Langsung ke konten utama

Puasa dan Penemuan Gaya Komunikasi

Puasa sesungguhnya punya bermacam-macam percikan cahaya. Tergantung kepada siapa yang sanggup menangkap isyarat ilahi lewat tirakat puasa, zikir di malam hari dan menjaga diri di siang hari.

Menjalani hari demi hari di bulan Ramadhan, tidaklah cukup jika hanya berlomba merebut pahala, melepas dosa. Para Ulama sufi, sering menyebut praktik ibadah seperti ini adalah praktik pedagang. Sebab yang lebih penting adalah kesanggupan merakit sayap-sayap rohani untuk terbang ke hadirat Tuhan, lalu pulang menggenggam fitrah.

Puasa diyakini sebagai ibadah paling radikal tapi tidak kolosal dalam membentuk karakter setiap orang. Betapa tidak, puasa merupakan medium paling rahasia antara Hamba dengan Allah. Setiap manusia boleh saja mengaku berpuasa, sembari mencari tempat aman untuk melepas dahaga. Karena itu Allah berfirman dalam Hadis Qudsi: Puasa untuk-KU. Dan Aku sendiri yang akan memberi ganjaran.

Karena puasa merupakan satu bentuk ibadah yang sangat intim di sisi Tuhan, wajar jika menuntut hadirnya perubahan pola dan perilaku keseharian kita. Salah satunya adalah komitmen komunikasi kita.

Oleh pakar menyebut bahwa sekitar 70 persen aktivitas sehari-hari kita didominasi oleh praktik komunikasi. Sayangnya, hal yang satu ini tak cukup serius dibengkeli selama ini. Itu sebabnya, ihwal komunikasi amat jarang disentuh sebagai praktik yang sensitif dengan kesalehan. 

Lahirnya istilah pengkhianat, munafik, bermuka dua, inkonsisten, tidak komitmen, pembohong serta sejumlah tuduhan miris lainnya adalah bagian tak terpisahkan dari praktik komunikasi yang begitu kusut kita selama ini.
Itu berarti, proses penemuan masalahnya belum pernah diangkat ke permukaan lalu dibedah secara lebih mendalam. Saya tidak dalam kapasitas memukul rata konteks ini. Tapi kecenderungan kita (khususnya orang Timur) berkomunikasi secara ambigu. Untuk tidak menyebut perilaku ini sesungguhnya tidak elok. Nuansa basa basi kita cenderung didominasi karakter ekstrovert dari pada introvert.

Contoh paling sederhana, jika ada yang mengundang lantas bersamaan dengan agenda yang juga tak kalah pentingnya, kita memberi jawaban ambigu: "Sebenarnya saya juga ada acara. Tapi mudah mudahan bisa saya hadiri".

Yang lebih praktis, kita menjawab dengan kalimat: Insya Allah. Persepsi kita dalam menyebut kalimat Insya Allah tidak bersinggungan dengan komitmen kuat hendak menghadiri suatu undangan. Yang terjadi malah sebaliknya, kalimat Insya Allah berubah wujud dalam persepsi kita: Insya Allah sudah menjelma dalam artian; jangan banyak berharap!!!

Konteks bertamu pun demikian. Jika mereka datang bertamu lalu ditawari untuk ikut dalam acara jamuan 'makan besar', biasanya mereka dengan mudahnya berbohong. Alasannya cukup sederhana; baru saja selesai makan.
Pada kasus yang sebaliknya, saat didatangi, mereka justeru tak ingin dipandang serba berkekurangan. Atas nama penghormatan kepada tamu, maka berutang ke tetangga adalah jalan kompas. Sekali lagi, ini sikap bohong lagi menyiksa diri. Tapi demikianlah telah dipermaklumkan sebagai akhlak bermasyarakat.

Untuk konteks yang lebih besar tentu adalah soal gaya komunikasi politik kita. Ada satu daerah yang hingga saat ini 'dituduh' sebagai wilayah yang penduduknya bermazhab politik uang. Siapa yang berduit dalam sebuah momen politik, dialah sang Juara, pemenang sebuah kontestasi politik.

Untuk contoh di atas, akar masalahnya ada pada gaya komunikasi penduduknya. Mereka bukan tipikal warga yang berani berterus terang sekaligus takut berkata tidak. Jadi, mereka tak ingin berterus terang atas sikap politiknya. Juga tak ingin menolak jika 'serangan fajar' itu menerpa dirinya. Sekali lagi, ini adalah bentuk komunikasi yang ambigu. Sulit berterus terang sekaligus tak biasa mengucap kata pasti.

Ajaibnya, perilaku ini dianggap sebagai akhlak bermasyarakat. Sebaliknya, mengungkap sikap terus terang atas apa yang sebenarnya kerap disimpulkan sebagai ulah orang tak berpendidikan. Maka semangat puasa, sungguh-sungguh memberi kita pesan maha dahsyat untuk berubah. Jika puasa dimaknai sebagai upaya menahan lapar, haus dan jalinan seksual, maka sejatinya kita pun harus merubah kebiasaan komunikasi politik kita selama ini.
Jika puasa mengajarkan makna konsistensi atas amanat Tuhan, sepantasnyalah kita belajar berkomunikasi secara konsisten. Tak usah menghabiskan energi dan waktu untuk mencela politisi. Ajarkanlah kepada mereka cara berkomitmen dengan baik, benar dan tepat.

Kepada para elit agama, berikanlah contoh kepada umat tentang etika berkomunikasi itu. Tampakkanlah keteladanan itu dalam memberikan kepastian berkomunikasi. Dan yang lebih penting, elit agama sepatutnya menjadi teladan dalam memintal makna puasa pada dimensi ruang dan waktu. Wallahu a'lamu bis Shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa