding pada cabang musabaqah lainnya.

Ada baiknya di tengah gegap gempita pembukaan hingga penutupan MTQ tak hanya disorot sebagai arena mencari sang juara, sebatas bertanding saja. Tapi juga tak kalah pentingnya untuk melakukan perbandingan atas upaya kita terhadap proses keberlangsungan pembinaan di bidang agama dan keagamaan. Tidakkah kita malu jika hanya bangga kepada mereka di saat kebijakan belum seutuhnya diarahkan lebih serius? Bukankah ini bagian dari tamparan keras kepada para pengambil kebijakan?

Hampir saja kita berulang kali berkesimpulan bahwa tanpa pemerintah, sebenarnya qari dan qariah tetap saja akan berprestasi. Toh selama ini mereka hanya dihargai dengan hadiah seadanya. Maka untuk tak saling menuding siapa benar siapa salah, maka sejatinya MTQ di Mamasa dapat mengetuk batin para pemimpin, sudilah untuk peduli terhadap mereka yang konsisten mentilawahkan al Quran.

Tak elok jika aspek pembinaan hanya dibebankan pada Guru mengaji, satuan pendidikan agama dan keagamaan, serta kementrian agama semata. Bacalah PP 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Agar pemerintah tersadar bahwa mereka punya tanggung jawab yang harus ditunaikan sebelum berimbas menjadi dosa sejarah dan dosa sistemik.

Tapi akankah itu terjadi di saat perencanaan pembangunan kita belum mencantumkan agama sebagai bagian yang mesti turut direncanakan? Untuk hal yang satu ini, biarlah Tuhan yang mengadili para perencana pembangunan di kemudian hari dan di hari kemudian.

Selamat ber-musabaqah, jadilah pelantun al quran, sekaligus pengamal pesan suci ayat-ayat Tuhan. Mamasa akan mencatatkan sejarah sebagai tuan rumah yang mengagungkan semangat serta kedaulatan bertoleransi antar umat beragama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa