Dari sudut pandang fenomenologis, peristiwa haji terbilang cukup unik dibandingkan dengan praktek-praktek ibadah ritual lainnya. Efeknya tidak hanya terkait pada sosok yang akan menunaikan haji, namun juga pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Berdasarkan data Kompas (20/11), Andi Suruji mewartakan, dengan asumsi ongkos naik haji (ONH) rata-rata Rp. 30 juta, artinya sedikitnya Rp. 6,3 triliun lebih uang yang berputar, khusus untuk masalah haji tahun ini.
Belum lagi bagi sejumlah jamaah yang ingin menunaikan haji dengan cara plus; plus uang, plus fasilitas dan sebagainya. Bagi jamaah yang menginginkan perjalanan haji plus, mereka tidak tangung-tanggung untuk “menumpahkan” hartanya sekalipun biaya yang dikeluarkan mencapai 100% dua kali lipat dari biaya haji regular.
Itu baru ONH, kata Suruji, karena di luar kewajiban tersebut, masih banyak kebutuhan-kebutuhan lainnya yang sangat bersinggungan dengan masalah uang. Misalnya masalah pernak-pernik, biaya administrasi, biaya manasik, biaya syukuran, biaya hidup di tanah suci, serta biaya oleh-oleh bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bagi yang tidak menunaikan, mereka juga tidak kalah sibuknya. Setidaknya, mereka disibukkan dengan pengeluaran uang meliputi biaya ziarah kepada para calon jemaah haji, biaya pengantaran dan, tunggulah saatnya nanti ketika ketika jamaah telah kembali ke tanah air, juga di butuhkan biaya “ucapan selamat”.
Fenomena ini tentu telah banyak disorot oleh berbagai kalangan, utamanya yang selama ini intens melihat gejala sosio-histories dalam perkembangan perhajian setiap tahunnya.
Pada tulisan kali ini, ada baiknya, kita sejenak menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa respon dan tuduhan kaum kolonial terhadap sikap umat umat Islam, dari zaman Hindia-belanda hingga zaman millennium seperti sekarang ini.
Dalam khazanah hukum Islam, telah ditetapkan bahwa yang layak mengikuti perjalanan ibadah haji adalah orang yang “Isthatha’ah” alias mampu. Lalu, dipahamilah bahwa salah satu indikator kemampuan seseorang dalam berhaji sangat erat kaitannya dengan masalah financial.
Anggaran Haji
Dalam pandangan analis kolonial belanda, dirumuskan beberapa sumber pendapatan kaum muslim sebelum mereka berangkat haji. Antara lain:
Pertama, penjualan hasil perkebunan dan pertanian. Termasuk di dalamnya nelayan dan peternak. Cara ini menempati rating tertinggi sepanjang abad XIX hingga pertengahan abad XX. Beberapa hasil pertanian dan perkebunan yakni: Lada, padi, tembakau, kopi, kakao, karet dll.
Kedua, perdagangan. Perdagangan merupakan model tertua dalam cerita panjang upaya pengumpulan dana haji kaum muslim nusantara. Pada abad XVI, sejumlah orang Indonesia telah berhaji lantaran hasil perdagangannya. Bahkan terkadang, dalam perjalanan ibadah haji yang pada masa silam dapat memakan waktu sekitar lima sampai enam bulan, mereka masih melakukan aktivitas dagang di kapal layar.
Ketiga, Upah kerja. Pada abad XIX, masyarakat semenanjung Malaya bekerja sebagai buruh pada perkebunan sawit. N. Schetelma, mengatakan, bahwa terdapat sejumlah orang Indonesia yang tidak mempunyai uang untuk berhaji. Sebagai jalan keluar, mereka berkerja sebagai kuli hingga beberapa tahun kemudian, mereka memiliki bekal. Bahkan ada beberapa jamaah haji yang setelah kembali dari tanah suci, mereka melakukan eksodus ke Singapura, untuk kembali menjadi kuli. Itulah yang kemudian digelari dengan sebutan “Haji Singapura”.
Keempat, melalui pinjaman. Tidak disangkal, ada beberapa jamaah haji yang rela meminjam uang hingga sekian puluh juta hanya untuk menyandang gelar Haji. Pada 1925, Tajuddin Brother’s, sebuah perusahaan yang bergerak pada usaha meminjamkan uang, memperoleh sejumlah tanah pertanian yang subur sebagai tebusan biaya perjalanan haji. Vredenbregt menyatakan, bahwa pola ini merupakan pemiskinan haji. Sebab sekembalinya dari Makkah, jika mereka tidak mampu melunasi utangnya, mereka akan kehilangan sumber kehidupan.
Spirit Haji
Salah seorang konsulat Belanda di Jedaah, J. Wolff (1911-1914) menyimpulkan: “Bahwa jamaah haji Hindia-belanda yang 90 % mereka berasal dari kalangan “marginal”, sederhana jiwanya, tidak dengan semangat keagamaan yang berlebihan, berketetapan hati untuk berhaji. Tapi, mereka berhaji karena orang lain di sekelilingnya terlebih dahulu telah melaksanakannya, atau karena dirayu, ataupun karena menganggap pakaian haji sama dengan pakaian agama.
Jadi kesimpulannya, menurut J. Wolff, kaum muslim nusantara tidak memiliki interpretasi yang jelas terhadap haji. Bahkan cenderung sebatas mengikuti trend keagamaan.
Lalu menurut Snouck Hurgronje, katanya, terdapat beberapa faktor yang melandasi minat umat Islam Nusantara unuk berhaji.
Pertama, hasrat masyarakat muslim pribumi untuk berhaji dikarenakan oleh keinginan mereka untuk memperoleh kehormatan sosial melalui pakaian sorban dan beragam jenis asesoris haji lainnya.
Kedua, Haji di masa silam digunakan sebagai wahana atau momen menuntut ilmu.
Ketiga, mengurangi atau kecewa terhadap realitas duniawi; lebih sederhananya disebut dengan kejenuhan hidup.
Kemudian, dalam artikel “Indie” lebih rinci menyebutkan motif muslim nusantara dalam menunaikan salah satu perintah Allah swt, yakni: Menyatakan keberanian, menimbulkan kebanggan, menjadikan terpandang, dan sebagai alternatif jalan-jalan menikmati dunia lain.
Rahasia Haji
Bagi penulis, beberapa tuduhan yang tertera di atas ada benarnya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Dan salah satu titik kelemahannya karena pandangan yang digunakan dalam menyoroti masalah ini sebatas pada wilayah praksis, yang tentunya gagal dalam menembus ruang tak terbatas, atau ruh haji itu sendiri.
Pada dimensi praksis kita memang cenderung mengamati peristiwa haji masih sebatas pemenuhan hasrat stratifikasi sosial. Akan tetapi, dengan tingkat kesadaran beragama masyarakat, tuduhan tersebut dapat dieliminir secara bertahap. Dan karena itu, pemenuhan akan nilai-nilai esoteris seputar persoalan ibadah haji seyogyanya dapat ditebarkan tanpa memilah dan memilih antara satu makhluk dengan makhluk lainnya.
Beberapa dokumen penting dapat dijadikan “azimat” atau spirit haji bagi siapapun yang hendak berhaji, antara lain:
Pertama, dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman:
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah KepadaKu hai orang-orang yang berakal” (Qs.2:179)
Kedua, Dalam satu riwayat juga disebutkan, bahwa suatu ketika al-Syibly pernah ditanya oleh Ali Zainal Abidin. Wahai al-Syibliy, pernahkah engkau menghormati masjidil Haram? Tentu. Jawab al-Syibly. Lalu ditanya lagi, sudahkah engkau menegakkan kehormatan bagi kaum muslimin? Lalu al-Syibly tidak mampu berkata-kata lagi.
Ini tentu menjadi pelajaran berharga bahwa, sesungguhnya kehormatan kaum muslimin jauh lebih berharga daripada kehormatan Ka’bah yang menjadi sentral ibadah kaum muslimin. Karenanya, secara filosofis, pembangunan Masjidil haram dibangun karena hendak mengokohkan kehormatan umat manusia. Sebaliknya, barangsiapa yang meruntuhkan kehormatan kaum muslimin, jauh lebih terhina dari pada orang yang meruntuhkan ka’bah di masjidil haram.
Ketiga, al-Gahazali menitipkan pesan bagi yang berhaji yakni, berhajilah dengan harta yang halal, jangan mau diperas orang lain, jangan boros dengan kelezatan material, hindari akhlak tercela, perbanyaklah berjalan kaki, gunakan pakaian sederhana, peduli pada yang miskin, dan sabar terhadap musibah yang melanda.
Keempat, Tokoh besar dalam dunia tasawuf, Ja’far al-Shadiq, berkata:
“Jika engkau berangkat haji, kosongkan hatimu dari segala urusan. Hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah swt. Tinggalkan setiap penghalang, dan serahkan urusanmu pada penciptamu. Bertawakkallah kepadaNYa dalam gerak dan diammu.
Buatlah persiapan seakan engkau tidak akan kembali lagi. Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati dan kekhusuan. Bertawaflah dengan hati dan malaikat arsy. Akuilah kekhilafanmu ditempat pengakuan; di arafah. Segarkan perjanjian primordialmu, lemparkan amarahmu dan hempaskan birahimu di jamarat”.
Kelima, dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib, berkata:
“Allah telah mewajibkan kalian untuk menunaikan ibadah haji ke rumah Suci-Nya yang merupakan momen penting bagi umat manusia. Yang pergi ke sana laksana binatang buas atau burung merpati bergerak mendatangi mata air. Posisi mereka sama dengan para Nabi Allah, serta para malikat-Nya di arsy. Mereka mendapatkan keuntungan dari Ibadahnya, serta ampunan yang diajanjikan”.
Boleh jadi kita masih senang mengepalkan tangan untuk menentang anggapan kaum kompeni sebagaimana sikap para pejuang kita di masa silam. Namun untuk masalah ini, cukuplah ditebus dengan sikap penuh kerahmatan. Dan, tanpa berucappun, anggapan mereka akan sirna dengan sendirinya.
“Wa Idza Khathabahum al-Jahiluuna qaluu salamaa”. Jika berjumpa dengan orang-orang jahil, mereka berkata: Salamaa; salam sejahtera penuh kedamaian. Demikian firman Tuhan. Wassalam.
Belum lagi bagi sejumlah jamaah yang ingin menunaikan haji dengan cara plus; plus uang, plus fasilitas dan sebagainya. Bagi jamaah yang menginginkan perjalanan haji plus, mereka tidak tangung-tanggung untuk “menumpahkan” hartanya sekalipun biaya yang dikeluarkan mencapai 100% dua kali lipat dari biaya haji regular.
Itu baru ONH, kata Suruji, karena di luar kewajiban tersebut, masih banyak kebutuhan-kebutuhan lainnya yang sangat bersinggungan dengan masalah uang. Misalnya masalah pernak-pernik, biaya administrasi, biaya manasik, biaya syukuran, biaya hidup di tanah suci, serta biaya oleh-oleh bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bagi yang tidak menunaikan, mereka juga tidak kalah sibuknya. Setidaknya, mereka disibukkan dengan pengeluaran uang meliputi biaya ziarah kepada para calon jemaah haji, biaya pengantaran dan, tunggulah saatnya nanti ketika ketika jamaah telah kembali ke tanah air, juga di butuhkan biaya “ucapan selamat”.
Fenomena ini tentu telah banyak disorot oleh berbagai kalangan, utamanya yang selama ini intens melihat gejala sosio-histories dalam perkembangan perhajian setiap tahunnya.
Pada tulisan kali ini, ada baiknya, kita sejenak menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa respon dan tuduhan kaum kolonial terhadap sikap umat umat Islam, dari zaman Hindia-belanda hingga zaman millennium seperti sekarang ini.
Dalam khazanah hukum Islam, telah ditetapkan bahwa yang layak mengikuti perjalanan ibadah haji adalah orang yang “Isthatha’ah” alias mampu. Lalu, dipahamilah bahwa salah satu indikator kemampuan seseorang dalam berhaji sangat erat kaitannya dengan masalah financial.
Anggaran Haji
Dalam pandangan analis kolonial belanda, dirumuskan beberapa sumber pendapatan kaum muslim sebelum mereka berangkat haji. Antara lain:
Pertama, penjualan hasil perkebunan dan pertanian. Termasuk di dalamnya nelayan dan peternak. Cara ini menempati rating tertinggi sepanjang abad XIX hingga pertengahan abad XX. Beberapa hasil pertanian dan perkebunan yakni: Lada, padi, tembakau, kopi, kakao, karet dll.
Kedua, perdagangan. Perdagangan merupakan model tertua dalam cerita panjang upaya pengumpulan dana haji kaum muslim nusantara. Pada abad XVI, sejumlah orang Indonesia telah berhaji lantaran hasil perdagangannya. Bahkan terkadang, dalam perjalanan ibadah haji yang pada masa silam dapat memakan waktu sekitar lima sampai enam bulan, mereka masih melakukan aktivitas dagang di kapal layar.
Ketiga, Upah kerja. Pada abad XIX, masyarakat semenanjung Malaya bekerja sebagai buruh pada perkebunan sawit. N. Schetelma, mengatakan, bahwa terdapat sejumlah orang Indonesia yang tidak mempunyai uang untuk berhaji. Sebagai jalan keluar, mereka berkerja sebagai kuli hingga beberapa tahun kemudian, mereka memiliki bekal. Bahkan ada beberapa jamaah haji yang setelah kembali dari tanah suci, mereka melakukan eksodus ke Singapura, untuk kembali menjadi kuli. Itulah yang kemudian digelari dengan sebutan “Haji Singapura”.
Keempat, melalui pinjaman. Tidak disangkal, ada beberapa jamaah haji yang rela meminjam uang hingga sekian puluh juta hanya untuk menyandang gelar Haji. Pada 1925, Tajuddin Brother’s, sebuah perusahaan yang bergerak pada usaha meminjamkan uang, memperoleh sejumlah tanah pertanian yang subur sebagai tebusan biaya perjalanan haji. Vredenbregt menyatakan, bahwa pola ini merupakan pemiskinan haji. Sebab sekembalinya dari Makkah, jika mereka tidak mampu melunasi utangnya, mereka akan kehilangan sumber kehidupan.
Spirit Haji
Salah seorang konsulat Belanda di Jedaah, J. Wolff (1911-1914) menyimpulkan: “Bahwa jamaah haji Hindia-belanda yang 90 % mereka berasal dari kalangan “marginal”, sederhana jiwanya, tidak dengan semangat keagamaan yang berlebihan, berketetapan hati untuk berhaji. Tapi, mereka berhaji karena orang lain di sekelilingnya terlebih dahulu telah melaksanakannya, atau karena dirayu, ataupun karena menganggap pakaian haji sama dengan pakaian agama.
Jadi kesimpulannya, menurut J. Wolff, kaum muslim nusantara tidak memiliki interpretasi yang jelas terhadap haji. Bahkan cenderung sebatas mengikuti trend keagamaan.
Lalu menurut Snouck Hurgronje, katanya, terdapat beberapa faktor yang melandasi minat umat Islam Nusantara unuk berhaji.
Pertama, hasrat masyarakat muslim pribumi untuk berhaji dikarenakan oleh keinginan mereka untuk memperoleh kehormatan sosial melalui pakaian sorban dan beragam jenis asesoris haji lainnya.
Kedua, Haji di masa silam digunakan sebagai wahana atau momen menuntut ilmu.
Ketiga, mengurangi atau kecewa terhadap realitas duniawi; lebih sederhananya disebut dengan kejenuhan hidup.
Kemudian, dalam artikel “Indie” lebih rinci menyebutkan motif muslim nusantara dalam menunaikan salah satu perintah Allah swt, yakni: Menyatakan keberanian, menimbulkan kebanggan, menjadikan terpandang, dan sebagai alternatif jalan-jalan menikmati dunia lain.
Rahasia Haji
Bagi penulis, beberapa tuduhan yang tertera di atas ada benarnya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Dan salah satu titik kelemahannya karena pandangan yang digunakan dalam menyoroti masalah ini sebatas pada wilayah praksis, yang tentunya gagal dalam menembus ruang tak terbatas, atau ruh haji itu sendiri.
Pada dimensi praksis kita memang cenderung mengamati peristiwa haji masih sebatas pemenuhan hasrat stratifikasi sosial. Akan tetapi, dengan tingkat kesadaran beragama masyarakat, tuduhan tersebut dapat dieliminir secara bertahap. Dan karena itu, pemenuhan akan nilai-nilai esoteris seputar persoalan ibadah haji seyogyanya dapat ditebarkan tanpa memilah dan memilih antara satu makhluk dengan makhluk lainnya.
Beberapa dokumen penting dapat dijadikan “azimat” atau spirit haji bagi siapapun yang hendak berhaji, antara lain:
Pertama, dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman:
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah KepadaKu hai orang-orang yang berakal” (Qs.2:179)
Kedua, Dalam satu riwayat juga disebutkan, bahwa suatu ketika al-Syibly pernah ditanya oleh Ali Zainal Abidin. Wahai al-Syibliy, pernahkah engkau menghormati masjidil Haram? Tentu. Jawab al-Syibly. Lalu ditanya lagi, sudahkah engkau menegakkan kehormatan bagi kaum muslimin? Lalu al-Syibly tidak mampu berkata-kata lagi.
Ini tentu menjadi pelajaran berharga bahwa, sesungguhnya kehormatan kaum muslimin jauh lebih berharga daripada kehormatan Ka’bah yang menjadi sentral ibadah kaum muslimin. Karenanya, secara filosofis, pembangunan Masjidil haram dibangun karena hendak mengokohkan kehormatan umat manusia. Sebaliknya, barangsiapa yang meruntuhkan kehormatan kaum muslimin, jauh lebih terhina dari pada orang yang meruntuhkan ka’bah di masjidil haram.
Ketiga, al-Gahazali menitipkan pesan bagi yang berhaji yakni, berhajilah dengan harta yang halal, jangan mau diperas orang lain, jangan boros dengan kelezatan material, hindari akhlak tercela, perbanyaklah berjalan kaki, gunakan pakaian sederhana, peduli pada yang miskin, dan sabar terhadap musibah yang melanda.
Keempat, Tokoh besar dalam dunia tasawuf, Ja’far al-Shadiq, berkata:
“Jika engkau berangkat haji, kosongkan hatimu dari segala urusan. Hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah swt. Tinggalkan setiap penghalang, dan serahkan urusanmu pada penciptamu. Bertawakkallah kepadaNYa dalam gerak dan diammu.
Buatlah persiapan seakan engkau tidak akan kembali lagi. Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati dan kekhusuan. Bertawaflah dengan hati dan malaikat arsy. Akuilah kekhilafanmu ditempat pengakuan; di arafah. Segarkan perjanjian primordialmu, lemparkan amarahmu dan hempaskan birahimu di jamarat”.
Kelima, dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib, berkata:
“Allah telah mewajibkan kalian untuk menunaikan ibadah haji ke rumah Suci-Nya yang merupakan momen penting bagi umat manusia. Yang pergi ke sana laksana binatang buas atau burung merpati bergerak mendatangi mata air. Posisi mereka sama dengan para Nabi Allah, serta para malikat-Nya di arsy. Mereka mendapatkan keuntungan dari Ibadahnya, serta ampunan yang diajanjikan”.
Boleh jadi kita masih senang mengepalkan tangan untuk menentang anggapan kaum kompeni sebagaimana sikap para pejuang kita di masa silam. Namun untuk masalah ini, cukuplah ditebus dengan sikap penuh kerahmatan. Dan, tanpa berucappun, anggapan mereka akan sirna dengan sendirinya.
“Wa Idza Khathabahum al-Jahiluuna qaluu salamaa”. Jika berjumpa dengan orang-orang jahil, mereka berkata: Salamaa; salam sejahtera penuh kedamaian. Demikian firman Tuhan. Wassalam.
Komentar