Bayang-bayang pemilu 2009 mendatang telah memberikan sejumlah fenomena sosial yang menarik untuk dibincangkan. Mulai dari aspek idealnya, hingga pada tataran pragmatisnya. Bagi Eep Saefulloh Fatah, pemilu 2009 seyogyanya mengantar para pemilih untuk beranjak dari nilai suporters menuju nilai voters. Artinya, pemilih mendatang sebaiknya semakin tercerahkan dengan makin banyaknya jumlah partai politik yang bermunculan. Dari sekedar kecerdasan memilih caleg hingga pada wilayah kecerdasan menagih janji (setelah di parlemen nantinya).
Pada tulisan kali ini, penulis akan menyoroti sikap sebagian “kaum” jurnalis, atau lebih tepatnya, wartawan yang telah memasuki lingkaran politik praksis dengan cara mengajukan diri sebagai salah satu kontestan pemilu pada 2009 mendatang. Bagi penulis, fenomena ini, ternyata bagian dari kelanjutan selebrasi kekuasaan yang menghinggap di tubuh jurnalis, baik lokal maupun nasional.
Agar tulisan ini tidak dimaknai sebagai “pencekalan dini” terhadap para wartawan yang telah menjadi caleg, maka semaksimal mungkin tulisan ini akan mendekati teritorial kebenaran ilmiah.
Ada baiknya pula dicantumkan beberapa kriteria wartawan ideal, yang kemudian akan menjadi acuan dasar dalam menganalisa tingkat keberpihakan pada kebenaran atas sikap wartawan yang sekaligus menjadi politisi.
Menurut Ana Nadhya Abrar, idealnya, wartawan memiliki 5 kriteria: (1). Piawai menerapkan nilai-nilai dan misi jurnalisme dalam melaksanakan tugas, (2). Terampil menulis berita yang diterima luas oleh khalayak, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (3). Memiliki prestasi dan kemampuan kerja yang gemilang menyolok dalam kurun waktu yang panjang, (4). Memiliki cita-cita mulia tentang profesi dan berusaha menggapai cita-cita tersebut, serta (5). Kehadirannya berarti atau memiliki nilai positif di tengah-tengah masyarakat (tidak menakutkan).
Secara lebih teoritis lagi, kita dapat menggunakan pendekatan dalam melihat realitas internal dunia jurnalis lewat dua mazhab besar, yakni mazhab pluralism dan mazhab kritis.
Dalam mazhab pluralis, masyarakat dipercaya sebagai wujud dari konsensus dan mengutamakan keseimbangan. Masyarakat dilihat sebagai suatu kelompok yang kompleks di mana terdapat berbagai kelompok sosial yang saling berpengaruh dalam suatu sistem dan pada akhirnya mencapai keseimbangan. Pandangan ini percaya dengan ide liberal, yang meyakini kalau persaingan dibiarkan bebas, pada akhirnya tercipta suatu keseimbangan, ekuilibrium antara berbagai kelompok masyarakat tersebut.
Dan media dilihat memainkan fungsi penting dalam hal ini untuk menetralkan segalanya. Beberapa tokoh mazhab ini, antara lain: August Comte, Emile Durkheim, Max Weber dan Ferdinand Tonnies.
Sedangkan dalam mazhab kritis, kerja-kerja wartawan dianggap sebagai bagian dari khayalan tingkat tinggi dan terbilang sebagai permainan elit. Dengan menggunakan tesis Marx dengan teori kelasnya, wartawan dianggap sebagai bagian dari (kelas) dominasi terhadap (kelas) kaum marginal. Sehingga disimpulkan, bahwa wartawan tidaklah sepenuhnya netral. Wartawan juga berada posisi salah satu pihak (Eriyanto; 2001).
Demikian pula halnya dengan Louis Althusser menulis bahwa media (dan juga segala yang berkaitan dengannya), dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (Ideological state aparatus). Sebaliknya Antonio Gramsci (1971) memandang media tidak selamanya berpihak pada kekuasaan, namun kadang pula menjadi kontrol terhadap kebijakan yang dijalankan oleh Negara. Sekalipun demikian, keduanya sepakat bahwa media tidak laik menyandang gelar “netral”.
Pertanyaannya kemudian, lalu siapakah yang akan menjadi hakim atas sikap politik wartawan akhir-akhir ini? Tentu jawabannya, bahwa sampai saat ini, belum ada otoritas yang begitu kuat untuk menghakimi kebebasab pers yang terkadang kebablasan.
