Langsung ke konten utama

Majene Dan Skenario Besar Menuju Pilkada

Hangat!!! Begitulah respon saya ketika mencoba menelusuri realitas politik yang mulai mengerucut di Majene. Di Kabupaten terkecil yang berpenduduk sekitar seratus lima puluh ribu jiwa di Sulbar inilah, sejumlah politisi-birokrat, atau birokrat-politisi saling berkompetisi menuju kursi empuk nomor wahid, Bupati Majene.
Memang, persoalan Pilkada di Majene terbilang terlalu dini untuk dibicarakan. Apalagi perjalanan pemerintahan hari ini masih harus menempuh sekian banyak program yang belum ditunaikan, entah program untuk rakyat ataupun untuk yang lain.
Akan tetapi, kitapun tentu tidak dapat menutup mata akan setiap modus operandi yang dilakonkan oleh beberapa tokoh yang disinyalir akan menjadi kontestan pilkada nantinya. Yang jelas, di mata rakyat hari ini, terekam sebuah pesan tersirat bahwa setiap kebaikan harus dibalas dengan garansi politik pada pilkada mendatang.
Tulisan ini, tentu diharapkan dapat menjadi referensi ke depan dalam menelaah setiap realitas politik yang dapat berubah sesuai dengan kontennya. Sekaligus merupakan warning bagi pemerintahan yang sedang berjalan bahwa 2009 adalah tahun penentu, apakah pemerintahan yang berjalan kali ini dapat dikategorikan berhasil atau tidak.
Beberapa tokoh disinyalir akan maju sebagai kontestan, antara lain; Bupati Majene saat ini, Kalma Katta. Beliau masih dianggap memiliki kans yang cukup besar karena juga didukung oleh partai yang besar, Partai Golkar. Dalam beberapa diskusi dengan sekelompok LSM dan masyarakat, sosok Kalma Katta masih dianggap berada pada rating rata-rata. Artinya, keberadaanya tidak mengecewakan dan tidak pula memuaskan. Beliau masih memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi incumbent.
Akan tetapi, beberapa kalangan menilai bahwa Kepemimpinan Kalma saat ini tidak begitu membanggakan karena diapit oleh tim yang kurang solid dan visioner. Olehnya itu, peluang untuk maju pada periode kedua akan terwujud bila disertai dengan pasangan yang memiliki kompetensi SDM yang memadai, tim yang solid baik secara kuantitas terlebih secara kualitas, serta tegas dalam mengambil kebijakan. Dalam hal ini, tidak mudah diintervensi oleh siapapun, termasuk kaum yang terdekat.
Demikian pula dengan keberadaaan Wakil Bupati, Itol Syaiful T. Di kalangan pegawai di lingkup sekretariat daerah Majene, beliau dikenal sebagai sosok yang tegas sekaligus keras. Mungkin dari karakter demikianlah sehingga PDI-P meminang beliau untuk menhkodai partai tersebut. Persoalan prestasi, selama ini beliau dikenal sebagai tokoh bangsawan yang anti feodalisme. Di matanya, semua orang sama. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, beliau juga terbilang sosok misterius yang kadang kala mengagetkan sekaligus tidak jarang menakjubkan. Juga dalam beberapa diskusi dengan sekelompok anak muda dan beberapa teman-teman wartawan menerangkan bahwa jabatan Bung Itol saat ini bagaikan pabrik yang belum bekerja maksimal, sehingga tampak di depan mata bahwa jabatan yang disandang hari ini terkesan sebagai tempat “parkir” yang sepi dari program-program pembaharuan.
Di sisi lain, Sekretaris Kabupaten, Muhammad Rizal S, juga merupakan sosok yang_menurut hemat penulis,_ bakal masuk dalam bursa untuk pilkada mendatang. Cukup banyak hal yang dilakukan untuk mendongkrak popularitasnya selama ini. Dalam amatan penulis, beliau banyak berjasa dalam memediasi akses kerjasama dengan pihak luar. Mulai dari program yang high quality semisal ekplorasi migas yang dilakukan oleh PT. Exxon Mobil, hingga pada upaya mendapatkan berbagai lembaga mitra kerja yang diharapkan dapat membantu proses pembangunan di Majene. Termasuk juga berjasa dalam membuka jaringan kerja lewat media nasional, seperti TPI.
