Langsung ke konten utama

Janji Politik, Janji Tuhan?

Isu politik jelang pemilihan umum 2009 semakin hari, semakin gencar. Mulai dari sudut, hingga jantung kota terpajang ikon pembaharuan berbarengan dengan gambar para calon anggota legislatif. Ada yang menjanjikan perubahan, mengukuhkan pilihan untuk tidak beralih ke lain hati, meluruskan nasib bangsa, tak berjanji namun memberi bukti, bahkan sampai pada eksploitasi kaum leluhur/ nenek moyang yang telah lama bersemayam di alam kubur.

Ada pula yang membeberkan sejumlah prestasi yang diraihnya selama ini. Kesemuanya itu merupakan bagian dari strategi dan hasrat besar untuk menduduki jabatan empuk di pentas politik dalam segala kontennya.

Diakui, bahwa pemilu 2009 merupakan ajang yang paling terbuka bagi siapapun yang menjadi caleg untuk maju sebagai kontestan politik. Akan tetapi, sejak dinipun kita hendaknya lebih cermat membuka mata lebar-lebar alias bersikap objektif, bahwa kondisi masyarakat hari ini sedang mengalami kondisi psikologis yang cukup akut. Kondisi tersebut yakni munculnya sikap “kecewa berat” terhadap pengalaman pahit pada pemilu sebelumnya. Akibatnya, sikap masyarakat hari ini telah terseret pada sikap politik pragmatis, tanpa memiliki rasa tanggung jawab atas nasib masa depan bangsa.

Mengapa demikian? Secara historis, rentetan sejarah politik di negeri ini telah memberi bekas yang cukup membuat kita meradang, di mana masyarakat telah diobok-obok sedemikian rupa.

Pada pemilu 2004 ataupun yang sebelumnya, sejumlah elit telah memberi bekas yang cukup dalam dan nyaris membungkam semangat partisipasi politik masyarakat. Pada satu sisi, waktu itu, setiap caleg memberikan janji-janji yang menggiurkan, seolah-olah ketika duduk di kursi legislatif, akan mampu menunaikan janji seluruhnya. Secara etik, tentu hal ini merupakan bagian dari sikap takabur, arogan atau senang meremehkan persoalan. Hingga pada titik tertentu, seolah menjadi “Tuhan” di tengah- tengah masyarakat yang memberi janji yang sebanyak-banyaknya.

Di lain sisi, persoalan etika elit politik hari ini tidak mencerminkan sebuah kesadaran utuh dalam memperbaiki masa depan bangsa. Salah satu faktornya, karena sejumlah partai politik yang ada, tidak secara selektif dalam melakukan proses rekrutmen atau uji publik para caleg. Pada saat yang sama, parpol juga tidak memerhatikan aspek layak, merasa layak atau dipaksakan (menjadi) layak. Yang dibutuhkan sebatas figuritas kebangsawanan, sebatas otoritas historis, dan sebatas finansial.

Akibat dari fakta tersebut di atas, selayaknya masyarakat harus bersikap lebih hati-hati dalam menentukan siapa figur yang benar-benar layak disebut sebagai anggota legislatif mendatang. Masyarakat hari ini hendaknya lebih berorientasi pada seberapa besar komitmen para caleg, bukan pada berapa banyak janji-janji semu yang dilontarkan, apa lagi sampai pada praktek-praktek yang merontokkan harga diri manusia, harga diri bangsa.

Karena itu, melalui tulisan ini, penulis bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran yang nantinya diharapkan mampu menjadi spirit penggerak bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadaban serta terhindar dari perilaku politik jual-beli harga diri.

Untuk membuktikan harapan tersebut, maka sejak dini, atau sebelum masyarakat menentukan pilihan politiknya, seyogyanya memiliki kemampuan dalam melakukan “diagnosa-personal” terhadap kriteria caleg yang diidam-idamkan.

Kriteria caleg

Pertama, seorang caleg sejatinya memiliki kapasitas intelektual yang bergaransi. Apa yang dimaksud dengan bergaransi ? Jawabnya, tentu terkait dengan persoalan legalitas formil dan sosiologis. Pada aspek legalitas formilnya, kita harus tahu dan paham akan riwayat pendidikan yang disandang para caleg, apakah benar-benar pernah mengenyam pendidikan, ataukah sebatas transaksi ijazah palsu. Jika kita membiarkan fenomena ini berlarut-larut, maka akan terlahir dan berkembang biak para sarjana palsu, yang panik dan tiba-tiba, sekaligus fiktif dari legalitas formil sebuah institusi pendidikan tinggi. Dan sudah barang tentu, kita telah dapat memberi “cap” pembohong publik sebelum menjadi pejabat negara.

Sedangkan pada garansi sosiologis, kita dapat menakar setiap kinerja para caleg. Apakah sebatas konsep, sebatas janji ataukah telah menjelma menjadi seorang intelektual organik, yang mampu membawa suara rakyat pada institusi terhormat di lembaga perwakilan rakyat. Bukti dari garansi sosiologis tersebut dapat ditakar lewat dengan kemampuan melakukan proyeksi akan dambaan perubahan masa depan ketika telah menjadi anggota legislatif. Tegasnya, kita butuh caleg yang tidak sekedar menjanjikan iming-iming hadiah ataupun proyek, layaknya hadiah bagi setiap tim sukses.

Pada sisi ini, kita juga akan memahami apa yang akan dilakukan si caleg pada setiap tahunnya selama lima tahun menjabat. Salah satu ciri yang lebih konkrit adalah ketika ia memiliki spesialisasi keahlian yang akan menjadi pisau analisanya dalam mengawal kebijakan pembangunan. Sudah saatnya kita percaya pada para caleg yang secara terbuka mengakui setiap keterbatasannya, ketimbang para caleg yang merasa tahu akan segala hal. Karena di balik janji-janji yang terlalu bertumpuk tersebut, tersimpan tirai kejahilan dan ego kekuasaan (in power syndrome), yang pada akhirnya nanti akan semakin memperburuk nasib bangsa.

Kedua, seorang caleg harus benar-benar terlahir dari “rahim” masyarakat, bukan dari “rahim” karbitan, apalagi dari rahim kelompok yang secara historis telah berselingkuh dengan kaum kolonial, hingga turut bermental penjajah. Apa artinya? Ialah, seorang caleg paling tidak pernah merasakan pahit getirnya sebuah nasib masyarakat pada struktur sosial terendah. Ia harus memahami betapa penderitaan rakyat selama ini telah menjadi “permainan lucu” di kalangan elit bangsa. Juga tak kalah pentingnya, harus mampu bersuara seirama dengan suara keadilan. Dan pada saat yang sama, ia harus berkomitmen untuk tidak terlena dengan rayuan “mazhab” tirani.

Untuk aspek ini, agaknya kita perlu merenungkan sejenak ataupun berpikir ulang, apakah kita masih bersedia memunculkan figur-figur di legislatif yang sepanjang sejarah, telah menjadikan otoritas kebangsawanan mereka sebagai berhala? Masih relakah kita menjunjung tinggi orang-orang yang senang dengan pujian serta gemar dengan gaya borjuisme? Maukah kita menggadaikan kebahagiaan pada orang-orang yang senantiasa mengandalkan jari telunjuknya? Yang di setiap kedermawanannya, tersimpan sekian banyak kepentingan yang terselubung? Yang kemarahannya membuat kita semakin durjana? Relakah kita menanggung duka sepanjang hayat, sedang kehadiran mereka tetap saja menjadi malapetaka bagi kita?

Penulis ingin berpesan, tidak usah memilih para caleg yang bermental demikian, atau hanya mengandalkan kekuasaan. Karena siapapun yang berorientasi pada kekuasaan, pastilah akan terjerembab pada jebakan tirani, yang justeru akan semakin melestarikan tangisan penderitaan sepanjang masa.

Ketiga, untuk menghindari semakin suburnya kehadiran para caleg yang sebatas meluapkan “birahi” kekuasaannya, maka ke depan kita membutuhkan figur-figur yang memiliki kedalaman spiritual yang tak bertepi. Mengapa ini dibutuhkan? Fakta menunjukkan bahwa kita sebagai rakyat tidak memiliki akses yang begitu terbuka untuk melakukan proses up grading ketika menemukan anggota legislatif yang berbuat penyimpangan.

Kita telah dapat bercermin pada berbagai kasus yang menerpa para politisi sebelumnya, baik di Senayan Jakarta maupun di tingkat lokal. Tidak jarang kita disuguhi oleh berita skandal seks yang melibatkan para politisi dengan para pekerja seks komersil (PSK), para ABG (anak baru gede), maupun dengan kelompok perempuan lainnya. Sering pula kita menganga ketika melihat sikap para politisi yang senang dengan praktek penghadangan proyek di setiap lingkup SKPD, hingga pada sikap tidak siap membuka ruang proteksi yang dilontarkan oleh kalangan aktivis mahasiswa.

Ini jelas kasus moral. Namun sayang, kita sebagai masyarakat tetap saja menjadi rakyat, yang harus berlapang dada dan berjiwa baja menahan amarah, mengendalikan angkara murka.

Nah, paling tidak, ketika seorang caleg telah memiliki tingkatan spiritual yang mapan, akan menjadi garansi awal bagi masyarakat untuk menambatkan hatinya dalam memilih pada pemilu mendatang. Karena kita mendambakan perubahan ke arah yang lebih baik, maka seyogyanya kita mencari orang-orang yang telah bertumpu pada gerakan subtansi menuju kesempurnaan Ilahi. Kesadaran ilahiyahnya tidak menjadikan ia semakin stagnan, akan tetapi menjadikannya sebagai spirit perjuangan dalam menyuarakan aspirasi rakyat di pentas politik.

Pilihan ini jelas terlalu ideal bahkan terlampau utopis. Namun satu hal yang pasti, nurani politik jangan sampai tergadai oleh rayuan sesaat yang justru membumihanguskan harga diri kita sebagai manusia.

Karena janji Tuhan pasti adanya, maka janji politisi tidak usah digaransi. Karena selama ini, sudah terlalu banyak janji yang mewujud menjadi aib kemanusiaan. Tugas kita semua untuk melakukan "sensor" atas setiap penyakit kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui