Dalam sepekan terakhir, kita mendengar teriakan histeris dari berbagai sudut dan belahan dunia. Pada mulanya, kita disuguhi “kado” awal tahun ini dengan serangan bom yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap penduduk Gaza, Palestina. Tidak sedikit di antara yang meninggal adalah masyarakat sipil.
Dan, “kado” yang kedua justeru menghentakkan kita di saat hujan mengguyur beberapa hari terakhir. Di Tinambung Polewali Mandar, puluhan bahkan ratusan rumah porak-poranda akibat banjir. Beberapa rumah ibadah terpaksa “diliburkan” karena penuh dengan lumpur. Warga yang hendak mandi terpaksa menunggu waktu petang untuk sekedar bersembunyi di balik tirai kegelapan.
Peristiwa pilu juga terjadi di Majene. Untuk kedua kalinya, setelah kasus Adam Air, Majene kembali menjadi sorotan media nasional dengan tenggelamnya Kapal Penumpang Teratai Prima Kosong yang mengangkut sekitar 200 Orang lebih dari Pare-pare menuju Samarinda Kalimantan Timur. Korban yang ditemukan baru sekitar 18 orang.
Kejadian sebelumnya juga terjadi di Kecamatan kedua di Majene, tepatnya di Pamboang. Akibat banjir juga, sejumlah anak-anak ikut hanyut, dan meninggal. Dan tentu kita tidak perlu terkejut lagi dengan putusnya beberapa jembatan lintas Sulawesi.
Pada dasarnya, tulisan ini sekedar berkeinginan untuk mengurai akar mula terjadinya sekian banyak bencana ini. Dengan meminjam istilah dari para cendekiawan di republik ini, bahwa bencana yang kerap melanda negeri ini paling tidak dapat dipandang dari dua sorotan yang berbeda dengan satu objek, yakni dari sudut pandang eksoteris dan esoteris.
Secara eksoteris, tentu kita pahami setiap realitas ini dalam bentuk perwajahan semata (fisik). Sedang secara esoteris, kita akan bercengkerama dengan aspek lain, yakni dimensi batiniyah pada setiap makhluk di bumi ini, termasuk manusia, termasuk alam.
Sejenak penulis mengajak untuk mengurai beberapa kasus eksoteris yang kerap kali kita abaikan.
Pertama, oleh karena efek developmentalisme, ditambah lagi dengan sikap memandang remeh, manusia terkadang lupa akan keteraturan alam ini. Hanya demi kepentingan komersiil, manusia secara biadab dan membabi buta mengeruk hasil bumi tanpa berupaya untuk memikirkan nasib selanjuntya.
Secara lebih sederhana kita dapat melihat aktivitas manusia di hampir seluruh bantaran sungai yang melintas sepanjang trans sulawesi ini. Dengan leluasa, mobil truk turun ke sungai sambil mengeruk pasir dan bebatuannya. Untuk apa? Alasannya, sekedar menyambung nafas untuk hari esok. Akan tetapi, efeknya kemudian akan memudahkan terjadinya banjir ketika musim hujan tiba. Inilah yang dimaksud dengan kehidupan modern tapi perilaku biadab.
Memang, kalau kita berbicara tentang regulasi pengelolaan alam, baik di darat maupun di laut, nyaris kita tidak mendapatkan secara sebenar-benarnya. Kalaupun ada, maka praksisnya pasti lemah. Bahkan terkadang kita berlapang dada menerima janji-janji proyek tanpa didahului oleh analisis dampak lingkungan.
Kenapa? Karena di tingkat pengelola Negara juga tidak begitu memiliki kesadaran ekologis dalam mengelola dan melestarian alam ini. Jadi, antara pemodal (kontraktor, pengusaha dsb) dengan Negara (Pemerintah), keduanya sama-sama tidak tanggap terhadap persoalan ini.
Bahwa di setiap bencana ada bantuan, hal tersebut sah-sah saja. Akan tetapi, bukan menjadi solusi absolut atas bencana yang sedang melanda ini. Artinya, ada paradigma yang hendak ditata kembali, yakni dari sekedar “menyambut” datangnya bencana menuju paradigma “tanggap dan waspada” terhadap bencana
Kedua,_dan ini tidak lepas dari persoalan watak kita_ problem sampah juga menjadi pemicu banjir. Tengoklah kasus banjir yang menggenangi sekeliling pasar sentral Majene. Di samping terjadi penyumbatan di berbagai selokan, juga disebabkan oleh banyaknya orang yang tidak merasa berkepentingan dengan problem sampah. Ditambah lagi dengan semrawutnya bangunan tanpa izin resmi.
Kebiadaban esoterik
Di samping kita telah lalai dalam menglola dan melestarikan alam secara eksoteris, kita juga terlena bahkan lupa dengan dimensi esoteris (batiniyah) setiap makhluk di bumi ini.
Allah berfirman:
“Dia (Allah) menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit, dan apa yang ada di bumi. Semuanya sebagai karunia dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 13).
Pada ayat di atas tercantum makna bahwa manusia diberikan kewenangan dalam mengelola alam ini, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Akan tetapi satu hal yang perlu untuk diingat, bahwa alam ini juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan, di mana mereka juga memiliki corak khas dalam berhubungan intim kepadaNYA yang tidak kita sadari secara eksoteris.
Agaknya kita juga harus mengulang memori alam bawah sadar kita bahwa sesungguhnya apapun yang kita perbuat di bumi ini selalu memiliki keterkaitan dengan manusia dan makhluk lainnya. Misalnya, ketika kita berbuat apa saja yang menyebabkan kebaikan pada sesama, maka dengan sendirinya, akan berefek pada harmonisasi kehidupan alam (keteraturan alam).
Sebaliknya jika kita berbuat kebiadaban, maka nantikanlah kemurkaan alam yang datang silih berganti. Di dalam beberapa literatur klasik yang menjadi khazanah peradaban Islam disebutkan beragam sifat atau perilaku yang dapat menyebabkan datangnya bencana. Berikut beberapa petikannya.
Pertama, Nabi SAW: Puncak kearifan setelah iman ialah menyayangi sesama manusia dan berbuat baik kepada orang baik dan juga pada orang jahat (Wahjul Fashahah: 1642)
Kedua, Imam Ali: Syarru al-Nasi man laa yang ya’taqidu al-Amanah wa laa yajtanibu al-Khiyanah (Manusia yang paling buruk ialah yang tidak setia pada amanah dan tidak berhenti berkhianat) (Ghurar al-Hikam)
Ketiga, Imam Al-Baqir: Orang yang dzalim, penolongnya yang ridha dengan kedzalimannya, adalah tiga orang yang berserikat dalam dosa yang sama (al-Kafi: 2)
Keempat, Nabi saw: Di antara penyebab kemiskinan adalah penguasa yang kalau kau baik padanya, ia tidak berterima kasih kepadamu, kalau kamu salah ia tidak memaafkanmu (Al-Bihar: 74: 151)
Kelima, Nabi : Ingatlah Allah dalam hatimu, ketika kamu merencanakan, dalam lidah ketika kamu memutuskan, dan dalam tangan ketika kamu melaksanakan (Bihar al-Anwar: 77:179
Keenam, Imam Ali: Faqiirun kullu man yathma', Ghaniyyun kullu man yaqna'; Miskinlah orang yang selalu mengaharap sesuatu yang tidak ada, kayalah orang menerima apa yang ada (Bihar al-anwar 103:33)
Dengan merefleksikan beberapa keterangan di atas, agaknya kita telah terlampau jauh dalam melangkah dan bersikap di atas dunia ini. Kadang kita tidak dapat lagi membedakan antara membiasakan kebenaran dan membenarkan kebiasaan. Dan karena sikap demikian, alampun terpaksa memuntahkan amarahnya lewat dengan bencana membabi buta, seolah ingin berkata: “Berhentilah kalian untuk saling menipu, karena akupun merasa sakit dan muak dengan sikap kalian !!!”
Perspektif sufi
Dan kini saatnya kita mengengok kembali beberapa pesan sufi dalam mengelola alam ini secara universal.
Pertama, pandanglah alam ini sebagai karunia (berkah) Tuhan yang tak bertepi. Menurut Mulyadhi Kertanegara, alam memberi nutrisi kepada manusia yang dibutuhkan untuk menopang kehidupannya. Menurut para sufi, manusia di alam kosmik ini menempati posisi yang sangat istimewa dan bermartabat. Dan oleh karenanya, manusia hendaknya menjaga wibawa dan kehormatan tersebut dengan sikap yang terhormat pula. Jika ingin tetap dihargai oleh alam, maka terlebih dahulu bersikaplah untuk menghargainya. Jangan biarkan alam menjadi kehausan karena keberingasan kita. Jangan biarkan alam menangis karena kebiadaban kita. Dan jangan sampai alam murka karena kepongahan kita.
Kedua, alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Dalam diskurusus filsafat wahyu, diyakini bahwa al-quran “berbentuk” dalam dua wujud. Satu dalam bentuk mushaf (al-Tadwini), dan yang satu lagi dalam bentuk realitas selain yang termaktub (al-Takwini).
Akan tetapi keduanya saling menjelaskan satu sama lain. Untuk lebih konkretnya penjelasan ini, kita dapat melihat pesan (Mandar: Pappasang) dalam tradisi mandar terbagi dalam dua bagian. Ada pesan yang yang tertulis (jori’) dan adapula pesan yang tidak tertulis (tannijori’i).
Nah, ketika kita memosisikan alam sebagai ayat Tuhan, maka sepatutnya kita memandangnya sebagaia bagian dari panorama yang amat indah, dan tentu akan lebih indah Sang Perangcang alam ini.
Alam mestinya dilihat sebagai misteri yang tak tertandingi. Anda dapat membayangkan, walau sejenak, bahwa tidak satupun yang tercipta di dunia ini dengan system copy paste, imitasi, ataupun tiruan dari produk lain. Alam murni tercipta dari “tangan” Tuhan.
Pada posisi ini, Imam al-Gazaliy mengisayaratkan pesan agar tidak semua orang dapat dipercayai sebagai sosok yang mampu memaknai setiap kilas balik peristiwa dalam bingkai makna esoteris (hakiki). Karena yang berhak untuk semua itu hanyalah para sufi dan kaum yang telah teruji keimanannya.
Ketiga, Alam sebagai mi’raj, tangga spiritual menuju puncak kearifan. Pada posisi ini, seyogyanya umat manusia memaknai bahwa alam ini dapat menjadi wadah penyambung kesadaran internal kita sebagai hamba Allah swt. Alam ini tidaklah cukup untuk dipandang saja, tapi juga dikendalikan dan disemaikan bagi yang lain agar berguna manfaat pada sesama.
Dengan demikian, kesadaran spiritual hendaknya menjadi instrumen penting dalam upaya menjaga alam ini. Karena alam datang tanpa sebab, maka kitapun mestinya tidak menjadi penghianat terhadap alam, apalagi terhadap manusia.
“Jika engkau baik pada alam, maka alampun akan baik padamu. Namun jika engkau berbuat buruk pada alam, maka alampun akan muruka padamu”. Demikian kata para filosof.
“Kebeningan spiritual tercermin pada sikap dan respon alam terhadap kita”. Itu kata saya.
Wassalam
Dan, “kado” yang kedua justeru menghentakkan kita di saat hujan mengguyur beberapa hari terakhir. Di Tinambung Polewali Mandar, puluhan bahkan ratusan rumah porak-poranda akibat banjir. Beberapa rumah ibadah terpaksa “diliburkan” karena penuh dengan lumpur. Warga yang hendak mandi terpaksa menunggu waktu petang untuk sekedar bersembunyi di balik tirai kegelapan.
Peristiwa pilu juga terjadi di Majene. Untuk kedua kalinya, setelah kasus Adam Air, Majene kembali menjadi sorotan media nasional dengan tenggelamnya Kapal Penumpang Teratai Prima Kosong yang mengangkut sekitar 200 Orang lebih dari Pare-pare menuju Samarinda Kalimantan Timur. Korban yang ditemukan baru sekitar 18 orang.
Kejadian sebelumnya juga terjadi di Kecamatan kedua di Majene, tepatnya di Pamboang. Akibat banjir juga, sejumlah anak-anak ikut hanyut, dan meninggal. Dan tentu kita tidak perlu terkejut lagi dengan putusnya beberapa jembatan lintas Sulawesi.
Pada dasarnya, tulisan ini sekedar berkeinginan untuk mengurai akar mula terjadinya sekian banyak bencana ini. Dengan meminjam istilah dari para cendekiawan di republik ini, bahwa bencana yang kerap melanda negeri ini paling tidak dapat dipandang dari dua sorotan yang berbeda dengan satu objek, yakni dari sudut pandang eksoteris dan esoteris.
Secara eksoteris, tentu kita pahami setiap realitas ini dalam bentuk perwajahan semata (fisik). Sedang secara esoteris, kita akan bercengkerama dengan aspek lain, yakni dimensi batiniyah pada setiap makhluk di bumi ini, termasuk manusia, termasuk alam.
Sejenak penulis mengajak untuk mengurai beberapa kasus eksoteris yang kerap kali kita abaikan.
Pertama, oleh karena efek developmentalisme, ditambah lagi dengan sikap memandang remeh, manusia terkadang lupa akan keteraturan alam ini. Hanya demi kepentingan komersiil, manusia secara biadab dan membabi buta mengeruk hasil bumi tanpa berupaya untuk memikirkan nasib selanjuntya.
Secara lebih sederhana kita dapat melihat aktivitas manusia di hampir seluruh bantaran sungai yang melintas sepanjang trans sulawesi ini. Dengan leluasa, mobil truk turun ke sungai sambil mengeruk pasir dan bebatuannya. Untuk apa? Alasannya, sekedar menyambung nafas untuk hari esok. Akan tetapi, efeknya kemudian akan memudahkan terjadinya banjir ketika musim hujan tiba. Inilah yang dimaksud dengan kehidupan modern tapi perilaku biadab.
Memang, kalau kita berbicara tentang regulasi pengelolaan alam, baik di darat maupun di laut, nyaris kita tidak mendapatkan secara sebenar-benarnya. Kalaupun ada, maka praksisnya pasti lemah. Bahkan terkadang kita berlapang dada menerima janji-janji proyek tanpa didahului oleh analisis dampak lingkungan.
Kenapa? Karena di tingkat pengelola Negara juga tidak begitu memiliki kesadaran ekologis dalam mengelola dan melestarian alam ini. Jadi, antara pemodal (kontraktor, pengusaha dsb) dengan Negara (Pemerintah), keduanya sama-sama tidak tanggap terhadap persoalan ini.
Bahwa di setiap bencana ada bantuan, hal tersebut sah-sah saja. Akan tetapi, bukan menjadi solusi absolut atas bencana yang sedang melanda ini. Artinya, ada paradigma yang hendak ditata kembali, yakni dari sekedar “menyambut” datangnya bencana menuju paradigma “tanggap dan waspada” terhadap bencana
Kedua,_dan ini tidak lepas dari persoalan watak kita_ problem sampah juga menjadi pemicu banjir. Tengoklah kasus banjir yang menggenangi sekeliling pasar sentral Majene. Di samping terjadi penyumbatan di berbagai selokan, juga disebabkan oleh banyaknya orang yang tidak merasa berkepentingan dengan problem sampah. Ditambah lagi dengan semrawutnya bangunan tanpa izin resmi.
Kebiadaban esoterik
Di samping kita telah lalai dalam menglola dan melestarikan alam secara eksoteris, kita juga terlena bahkan lupa dengan dimensi esoteris (batiniyah) setiap makhluk di bumi ini.
Allah berfirman:
“Dia (Allah) menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit, dan apa yang ada di bumi. Semuanya sebagai karunia dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir” (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 13).
Pada ayat di atas tercantum makna bahwa manusia diberikan kewenangan dalam mengelola alam ini, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Akan tetapi satu hal yang perlu untuk diingat, bahwa alam ini juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan, di mana mereka juga memiliki corak khas dalam berhubungan intim kepadaNYA yang tidak kita sadari secara eksoteris.
Agaknya kita juga harus mengulang memori alam bawah sadar kita bahwa sesungguhnya apapun yang kita perbuat di bumi ini selalu memiliki keterkaitan dengan manusia dan makhluk lainnya. Misalnya, ketika kita berbuat apa saja yang menyebabkan kebaikan pada sesama, maka dengan sendirinya, akan berefek pada harmonisasi kehidupan alam (keteraturan alam).
Sebaliknya jika kita berbuat kebiadaban, maka nantikanlah kemurkaan alam yang datang silih berganti. Di dalam beberapa literatur klasik yang menjadi khazanah peradaban Islam disebutkan beragam sifat atau perilaku yang dapat menyebabkan datangnya bencana. Berikut beberapa petikannya.
Pertama, Nabi SAW: Puncak kearifan setelah iman ialah menyayangi sesama manusia dan berbuat baik kepada orang baik dan juga pada orang jahat (Wahjul Fashahah: 1642)
Kedua, Imam Ali: Syarru al-Nasi man laa yang ya’taqidu al-Amanah wa laa yajtanibu al-Khiyanah (Manusia yang paling buruk ialah yang tidak setia pada amanah dan tidak berhenti berkhianat) (Ghurar al-Hikam)
Ketiga, Imam Al-Baqir: Orang yang dzalim, penolongnya yang ridha dengan kedzalimannya, adalah tiga orang yang berserikat dalam dosa yang sama (al-Kafi: 2)
Keempat, Nabi saw: Di antara penyebab kemiskinan adalah penguasa yang kalau kau baik padanya, ia tidak berterima kasih kepadamu, kalau kamu salah ia tidak memaafkanmu (Al-Bihar: 74: 151)
Kelima, Nabi : Ingatlah Allah dalam hatimu, ketika kamu merencanakan, dalam lidah ketika kamu memutuskan, dan dalam tangan ketika kamu melaksanakan (Bihar al-Anwar: 77:179
Keenam, Imam Ali: Faqiirun kullu man yathma', Ghaniyyun kullu man yaqna'; Miskinlah orang yang selalu mengaharap sesuatu yang tidak ada, kayalah orang menerima apa yang ada (Bihar al-anwar 103:33)
Dengan merefleksikan beberapa keterangan di atas, agaknya kita telah terlampau jauh dalam melangkah dan bersikap di atas dunia ini. Kadang kita tidak dapat lagi membedakan antara membiasakan kebenaran dan membenarkan kebiasaan. Dan karena sikap demikian, alampun terpaksa memuntahkan amarahnya lewat dengan bencana membabi buta, seolah ingin berkata: “Berhentilah kalian untuk saling menipu, karena akupun merasa sakit dan muak dengan sikap kalian !!!”
Perspektif sufi
Dan kini saatnya kita mengengok kembali beberapa pesan sufi dalam mengelola alam ini secara universal.
Pertama, pandanglah alam ini sebagai karunia (berkah) Tuhan yang tak bertepi. Menurut Mulyadhi Kertanegara, alam memberi nutrisi kepada manusia yang dibutuhkan untuk menopang kehidupannya. Menurut para sufi, manusia di alam kosmik ini menempati posisi yang sangat istimewa dan bermartabat. Dan oleh karenanya, manusia hendaknya menjaga wibawa dan kehormatan tersebut dengan sikap yang terhormat pula. Jika ingin tetap dihargai oleh alam, maka terlebih dahulu bersikaplah untuk menghargainya. Jangan biarkan alam menjadi kehausan karena keberingasan kita. Jangan biarkan alam menangis karena kebiadaban kita. Dan jangan sampai alam murka karena kepongahan kita.
Kedua, alam sebagai ayat-ayat Tuhan. Dalam diskurusus filsafat wahyu, diyakini bahwa al-quran “berbentuk” dalam dua wujud. Satu dalam bentuk mushaf (al-Tadwini), dan yang satu lagi dalam bentuk realitas selain yang termaktub (al-Takwini).
Akan tetapi keduanya saling menjelaskan satu sama lain. Untuk lebih konkretnya penjelasan ini, kita dapat melihat pesan (Mandar: Pappasang) dalam tradisi mandar terbagi dalam dua bagian. Ada pesan yang yang tertulis (jori’) dan adapula pesan yang tidak tertulis (tannijori’i).
Nah, ketika kita memosisikan alam sebagai ayat Tuhan, maka sepatutnya kita memandangnya sebagaia bagian dari panorama yang amat indah, dan tentu akan lebih indah Sang Perangcang alam ini.
Alam mestinya dilihat sebagai misteri yang tak tertandingi. Anda dapat membayangkan, walau sejenak, bahwa tidak satupun yang tercipta di dunia ini dengan system copy paste, imitasi, ataupun tiruan dari produk lain. Alam murni tercipta dari “tangan” Tuhan.
Pada posisi ini, Imam al-Gazaliy mengisayaratkan pesan agar tidak semua orang dapat dipercayai sebagai sosok yang mampu memaknai setiap kilas balik peristiwa dalam bingkai makna esoteris (hakiki). Karena yang berhak untuk semua itu hanyalah para sufi dan kaum yang telah teruji keimanannya.
Ketiga, Alam sebagai mi’raj, tangga spiritual menuju puncak kearifan. Pada posisi ini, seyogyanya umat manusia memaknai bahwa alam ini dapat menjadi wadah penyambung kesadaran internal kita sebagai hamba Allah swt. Alam ini tidaklah cukup untuk dipandang saja, tapi juga dikendalikan dan disemaikan bagi yang lain agar berguna manfaat pada sesama.
Dengan demikian, kesadaran spiritual hendaknya menjadi instrumen penting dalam upaya menjaga alam ini. Karena alam datang tanpa sebab, maka kitapun mestinya tidak menjadi penghianat terhadap alam, apalagi terhadap manusia.
“Jika engkau baik pada alam, maka alampun akan baik padamu. Namun jika engkau berbuat buruk pada alam, maka alampun akan muruka padamu”. Demikian kata para filosof.
“Kebeningan spiritual tercermin pada sikap dan respon alam terhadap kita”. Itu kata saya.
Wassalam
Komentar