Di samping itu, beliau juga dikenal sebagai figur yang mampu mendinginkan suasana. Pengakuan ini juga diamini oleh beberapa mahasiswa yang kerap kali berdemonstrasi di depan kantor Bupati. Bagi mereka (baca: mahasiswa), sosok Rizal adalah sosok yang cukup menggiurkan untuk menjadi kontestan pilkada ke depan.
Sayangnya, popularitas beliau tergolong elitis bahkan borjuis, karena hanya dikenal oleh orang-orang yang bergerak di level atas. Beliau kurang dikenal di kalangan grass root. Dan, jika kita berbicara tentang pandangan seputar masa depan Majene, beliau masih terbilang sosok yang senang “melompat-lompat” dalam merancang program yang bermutu dan berhasil guna.
Sederet lembaga/organisasi telah dipimpin antara lain, Ketua PMI, Ketua KAHMI, Ketua LPTQ, Ketua Komunitas Sepeda Tua Majene (Kostum), dan lain-lain. Namun, sekali lagi di kalangan grass root, beliau belum begitu ampuh untuk menjadi rival popularitas sebagaimana popularitas kedua tokoh di atas.
Kita juga tidak dapat menutup mata dengan skenario yang sedang diusung oleh Wakil Ketua DPRD Sulbar, Arifin Nurdin. Disinyalir, riwayat politik beliau di DPRD Sulbar bakal berakhir sebelum 2014. Mengapa? Karena beliau juga akan maju sebagai Bupati yang nota bene sebagai representasi kalangan muda.
Akhir-akhir ini, figur Arifin Nurdin dikenal sebagai sosok yang memiliki performance yang begitu memikat hati. Pertautan antara kapasitas sebagai Wakil Ketua DPRD Sulbar dengan “Inner beauty-nya” telah menandai bahwa beliau jelas sebagai figur yang terbilang perfect. Dan, tentu yang lebih penting, karena beliau sangat dermawan. Karakter filantropi yang disandangnya bukan hanya untuk orang Majene, tapi juga termasuk seluruh rakyat di Sulbar.
Tengoklah ketika salah satu penderita kutil asal wonomulyo, Polewali Mandar dibawa ke RSU Wahidin Sudirohusodo di Makassar. Arifin Nurdin langsung memberikan bantuan sekaligus memberi contoh pada politikus lainnya, dan seolah berkata: “Hei, kalian jangan hanya bicara, buktikan kesalehan sosialmu !!!”.
Sayangnya, di beberapa kalangan juga menilai negatif atas kedok yang sering “diperagakan” oleh Bung Arifin. Pada level elit, banyak yang kurang respek terhadap beliau karena terlalu senang dalam memberikan kritik yang tidak sepadan dengan konteksnya. Misalnya dengan adanya kasus gizi buruk beberapa waktu lalu. Sekelompok pejabat membisiki penulis, bahwa Arifin Nurdin hanya mampu memberi uang, lalu mengeritik lewat media, tapi tidak pernah bersedia duduk bersama membicarakan nasib kampung halaman.
Kemudian, beberapa politisi lainnya juga menganggap sikap kedemawanan Arifin merupakan bukti kekerdilan strategi politik yang ke depan dapat mengamputasi kecerdasan politik masyarakat, khususnya di Sulbar. Intinya, strategi Arifin untuk menjadi tokoh penentu kebijakan di Majene tetap berpeluang, meski dianggap tidak melaksanakan proses pendidikan politik yang santun dan berkeadaban.
Sederet nama-nama yang lain juga turut membahana di telinga kita. Di antaranya, tokoh yang cukup berpengaruh dalam memenangkan Pasangan Kalma-Itol pada pilkada lalu, Sukri Tammalele. Ada juga Kepala BPPMD Sulbar, Mulyadhi Bintaha, Kepala Diklat LAN Makassar, Idris DP, Anggota DPRD Majene, Rusbi Hamid, dan lain-lain.

Kompetisi kompetensi
Baru baru ini, pemerintah Kabupaten Majene mengadakan mutasi pejabat yang membuat publik “tertawa”. Sejumlah respon dari teman-teman luar Majene masuk ke ponsel saya dan terkesan kebingungan dengan arah kebijakan pemkab dalam melakukan mutasi. Tidak diketahui apa subtansi dalam mendudukkan setiap pejabatnya di setiap level jabatan. Bahkan beberapa spekulasi berkembang bahwa hasil mutasi baru-baru ini merupakan babak penting dalam menentukan siapa yang akan menjabat sebagai Bupati Majene 2011 mendatang.
Mungkin kita dapat membantahnya bahwa ini sama sekali jauh dari nuansa politik, apalagi karena mutasi hanyalah proses rolling dan refreshing dalam birokrasi. Akan tetapi, pertanyaanya kemudian, adakah garansi yang dapat melegakan hati bahwa hasil mutasi tersebut tidak melalui pertimbangan politis (baca: pilkada)? Nah, pertanyaan inilah yang tidak dapat dijawab oleh para eksekutor mutasi.
Terlebih lagi dengan hasil mutasi yang menempatkan stakeholder dengan tidak berdasarkan pada kompetensi personal, baik kompetensi akademik, maupun kompetensi managerial. Pada kompetensi akademik, terlalu banyak jabatan yang diduduki oleh pejabat yang nihil keilmuan di bidangnya. Sehingga, disimpulkan bahwa mutasi yang terjadi adalah mutasi yang dilahirkan dari proses irrasionil serta di bawah bayang-bayang keturunan, marga, dan kepentingan pragmatis, lalu tersimpul dalam satu kata, Tirani.
Buktinya, sejumlah pejabat pada dinas yang strategis dijabat oleh orang-orang yang disangsikan kapabilitasnya, apalagi back ground akademiknya. Mereka di antaranya tergolong orang-orang yang tidak dapat menemukan ide-ide cemerlang dan progresif serta tidak mobile dalam berkreasi. Pengalaman hiduplah yang mereka andalkan. Sebaliknya, ada banyak pejabat yang terbilang mobile, kreatif, progresif, paradigmatik, justru diaborsi hanya dengan alasan dapat menjadi ancaman pilkada 2011 nanti. Ini jelas merupakan kompetisi yang tidak sehat, tidak mengindahkan kompetensi, serta jauh dari suara keadilan !!!
Meski demikian, siapapun yang bakal menjadi Bupati mendatang, bagi penulis, tidak akan membawa perubahan mendasar ketika masih mengandalkan mental kropos, paradigma politik salah kaprah, serta tidak memiliki visi yang jelas.
Mengapa demikian? Karena ketidakmampuan dalam mengendalikan proses pembangunan merupakan tanda bahwa saat ini sedang terjadi proses “bermain-main” dengan system.
Lalu figur seperti apa yang kita harapkan? Ialah yang memiliki visi pembangunan yang jelas, berkarakter kepemimpinan, memiliki kapasitas intelektual, dan (ini juga penting), popular seluruh level masyarakat.
Khusus untuk masalah popularitas, tidak serta merta dimaknai dengan pemasangan baliho bergambar senyuman terindah sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, sebgai upaya pengenalan kepada masyarakat bahwa figur yang bersangkutan memiliki kapasitas yang bergaransi untuk menjadi pengendali dan penyelamat tanah mandar lama.
Apapun hasilnya, inilah skenario besar menuju pilkada Majene 2011 mendatang. Semua yang berkepentingan telah menancapkan sendi-sendi pertarungan dengan cara yang sengit, sekalipun jauh dari semangat rasionalitas. Selanjutnya, scenario tersebut akan semakin gamblang setelah pemilu, April mendatang. Entah kebiadaban atau peradaban, kita tunggu episode selanjutnya.
Wassalam,-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa