Langsung ke konten utama

Parpol di Tengah redupnya Isu Lokal

Keberadaaan parpol saat ini mengalami ambiguitas di mata publik. Pada satu sisi, parpol merupakan bagian dari sebuah sistem yang berlaku di negara ini. Sedang pada sisi yang lain, fakta sosial membeberkan citra yang lain, karena parpol saat ini mengalami “cedera berat” akibat ulah elit politik yang saling berbondong-bondong menuju meja hijau di pengadilan.
Kasusnya bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh kelalailan administratif, korupsi, suap, hingga pada persoalan perempuan (selingkuh). Fakta ini menunjukkan kepada kita semua akan keberadaan parpol hingga hari ini, belumlah dapat merepresentasikan diri sebagai alat ampuh dalam mengelola dan mengawasi sistem yang sedang dan akan berlangsung.
Belum lagi dengan jumlah partai yang semakin membengkak hingga ke level 34. Direktur Sekolah Demokrasi Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, mengatakan, jumlah peserta pemilu 2009 mendatang semakin membuktikan dua kegagalan sekaligus, politikus gagal mengendalikan eufhoria pendirian partai, serta gagalnya sistem dalam merampingkan partai secara efektif (Kompas 15/ 7).
Padahal, dari 34 partai yang ada saat ini, tidak dengan serta merta menjadi representasi dari upaya membangun kebebasan berdemokrasi. Artinya, keberadaan parpol yang mencapai jumlah 34 tersebut bukanlah jaminan terbukanya mekanisme demokrasi yang sehat, murah, efektif, dan efisien. Atau dengan kata lain, kebanyakan parpol memiliki kesan ikut meramaikan pemilu saja.
Belum selesai dengan masalah di atas, kitapun dipertemukan dengan masalah besar. Bagi rakyat kecil, pemenuhan atas hak-hak lokal jauh lebih penting di atas segalanya. Sayangnya, parpol hingga saat ini masih “menyusu” ke pusat dalam mendesain jualan politiknya selama kampanye berlangsung.
Penulis melihat kegagalan pertama bagi sebuah parpol ketika tidak mampu melihat realitas lokal untuk disuarakan pada level global. Tengoklah keberadaan parpol yang saat ini hadir di Sulawesi Barat. Satu hal yang sering menjadi pertanyaan penulis, apa visi parpol saat ini terhadap percepatan pembangunan di Sulbar? Tahukah parpol saat ini akan masalah terbesar yang dihadapi masyarakat Sulbar secara umum?
Tapi jauh hari sebelum menjawab pertanyaan di atas, ternyata kita dihadapkan pada kendala terbesar di internal parpol saat ini. Parpol yang ada saat ini ternyata belum siap pada wacana seperti di atas. Karena, kesibukan parpol saat ini, baru sampai pada tahapan tukar-menukar nomor urut nama caleg yang akan bertarung pada pemilu 2009 mendatang.
Sampai di sini, dapat dipahami, bahwa perekrutan caleg tidak didasarkan pada kapasitas personal berupa kapasitas intelektual. Yang ada, baru sebatas kapasitas kharismatiknya saja. Anda akan dipinang sebagai caleg ketika anda memiliki basis massa riil. Persoalan anda mampu mengemban amanah rakyat, itu nanti sajalah……
Lebih lanjut, kebanyakan parpol yang ada, sistem kaderisasi internalnya tidak berjalan secara efektif, apalagi parpol yang baru lahir dari hasil ferivikasi KPU belum lama ini. Fakta ini dapat dilihat nantinya ketika parpol akan mengusung kandidat Bupati. Kebanyakan parpol tidak memiliki kader yang pasti. Yang ada justeru direkrut dari kelompok-kelompok pemodal besar dan memiliki daya magis-kharismatik. Fakta ini cukup menggelikan, ketika ada sebuah parpol yang mengusung seorang kandidat tidak lahir dari rahim parpol itu sendiri. Tanpa harus berteriak, kitapun telah mafhum, parpol tersebut tidak punya kader yang jelas lagi pasti.
Bagi penulis, pola ini semestinya dihindari. Ada dua efek yang ditimbulkan, parpol gagal dalam melahirkan sosok pemimpin yang tangguh dan progressif, serta pragmatis terhadap kekuasaan.
Isu lokal
Bersamaan dengan beberapa kerancuan di atas, tampak pula sikap antipati terhadap isu lokal. Intinya, isu lokal saat ini meredup di ranah Parpol. Pada item ini, ada dua persoalan penting.
Pertama, tentang masalah kemiskinan. Sejauh ini, pemerintah Sulawesi Barat telah mengagendakan program gerakan pembaharuan kakao, disingkat GPK. Tujuan inti dari program ini adalah upaya riil pemerintah dalam menopang ekonomi petani kakao di Sulbar. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan betapa semakin melaratnya para petani, akibat harga pupuk yang semakin meningkat, mengikuti naiknya harga BBM. Lalu, apa solusi parpol saat ini? Cukupkah dengan mekanisme subsidi langsung, sekaligus sebagai modal kampanye menuju pemilihan capres mendatang?
Ada lagi masalah lain yang dirasakan oleh rakyat kecil, khususnya para nelayan di Tanah Mandar ini, terkait dengan masalah Eksplorasi Minyak. Pertanyaanya, bagaimana sikap parpol terhadap gerakan eksplorasi minyak yang sedang berlangsung saat ini? Apakah parpol akan menyikapinya secara deterministik (pasrah) saja, dengan alasan bahwa kebijakan tersebut telah menjadi ketentuan dari pusat? Ataukah ada gebrakan lain yang lebih humanis, tidak merugikan para nelayan dan sumber daya laut kita? Atau malah sebaliknya, parpol akan menggunakan jurus pamungkas dengan logika ekonomisnya, Demi PAD, untuk sementara nelayan diharap libur!!!
Kedua, Bersamaan dengan masalah kemiskinan, persoalan pendidikan juga ternyata memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak, tidak terkecuali parpol. Memang, secara historis, rakyat mandar telah mufakat untuk menunjuk Majene sebagai pusat pendidikan di Sulawesi Barat. Dan upaya tersebut diamini Gubernur Sulbar dengan ketegasannya untuk tetap membangun Universitas Sulbar di atas Tanah Majene.
Akan tetapi, dalam perspektif kultural, sesungguhnya pusat pendidikan Sulawesi Barat belumlah terwujud hingga saat ini. Misalnya, minat baca masyarakat yang masih sangat minim, serta jumlah sarana membaca (taman baca) yang juga masih kurang, plus tidak memikat. Dalam hal ini, parpol tidak saja perlu memikirkan, tapi juga wajib untuk turut serta menciptakan iklim ilmiah, paling tidak, di internal parpol itu sendiri.
Pertanyaanya kemudian, adakah kantor/ sekretariat parpol yang saat ini diramaikan oleh sejumlah buku bacaan dari berbagai aliran politik dan mazhab pemikiran?
Isu-isu seperti ini, yang nota bene merupakan isu lokal, mestinya menjadi bagian penting dalam pelaksanaan kampanye yang berlangsung cukup lama.
Desain Kampanye
Bagi penulis, Parpol di dalam kampanyenya, tidak mesti selalu menjadi orator di tengah-tengah keluguan rakyat. Atau tidak pula mesti selalu menjulurkan tangan disertai dengan beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah sebagai sogokan kecil-kecilan kepada masyarakat. Apalagi harus berteriak histeris sambil bersumpah setia di depan publik, akan memperjuangkan hak-hak rakyat, menumpas korupsi, dan membuat regulasi yang berpihak kepada rakyat. Saat ini, itu tidak begitu penting....
Dengan rentang waktu yang cukup panjang dalam berkampanye, dapat memberikan kesempatan besar bagi parpol untuk mendesain pola kampanye yang sehat dan menyenangkan.
Selama ini, pola kampanye yang ada masih terkesan elitis dan simbolik. Bahkan mengarah pada pola penanaman nilai-nilai fanatisme kelompok, yang pada akhirnya mencederai keutuhan bersama dalam sebuah kelompok masyarakat. Salah satu contoh, adalah kebiasaan parpol “menggadaikan” para tokoh agama demi kesuksesan kampanyenya.
Sesekali parpol hendaknya menjadi pendengar akan keluh kesah yang dialami oleh masyarakat selama ini. Dengan pola ini, isu lokal jauh lebih mudah untuk disimak oleh para caleg 2009 mendatang. Bahkan akan lebih berkesan, bila sesekali parpol melakukan kampanye politik sambil menikmati hidangan ikan tui-tuing, di Somba. Dan, kitapun tidak keberatan jika diajak untuk turut serta meramaikannya……Ajiip!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa