Langsung ke konten utama

Belajar Dari Naga Bonar Dan Ahmadinejad

Seorang aktor kawakan, yang pernah memperoleh penghargaan dari Presiden SBY, karena terharu dengan hasil garapannya dalam sinetron yang diberi judul “Kiamat sudah dekat”, bernama Deddy Mizwar kembali menorehkan jasanya pada dunia perfilman. Dia bertindak sebagai sutradara sekaligus membintangi karya monumentalnya. Di dalamnya terungkap sebagian besar dari realitas yang sedang kita hadapi. Deddy Mizwar yang melakonkan figur seorang Nagabonar, begitu piawai dalam menerjemahkan berbagai keresahan kolektif bangsa, hingga menjadi tontonan yang mengharukan jiwa.
Dalam cerita tersebut digambarkan, bahwa pada suatu ketika, Nagabonar dihalangi oleh seorang polisi. Lalu dengan sekedar gertakan otoritas bahwa dia mengaku sebagai seorang Jenderal, maka dengan serta merta Sang polisi itupun ketakutan terbirit-birit. Takut akan nasib pangkatnya sebagai polisi, takut dengan hukuman dari atasannya.
Demikianlah realitas tersebut digambarkan dalam nuansa yang lucu, namun mengejek wajah institusi kepolisian kita. Nagabonar sesungguhnya sedang mempertontonkan sikap sebagian besar polisi yang bercokol di nusantara ini dalam bentuk yang benar-benar nyata. Ada sebuah pengumuman yang tersirat kepada khalayak bahwa demikianlah potret polisi di masyarakat kita yang hanya takut pada atasan, namun senang “mengemis” pada rakyat kecil, tidak terkecuali di sekitar kita.
Pada kali yang lain, Nagabonar bersikukuh untuk tidak menerima rencana eksploitasi kuburan istri, orang tua dan sohibnya. Dengan gambaran singkat yang dipresentasekan oleh Si Monita (Wulan Guritno) yang terbilang cantik di mata Si Bonaga (Anak Nagabonar), Ayah Si Bonaga tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak membongkar habis kuburan ketiga orang yang dicintainya. Dua pilihan pertama yang ditawarkan oleh Monita dkk, seluruhnya ditolak dengan alasan kemanusiaan.
Lalu bagaimana dengan pemerintahan kita? Tidakkah malu pada Si Nagabonar yang menolak mentah-mentah setiap tawaran yang sekalipun menguntungkan namun menggilas habis sendi-sendi kemanusiaan? Apa kata dunia?
Penulis sempat berandai-andai, sekiranya Nagabonar hadir di dunia nyata, maka sudah semestinya dinobatkan_walau sejenak_ sebagai pemimpin di daerah ini. Yakinlah bahwa dengan kepemimpinannya, maka seluruh bentuk-bentuk penipuan bergaya baru akan segera tuntas. Karena Nagabonar masih memiliki nurani kemanusiaan. Nagabonar tidak akan menjual tanah rakyatnya. Kepemimpinannya tidak akan semakin menyengsarakan rakyat kecil, namun ia akan membuktikan sekaligus membaktikan diri bahwa dia bukanlah sosok pemimpin yang menghisap darah rakyatnya.
Lanjutan cerita Nagabonar akan semakin menguak subtansi derita bangsa, di saat dirinya dengan susah payah, memanjat patung Jenderal Sudirman yang berdiri tegak di ibukota Negara Indonesia, Jakarta, sambil berteriak “Turunkan tanganmu Jenderal!!! Mereka tidak pantas untuk dihormati”.
Berulang kali teriakan tersebut terlontar dari mulut si Nagabonar. Berulang kali pula hati teriris pilu di saat teriakan tersebut harus “ditumpahkan” di Tanah Mandar Mala’bi ini. Betapa banyak orang-orang yang pantas untuk digoreskan namanya dalam catatan sejarah perjuangan pembentukan Sulawesi Barat, namun masih lebih banyak pihak yang merasa diri lebih pantas sebagai pejuang hingga sederet jasa perjuangannya dipublikasikan.
Jelas, mereka pasti jauh dari penghormatan sesungguhnya. Mereka hanyalah orang-orang yang berhasil memanfaatkan momen bersejarah dan otoritas masa silam sekaligus menjadi jualan dan bualan politiknya.
Ada lagi seorang sosok yang sangat ditakuti oleh Negara super power Amerika, Presiden Republik Islam Iran, Ahmadinejad. Sosok ini merupakan episode kedua setelah era Nagabonar. Maksudnya, Sosok Ahmadinejad memiliki beberapa kemiripan karakter dengan Nagabonar.
Suatu ketika, Presiden Ahmadinejad kaget dengan pembayaran tagihan telepon rumahnya. Dan ternyata, jumlahnya sangat membengkak dikarenakan kesenangan anak-anaknya bermain internet. Sang Presiden-pun ditawari agar menggunakan tunjangannya yang bersumber dari dana Negara untuk menutupi tagihan tersebut. Dengan segera dia menolak.
Bukan tanpa alasan, namun hendak memberi contoh kepada seluruh bawahan dan rakyatnya untuk tidak dengan mudah menggunakan dana Negara sekalipun telah menjadi haknya.
Lagi-lagi kita harus meneteskan air mata kepedihan jika keteladanan tersebut hendak dibumikan dalam sanubari pemerintahan kita. Seolah mustahil untuk dilaksanakan. Bukankah saat ini kita sedang mengalami kondisi pemerintahan yang “kelaparan dan kehausan” di berbagai sektor?
Ketika membongkar kembali cerita keteladanan di atas, maka nyaris seluruh rasa penyesalan akan muncul dalam diri kita. Seolah menyesal dihidupkan di tanah mandar, jika ternyata yang muncul hanyalah kemungkaran demi kemungkaran yang datang silih berganti. Kebenaran menjadi sesuatu yang asing, bahkan diangggap sebagai salah satu jenis kegilaan tersendiri di era modern ini. Sudah sulit menemukan bangunan megah dan kokoh tanpa didahului dengan kebohongan dan pembohongan publik. Hampir mustahil, memperoleh bantuan tanpa adanya potongan di sana-sini. Dan jangan sama sekali berharap urusan anda akan segera beres tanpa berkorban atas nama biaya administrasi.
Pernah pula pemerintah RI berkunjung ke Istana presiden Ahmadinejad, di Iran. Para petinggi Negara RI terheran-heran dengan pribadi yang senang berkampanye tentang nuklir ini. Sejak kedatangannya, dia tampak menggunakan kendaraan yang menurut ukuran orang Indonesia, sudah tidak layak pakai lagi. Namun menurutnya, bahwa etika pemakaian kendaraan dinas yang nota bene sebagai aset Negara bukan didasarkan pada model, tapi pada pertimbangan geografis (sesuai medan) dan daya tahan kendaraan tersebut untuk beberapa tahun mendatang. Sekaligus bertujuan agar pemerintah tidak lagi pusing untuk mengangggarkan belanja kendaraan dinas setiap tahunnya. Bayangkan, jika pemerintahan kita memiliki gaya berfikir yang demikian.
Selanjutnya, setelah memasuki ruangan pertemuan, kembali didapati sebuah alat pendingin ruangan (AC) yang cukup sederhana. Itupun jumlahnya hanya satu. Ditambah lagi dengan jas yang dikenakannya. Jas tersebut terbuat dari jenis kain yang sangat murah dan tampak kasar.
Kembali lagi, para petinggi Negara kita “tertunduk malu” sambil terperangah menyaksikan keajaiban yang benar-benar terjadi. Mereka yang hadir tampak begitu kagum dengan kesederhanaan yang dipraktekkannya, bukan yang dikampanyekan.
Sekali lagi kita harus berandai-andai. Sekiranya ada sebuah kesepakatan internasional untuk menukarkan pemimpin daerahnya dengan pemimpin Negara lain, maka penulis akan berteriak melebihi teriakan Si Nagabonar untuk segera memilih Ahmadinejad sebagai pemimpin di Sulawesi Barat. Kehadirannya pasti akan membuat aparatus pemerintahan menjadi berubah drastis. Aparatus-aparatus tersebut tentunya akan berpikir panjang sebelum melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Mereka diharapkan dapat mengemban amanah Negara dengan tulus dan ikhlas. Paradigma merekapun akan tercuci bersih dari segenap kotoran yang selama ini telah menggumpal dan membudaya serta menjadi darah daging pemerintahan.
Cukuplah sosok Nagabonar dan Ahmadinejad menjadi “alat pukul” yang paling pas bagi yang senang dengan “gaya borjuis”. Biarlah cerita di atas senantiasa dikenang dalam setiap perjalanan dinas. Agar nantinya, kita tidak lagi menemukan elit-elit negara yang senang dengan hotel mahal, pesawat mahal, pakaian mahal hingga pada restoran mahal. Sebaliknya mereka diharapkan dapat berpikir skala prioritas dalam menikmati kekayaan negara. Semoga bangsa ini tetap bernyawa meski dalam kondisi yang tertatih-tatih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui