Al-Quran sebagai petunjuk yang diturunkan oleh Allah swt bagi seluruh umat manusia, memiliki citi-cita ideal untuk membentuk para pembacanya menjadi manusia yang sempurna, baik secara personal maupun secara komunal. Tidak hanya itu, al-Quran juga berfungsi sebagai syifa (penawar) bagi siapa saja yang mengalami keresahan jiwa.
Dalam perkembangannya, ternyata proses menuju pemahaman yang komprehensif seringkali sulit ditemukan, utamanya ketika disandingkan dengan beberapa karya tafsir.
Banyaknya perbedaan pandangan dalam memahami al-Quran tidak jarang semakin memperuncing masalah, khususnya yang terkait dengan persoalan khilafiyah. Karenanya, dibutuhkan sebuah diskusi panjang untuk mendudukkan masalah ini dan memberikan tanggapan secara proporsional.
Memahami Tafsir
Sebagaimana lazimnya, sebuah penafsiran tidaklah selalu persis dengan maksud al-Quran yang sebenarnya. Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul Tekstualitas al-Quran: Kritik Wacana Ulumul Quran menyatakan bahwa ketika al-Quran telah bersentuhan dengan sang pembaca ataupun penafsir, maka dengan sendirinya akan mengalami penurunan kualitas makna. Karena kehadiran tafsir sangat terikat oleh situasi dan kondisi yang meliputi sang penafsir, baik berupa integritas pribadinya, faktor sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan epistemologi dan ideologi yang disandangnya.
Tentulah akan sangat berbeda suatu corak penafsiran yang_misalnya_lahir dari lingkungan birokrasi pemerintahan, dengan penafsiran yang muncul di tengah-tengah Kaum Mustadh'afin (baca: masyarakat marginal). Akan berbeda pula coraknya, jika suatu interpretasi terhadap al-Quran lahir dari kalangan ningrat dengan kaum abangan, dan lain sebagainya.
Demikian pula halnya dengan kondisi antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Misalnya saja, ketika suatu ayat tentang pemerintahan (daulah) ditafsirkan oleh ulama Saudi. Boleh jadi kesimpulan akhirnya adalah bahwa sistem pemerintahan Islam yang ideal adalah sistem kerajaan.
Namun ketika ayat tersebut ditafsirkan oleh ulama Iran, maka besar kemungkinannya akan menghasilkan konsep pemerintahan Islam ideal berupa wilayat al-Faqih.
Di sinilah problematika tafsir yang kadang dianggap telah mapan oleh beberapa kelompok tertentu. Tafsir seolah menjadi sesuatu yang benar-benar finally dan utuh kebenarannya. Padahal, jika ditinjau lebih jauh, maka akan tampaklah beragam pendekatan dan hasil penafsiran. Ada yang melalui pendekatan teologi, fiqh (Hukum), Sufi atau irfan dan sebagainya.
Pergeseran paradigma
Dengan melihat kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, kehadiran al-Quran tidaklah cukup jika hanya "dijemput" dengan beberapa pendekatan di atas. Kita memerlukan upaya pergeseran paradigma dalam memahami al-Quran, dan berbagai pendekatan yang diharapkan mampu memberikan pencerahan, sekaligus sebagai solusi alternatif dalam menjawab setiap persoalan keumatan.
Pergeseran paradigma yang dimaksud adalah dari paradigma "orang" timur tengah menuju paradigma "orang" Indonesia yang meliputi konsep-konsep fundamental dalam Islam diantaranya: Keadilan, Humanisme dan Pluralitas, tentunya dengan berdasarkan ukuran keindonesiaan.
Dalam pengertian, bahwa al-Quran hendaknya dipahami berdasarkan corak berpikir serta kultur "orang" Indonesia. Dan tidak mesti selalu merujuk pada penafsiran "orang" Timur-tengah. Meski bukan berarti meninggalkan pesan substansial al-Quran.
Ada banyak hal yang berbeda antara Masyarakat yang hidup dan menetap di Indonesia dengan masyarakat di luar Indonesia. Antara lain bahwa masyarakat Indonesia memiliki kultur ke-majemuk-an yang khas antara satu kelompok, suku, ras, dan Agama dengan lainnya.
Kita dapat merujuk kepada beberapa Karya Tafsir di Indonesia, misalnya Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, Argumen kesetaraan Jender; Perspektif al-Quran karya Nasaruddin Umar, Tafsir Sufi surah al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat, Ahl-Kitab; Makna dan cakupannya karya Muhammad Galib, dan lain-lain.
Beberapa hasil karya di atas merupakan bagian dari upaya interpretasi terhadap al-Quran yang_mencoba untuk_tidak lepas dari konteks ke-Indonesiaan.
Salah satu kendala yang sering menghalangi suatu penafsiran, adalah jika masih diikat oleh suatu sejarah tertentu, yang boleh jadi belum teruji keabsahannya.
Menurut Dawam Rahardjo dalam Buku Paradigma al-Quran, bahwa al-Quran tidaklah cukup dipahami lewat pengamatan asbab al-nuzul semata, namun juga hendaknya dilakukan dengan cara "membenturkan" antar fakta sejarah dengan sejarah yang lain.
Artinya, bahwa jika sebuah penafsiran hanya terpaku pada data sejarah_Arab yang satu versi_an sich, lalu kemudian dijadikan sebagai parameter sebuah kebenaran al-Quran, maka boleh jadi al-Quran akan "dicemooh" sebagai kitab petunjuk yang tidak mampu menjawab permasalahan umat, khususnya penganut agama Islam.
Karenanya, sebuah gagasan Tafsir versi Indonesia_bahkan versi negara lain sekalipun_, tidak hanya membutuhkan pendekatan klasik lewat studi Ilmu al-Quran semata, tetapi juga membutuhkan pendekatan-pendekatan yang lain, yang lebih cenderung membumi, misalnya Antropologi, Sosiologi, dan Psikologi.
Di lain sisi, persoalan kriteria seorang penafsir juga merupakan bagian yang tak kalah pentingnya dalam setiap diskursus penafsiran al-Quran. Bagi penulis, kriteria seorang penafsir al-Quran tidak mesti dipahami secara kaku. Apalagi jika harus berurusan dengan persoalan objektivitas sebuah penafsiran.
Yang terpenting adalah integritas pribadi seorang penafsir al-Quran baik pada sisi intelektualitas, maupun pada sisi perilaku kesehariannya. Nah, dalam konteks keindonesiaan, tentu harus dilihat juga sejauh mana wawasan seorang penafsir terhadap kondisi masyarakat di Indonesia.
Pada akhirnya, menurut Quraish Shihab, sebagai pembaca tafsir dituntut agar mampu memposisikan tafsir pada sisi fungsional, bukan berdiri pada garis benar atau salah. Di balik itu pula, nalar kritis terhadap berbagai ragam penafsiran al-Quran hendaknya tetap dipertahankan.
Diakui, bahwa al-Quran adalah kitab suci lagi sempurna, namun bukan berarti interpretasi terhadapnya juga demikian. Sekali lagi, kita butuh tafsir al-Quran versi Indonesia, karena kita orang Indonesia yang beragama Islam, dan bukan orang Islam yang "menumpang" di Indonesia.
Dalam perkembangannya, ternyata proses menuju pemahaman yang komprehensif seringkali sulit ditemukan, utamanya ketika disandingkan dengan beberapa karya tafsir.
Banyaknya perbedaan pandangan dalam memahami al-Quran tidak jarang semakin memperuncing masalah, khususnya yang terkait dengan persoalan khilafiyah. Karenanya, dibutuhkan sebuah diskusi panjang untuk mendudukkan masalah ini dan memberikan tanggapan secara proporsional.
Memahami Tafsir
Sebagaimana lazimnya, sebuah penafsiran tidaklah selalu persis dengan maksud al-Quran yang sebenarnya. Nasr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul Tekstualitas al-Quran: Kritik Wacana Ulumul Quran menyatakan bahwa ketika al-Quran telah bersentuhan dengan sang pembaca ataupun penafsir, maka dengan sendirinya akan mengalami penurunan kualitas makna. Karena kehadiran tafsir sangat terikat oleh situasi dan kondisi yang meliputi sang penafsir, baik berupa integritas pribadinya, faktor sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan epistemologi dan ideologi yang disandangnya.
Tentulah akan sangat berbeda suatu corak penafsiran yang_misalnya_lahir dari lingkungan birokrasi pemerintahan, dengan penafsiran yang muncul di tengah-tengah Kaum Mustadh'afin (baca: masyarakat marginal). Akan berbeda pula coraknya, jika suatu interpretasi terhadap al-Quran lahir dari kalangan ningrat dengan kaum abangan, dan lain sebagainya.
Demikian pula halnya dengan kondisi antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Misalnya saja, ketika suatu ayat tentang pemerintahan (daulah) ditafsirkan oleh ulama Saudi. Boleh jadi kesimpulan akhirnya adalah bahwa sistem pemerintahan Islam yang ideal adalah sistem kerajaan.
Namun ketika ayat tersebut ditafsirkan oleh ulama Iran, maka besar kemungkinannya akan menghasilkan konsep pemerintahan Islam ideal berupa wilayat al-Faqih.
Di sinilah problematika tafsir yang kadang dianggap telah mapan oleh beberapa kelompok tertentu. Tafsir seolah menjadi sesuatu yang benar-benar finally dan utuh kebenarannya. Padahal, jika ditinjau lebih jauh, maka akan tampaklah beragam pendekatan dan hasil penafsiran. Ada yang melalui pendekatan teologi, fiqh (Hukum), Sufi atau irfan dan sebagainya.
Pergeseran paradigma
Dengan melihat kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, kehadiran al-Quran tidaklah cukup jika hanya "dijemput" dengan beberapa pendekatan di atas. Kita memerlukan upaya pergeseran paradigma dalam memahami al-Quran, dan berbagai pendekatan yang diharapkan mampu memberikan pencerahan, sekaligus sebagai solusi alternatif dalam menjawab setiap persoalan keumatan.
Pergeseran paradigma yang dimaksud adalah dari paradigma "orang" timur tengah menuju paradigma "orang" Indonesia yang meliputi konsep-konsep fundamental dalam Islam diantaranya: Keadilan, Humanisme dan Pluralitas, tentunya dengan berdasarkan ukuran keindonesiaan.
Dalam pengertian, bahwa al-Quran hendaknya dipahami berdasarkan corak berpikir serta kultur "orang" Indonesia. Dan tidak mesti selalu merujuk pada penafsiran "orang" Timur-tengah. Meski bukan berarti meninggalkan pesan substansial al-Quran.
Ada banyak hal yang berbeda antara Masyarakat yang hidup dan menetap di Indonesia dengan masyarakat di luar Indonesia. Antara lain bahwa masyarakat Indonesia memiliki kultur ke-majemuk-an yang khas antara satu kelompok, suku, ras, dan Agama dengan lainnya.
Kita dapat merujuk kepada beberapa Karya Tafsir di Indonesia, misalnya Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, Argumen kesetaraan Jender; Perspektif al-Quran karya Nasaruddin Umar, Tafsir Sufi surah al-Fatihah karya Jalaluddin Rakhmat, Ahl-Kitab; Makna dan cakupannya karya Muhammad Galib, dan lain-lain.
Beberapa hasil karya di atas merupakan bagian dari upaya interpretasi terhadap al-Quran yang_mencoba untuk_tidak lepas dari konteks ke-Indonesiaan.
Salah satu kendala yang sering menghalangi suatu penafsiran, adalah jika masih diikat oleh suatu sejarah tertentu, yang boleh jadi belum teruji keabsahannya.
Menurut Dawam Rahardjo dalam Buku Paradigma al-Quran, bahwa al-Quran tidaklah cukup dipahami lewat pengamatan asbab al-nuzul semata, namun juga hendaknya dilakukan dengan cara "membenturkan" antar fakta sejarah dengan sejarah yang lain.
Artinya, bahwa jika sebuah penafsiran hanya terpaku pada data sejarah_Arab yang satu versi_an sich, lalu kemudian dijadikan sebagai parameter sebuah kebenaran al-Quran, maka boleh jadi al-Quran akan "dicemooh" sebagai kitab petunjuk yang tidak mampu menjawab permasalahan umat, khususnya penganut agama Islam.
Karenanya, sebuah gagasan Tafsir versi Indonesia_bahkan versi negara lain sekalipun_, tidak hanya membutuhkan pendekatan klasik lewat studi Ilmu al-Quran semata, tetapi juga membutuhkan pendekatan-pendekatan yang lain, yang lebih cenderung membumi, misalnya Antropologi, Sosiologi, dan Psikologi.
Di lain sisi, persoalan kriteria seorang penafsir juga merupakan bagian yang tak kalah pentingnya dalam setiap diskursus penafsiran al-Quran. Bagi penulis, kriteria seorang penafsir al-Quran tidak mesti dipahami secara kaku. Apalagi jika harus berurusan dengan persoalan objektivitas sebuah penafsiran.
Yang terpenting adalah integritas pribadi seorang penafsir al-Quran baik pada sisi intelektualitas, maupun pada sisi perilaku kesehariannya. Nah, dalam konteks keindonesiaan, tentu harus dilihat juga sejauh mana wawasan seorang penafsir terhadap kondisi masyarakat di Indonesia.
Pada akhirnya, menurut Quraish Shihab, sebagai pembaca tafsir dituntut agar mampu memposisikan tafsir pada sisi fungsional, bukan berdiri pada garis benar atau salah. Di balik itu pula, nalar kritis terhadap berbagai ragam penafsiran al-Quran hendaknya tetap dipertahankan.
Diakui, bahwa al-Quran adalah kitab suci lagi sempurna, namun bukan berarti interpretasi terhadapnya juga demikian. Sekali lagi, kita butuh tafsir al-Quran versi Indonesia, karena kita orang Indonesia yang beragama Islam, dan bukan orang Islam yang "menumpang" di Indonesia.
Komentar