Industri periklanan
Selanjutnya, dalam industri periklanan juga mendapat sorotan tajam dari berbagai pengamat dan paktisi media. Ana Nadhya Abrar juga mempertanyakan eksistensi iklan yang setiap saat dapat menghampiri khalayak umum. Baginya, iklan di media hendaknya dicermati dan selalu diposisikan dalam kondisi penuh masalah dan prahara. Artinya, iklan di media hari ini, tidak boleh dipahami sebatas “ungkapan komersial” semata, tapi juga hendaknya dimaknai sebagai bagian dari “ungkapan politik” untuk mengomunikasikan konteks sosial yang sedang berlangsung dan sedang direkayasa (1997).
Pandangan Ana di atas dapat disederhanakan maknanya dengan menganggap bahwa setiap iklan yang dihadirkan oleh media (apalagi harian) akan mampu membentuk alam bawah sadar manusia menjadi terpikat atau malah sebaliknya, terjerat pada sesuatu yang diiklankan. Hal ini sebetulnya tidak jauh beda dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Schopenhauer dengan menceritakan salah satu kasus pemerkosaan. Katanya:
“Lihatlah seorang gadis perawan yang diperkosa. Pertama kali ia meronta-ronta kesakitan. Namun karena tidak berdaya, si Gadis tersebut kemudian berdiam diri, tak tahu akan berbuat apa. Dan karena keyakinan akan ketidakberdayaannya, maka ia pun menikmati sergapan si Lelaki yang memerkosanya”. Demikianlah alur perjalanan menuju fase kebenaran.
Lalu Arthur Schopenhauer menjelaskan cerita di atas. Kita dapat menyimpulkan cerita di atas_katanya_, bahwa kebenaran selalu mengalami tiga fase, yakni, ditolak, diragukan dan pada akhirnya diterima. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika iklan tersebut berbentuk penyampaian yang sarat dengan kepentingan politik dalam hal ini, kampanye? Terlebih jika yang menjadi iklan adalah pelaku media itu sendiri.
Di sinilah, fenomena dunia jurnalisme yang terkadang mendua, tidak mampu menegaskan dirinya dalam kemandirian yang tunggal, yang tidak terkekang dalam balutan sistem di luar dirinya. Intinya, wartawan memiliki mekanisme sendiri dalam memainkan perannya di ranah sosial, termasuk politik.
Sebaliknya, jika wartawan dengan mudahnya menceburkan diri pada gerakan politik praksis, maka ini menjadi stimulus awal bahwa wartawan sedang mengalami sakit kronis lagi akut; karena mengalami disorientasi kehidupan. Tidak jelas akan lari kemana alur kehidupannya. Dan tidak sadar bahwa iapun turut mencederai citra institusi media dan dunia kewartawanan secara lebih umum.
Untuk keluar dari kemelut atas peran politik praksis para wartawan, maka diperlukan pemetaan ulang terhadap posisi media, penyedia dana media (pemodal) dan wartawan itu sendiri. Ketiganya berkewajiban mengeluarkan kesadaran objektifnya dalam menyikapi hal ini. Hemat penulis, ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi hal tersebut:
Pertama, mengubah visi wartawan (secara universal) dari sekedar pembuat berita dan laporan menjadi aktor politik. Tapi efeknya tentu lebih besar karena akan berimbas pada intitusi media yang bersangkutan hingga pada pemilik modal media itu sendiri. Dan skalanyapun terbilang besar untuk mengubah semua itu. Artinya, banyak pihak yang akan jatuh korban.
Kedua, media menggunakan otoritasnya untuk “menonaktifkan sementara”, terhadap wartawan yang sedang menyandang atribut sebagai calon legislatif. Ide ini dapat terealisasi jika media yang bersangkutan mampu dan berani bertindak di atas “dalil” idealisme jurnalistik. Bukan atas dasar “perasaan yang kebablasan”.
Ketiga, wartawan bersikap gentlemen (ksatria) menyatakan pilihan profesi di hadapan publik, apakah menjadi sosok jurnalis sepanjang hayat, atau berbalik haluan menjadi politisi.
Beberapa opsi di atas dapat terlaksana dengan baik jika pihak wartawan, media dan penyedia modal media memiliki ketegasan dan kesadaran bersama untuk membangun dan menjalankan citra media yang baik, jauh dari identifikasi keberpihakan selain kebenaran, kesantunan dan ketulusan.
Terlepas dari keputusan orientasi politik para insan media, pemilihlah nantinya yang akan menilai sekaligus menagih janji, siapa sebetulnya yang patut menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Apakah yang sekedar pro rakyat ataukah pro kebenaran? Karena satu hal yang pasti, kebenaran tidak selamanya pro rakyat !!!
Pada tulisan kali ini, penulis akan menyoroti sikap sebagian “kaum” jurnalis, atau lebih tepatnya, wartawan yang telah memasuki lingkaran politik praksis dengan cara mengajukan diri sebagai salah satu kontestan pemilu pada 2009 mendatang. Bagi penulis, fenomena ini, ternyata bagian dari kelanjutan selebrasi kekuasaan yang menghinggap di tubuh jurnalis, baik lokal maupun nasional.
Agar tulisan ini tidak dimaknai sebagai “pencekalan dini” terhadap para wartawan yang telah menjadi caleg, maka semaksimal mungkin tulisan ini akan mendekati teritorial kebenaran ilmiah.
Ada baiknya pula dicantumkan beberapa kriteria wartawan ideal, yang kemudian akan menjadi acuan dasar dalam menganalisa tingkat keberpihakan pada kebenaran atas sikap wartawan yang sekaligus menjadi politisi.
Menurut Ana Nadhya Abrar, idealnya, wartawan memiliki 5 kriteria: (1). Piawai menerapkan nilai-nilai dan misi jurnalisme dalam melaksanakan tugas, (2). Terampil menulis berita yang diterima luas oleh khalayak, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (3). Memiliki prestasi dan kemampuan kerja yang gemilang menyolok dalam kurun waktu yang panjang, (4). Memiliki cita-cita mulia tentang profesi dan berusaha menggapai cita-cita tersebut, serta (5). Kehadirannya berarti atau memiliki nilai positif di tengah-tengah masyarakat (tidak menakutkan).
Secara lebih teoritis lagi, kita dapat menggunakan pendekatan dalam melihat realitas internal dunia jurnalis lewat dua mazhab besar, yakni mazhab pluralism dan mazhab kritis.
Dalam mazhab pluralis, masyarakat dipercaya sebagai wujud dari konsensus dan mengutamakan keseimbangan. Masyarakat dilihat sebagai suatu kelompok yang kompleks di mana terdapat berbagai kelompok sosial yang saling berpengaruh dalam suatu sistem dan pada akhirnya mencapai keseimbangan. Pandangan ini percaya dengan ide liberal, yang meyakini kalau persaingan dibiarkan bebas, pada akhirnya tercipta suatu keseimbangan, ekuilibrium antara berbagai kelompok masyarakat tersebut.
Dan media dilihat memainkan fungsi penting dalam hal ini untuk menetralkan segalanya. Beberapa tokoh mazhab ini, antara lain: August Comte, Emile Durkheim, Max Weber dan Ferdinand Tonnies.
Sedangkan dalam mazhab kritis, kerja-kerja wartawan dianggap sebagai bagian dari khayalan tingkat tinggi dan terbilang sebagai permainan elit. Dengan menggunakan tesis Marx dengan teori kelasnya, wartawan dianggap sebagai bagian dari (kelas) dominasi terhadap (kelas) kaum marginal. Sehingga disimpulkan, bahwa wartawan tidaklah sepenuhnya netral. Wartawan juga berada posisi salah satu pihak (Eriyanto; 2001).
Demikian pula halnya dengan Louis Althusser menulis bahwa media (dan juga segala yang berkaitan dengannya), dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni dan kebudayaan merupakan bagian dari alat kekuasaan Negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (Ideological state aparatus). Sebaliknya Antonio Gramsci (1971) memandang media tidak selamanya berpihak pada kekuasaan, namun kadang pula menjadi kontrol terhadap kebijakan yang dijalankan oleh Negara. Sekalipun demikian, keduanya sepakat bahwa media tidak laik menyandang gelar “netral”.
Pertanyaannya kemudian, lalu siapakah yang akan menjadi hakim atas sikap politik wartawan akhir-akhir ini? Tentu jawabannya, bahwa sampai saat ini, belum ada otoritas yang begitu kuat untuk menghakimi kebebasab pers yang terkadang kebablasan.
Industri periklanan
Selanjutnya, dalam industri periklanan juga mendapat sorotan tajam dari berbagai pengamat dan paktisi media. Ana Nadhya Abrar juga mempertanyakan eksistensi iklan yang setiap saat dapat menghampiri khalayak umum. Baginya, iklan di media hendaknya dicermati dan selalu diposisikan dalam kondisi penuh masalah dan prahara. Artinya, iklan di media hari ini, tidak boleh dipahami sebatas “ungkapan komersial” semata, tapi juga hendaknya dimaknai sebagai bagian dari “ungkapan politik” untuk mengomunikasikan konteks sosial yang sedang berlangsung dan sedang direkayasa (1997).
Pandangan Ana di atas dapat disederhanakan maknanya dengan menganggap bahwa setiap iklan yang dihadirkan oleh media (apalagi harian) akan mampu membentuk alam bawah sadar manusia menjadi terpikat atau malah sebaliknya, terjerat pada sesuatu yang diiklankan. Hal ini sebetulnya tidak jauh beda dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Schopenhauer dengan menceritakan salah satu kasus pemerkosaan. Katanya:
“Lihatlah seorang gadis perawan yang diperkosa. Pertama kali ia meronta-ronta kesakitan. Namun karena tidak berdaya, si Gadis tersebut kemudian berdiam diri, tak tahu akan berbuat apa. Dan karena keyakinan akan ketidakberdayaannya, maka ia pun menikmati sergapan si Lelaki yang memerkosanya”. Demikianlah alur perjalanan menuju fase kebenaran.
Lalu Arthur Schopenhauer menjelaskan cerita di atas. Kita dapat menyimpulkan cerita di atas_katanya_, bahwa kebenaran selalu mengalami tiga fase, yakni, ditolak, diragukan dan pada akhirnya diterima. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika iklan tersebut berbentuk penyampaian yang sarat dengan kepentingan politik dalam hal ini, kampanye? Terlebih jika yang menjadi iklan adalah pelaku media itu sendiri.
Di sinilah, fenomena dunia jurnalisme yang terkadang mendua, tidak mampu menegaskan dirinya dalam kemandirian yang tunggal, yang tidak terkekang dalam balutan sistem di luar dirinya. Intinya, wartawan memiliki mekanisme sendiri dalam memainkan perannya di ranah sosial, termasuk politik.
Sebaliknya, jika wartawan dengan mudahnya menceburkan diri pada gerakan politik praksis, maka ini menjadi stimulus awal bahwa wartawan sedang mengalami sakit kronis lagi akut; karena mengalami disorientasi kehidupan. Tidak jelas akan lari kemana alur kehidupannya. Dan tidak sadar bahwa iapun turut mencederai citra institusi media dan dunia kewartawanan secara lebih umum.
Untuk keluar dari kemelut atas peran politik praksis para wartawan, maka diperlukan pemetaan ulang terhadap posisi media, penyedia dana media (pemodal) dan wartawan itu sendiri. Ketiganya berkewajiban mengeluarkan kesadaran objektifnya dalam menyikapi hal ini. Hemat penulis, ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam menyikapi hal tersebut:
Pertama, mengubah visi wartawan (secara universal) dari sekedar pembuat berita dan laporan menjadi aktor politik. Tapi efeknya tentu lebih besar karena akan berimbas pada intitusi media yang bersangkutan hingga pada pemilik modal media itu sendiri. Dan skalanyapun terbilang besar untuk mengubah semua itu. Artinya, banyak pihak yang akan jatuh korban.
Kedua, media menggunakan otoritasnya untuk “menonaktifkan sementara”, terhadap wartawan yang sedang menyandang atribut sebagai calon legislatif. Ide ini dapat terealisasi jika media yang bersangkutan mampu dan berani bertindak di atas “dalil” idealisme jurnalistik. Bukan atas dasar “perasaan yang kebablasan”.
Ketiga, wartawan bersikap gentlemen (ksatria) menyatakan pilihan profesi di hadapan publik, apakah menjadi sosok jurnalis sepanjang hayat, atau berbalik haluan menjadi politisi.
Beberapa opsi di atas dapat terlaksana dengan baik jika pihak wartawan, media dan penyedia modal media memiliki ketegasan dan kesadaran bersama untuk membangun dan menjalankan citra media yang baik, jauh dari identifikasi keberpihakan selain kebenaran, kesantunan dan ketulusan.
Terlepas dari keputusan orientasi politik para insan media, pemilihlah nantinya yang akan menilai sekaligus menagih janji, siapa sebetulnya yang patut menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Apakah yang sekedar pro rakyat ataukah pro kebenaran? Karena satu hal yang pasti, kebenaran tidak selamanya pro rakyat !!!
Komentar