Langsung ke konten utama

Ketika Kebahagiaan disalah ukuri

Tulisan ini merupakan ulasan atas hasil perbincangan saya dengan sekumpulan ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok mejelis taklim “Tazkiyatunnufus” di Kelurahan Pangali-ali Kab. Majene.
Sore itu, saya mendatangi kaum ibu-ibu dengan bermodalkan sebuah buku kecil (karena tidak Pe-de disebut Ustadz), berjudul “Meraih kebahagiaan”, karya Jalaluddin Rakhmat (2006).
Dari sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh Ibu-ibu tersebut, saya merasa tertantang untuk menyelami lebih dalam karena memiliki kekuatan faktawi. Tentu, sebagai instrumen saya dalam melakukan analisa lebih lanjut.
Sepekan kemudian saya kembali mengutak-atik beberapa buku yang menumpuk di lemari saya yang sudah tidak layak jual. Dan kutemukan salah satu karya emas Martin EP. Seligman, berjudul “Authentic Happines”.
Saat membaca ulasan awal Kang Jalal, saya langsung dibenturkan dengan masalah yang sangat teosentris. Beliau membongkar cakrawala berfikir saya dengan satu kalimat; “Demi perjuangan, campakkan kebahagiaan !!!”.
Semakin saya membacanya, semakin keras pula gugatan-gugatannya. Sebahagian gugatannya dituliskan dalam buku, dan sebahagian lagi dituturkan saat saya menjenguk beliau setelah sembuh dari sakitnya, Desember 2007 lalu di Bandung Jawa Barat.
Katanya, “Sekiranya Tuhan, Maha Pengasih, mengapa penderitaan harus mendahului kebahagiaan?”. Lalu di saat terjadi perang atas nama kebenaran Tuhan terjadi, di mana Tuhan saat itu? Mengapa Dia tidak turun saja membasmi para “neo-fir’aun“ itu? Di manakah Tuhan ketika lumpur lapindo meluap-luap? Di mana......???
Ada lagi seorang Ustadz yang ditanya, kenapa umat Islam selalu saja miskin? Lalu dengan enteng Sang Ustadz menjawab, sudahlah itu merupakan ujian Tuhan bagi hamba-Nya yang beriman.
Jadi (atas dasar jawaban Ustadz tersebut), untuk menjadi orang yang benar-benar beriman, hindarkanlah diri anda dari kebahagiaan duniawi. Jauhkan diri anda dari berbagai hal-hal yang memukau, memikat dan menggembirakan, karena itu dapat membuat hati semakin beku dan kita akan semakin lalai.
Benarkah demikian? Bukankah kebahagiaan ukhrawi sangat disokong oleh kebahagiaan duniawi? Dan bukankah motivasi ukhrawi dapat membentuk karakter yang bahagia di dunia?

Teologi kebahagiaan
Mengapa disebut teologi kebahagiaan? Jawabnya, kita ingin meneropong secara lebih dekat “keterlibatan Tuhan” dalam menumbuhkan kebahagiaan pada diri seseorang. Apakah benar Tuhan telah menjauh dari hidup kita, ataukah kita yang telah menutup pintu kebahagiaan?
Menanggapi polemik di atas, saya menawarkan jawaban bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan yang memerdekakan manusia secara utuh. Kebahagiaan akan tumbuh bersemayam dalam lubuk jiwa ketika kita menghendakinya. Sekali lagi, kebahagiaan merupakan pilihan hidup.
Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat beragam fakta di lapangan.
Misalnya, seorang siswa yang gagal dalam ujian nasional. Bagi kebanyakan siswa, mereka memiliki kecenderungan merasa kecewa dan dianggap sebagai “kiamat pertama” menurut Adi Arwan Alimin, redpel harian ini.
Akan tetapi, pernah pula hadir kejadian yang aneh. Seorang anak datang kegirangan di hadapan orang tuanya, sambil berucap: “Pak, saya tidak lulus ujian nasional!”. Lalu orang tuanyapun tidak shock dengan kabar kegagalan dari anaknya. Dia hanya berucap, “Selamat buat anandaku yang gagal dalam ujian nasional, karena sesungguhnya engkau telah lulus dalam ujian kehidupan. Senyumanmu hari ini adalah pertanda kelulusanmu”.
Sebaliknya, terkadang kita menyaksikan para selebriti yang setiap harinya “setor wajah plus senyum” di televisi. Dengan jumlah uang yang diperolehnya, tidak justeru mendapatkan kehangatan dalam menjalin rumah tangganya. Persoalan cerai adalah awal dimulainya genderang sengketa harta gono-gini dengan pasangannya.
Sekali lagi, Tuhan tidak menyediakan aturan kebahagiaan secara absolut, namun Dia mengilhami bahkan menjadi ruh atas kebahagiaan hakiki. Tuhan mengajarkan arti kebahagiaan hakiki ketika materi dan seluruh instrumen materi tak mampu lagi menjawabnya.
Lain halnya dengan kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bagi saya, tidak masalah jika Wapres Jusuf Kalla beranggapan bahwa BLT sebagai sedekah negara untuk rakyat. Akan tetapi, hal yang paling menyedihkan adalah hilangnya harga diri bangsa dalam pusaran uang Rp. 300.000.
Problem ini hendaknya tidak sekedar diamati dari perspektif ekonomis saja. Tapi lihatlah masa depan bangsa ini secara lebih cermat. Ke depan, kita akan semakin sulit menemukan karakter bangsa yang tangguh dan mandiri. Artinya, kebahagiaan masa depan tidak akan ditemukan pada diri perseorangan, namun pada sejauhmana kebijakan semakin memanjakan dan membodohi rakyat. Lagi-lagi harapan hidup bahagia semakin jauh dari harapan rakyat.

Kecerdasan & kebahagiaan
Karena kebahagiaan adalah pilihan, maka kita harus memahami dampak bagi diri kita masing-masing. Sekaligus mendeteksi diri sejak dini, apakah kita telah berada dalam bayang-bayang kejahilan, atau tidak ?
Dengan mengikuti “fatwa” Martin Seligman, katanya, kebahagiaan sangat berperan dalam menciptakan kecerdasan pada diri manusia.
Marilah kita membuka “tirai kezaliman” dalam dunia pendidikan kita. Kata orang, “Kaleng kosong nyaring bunyinya”. Boleh jadi benar ungkapan demikian, akan tetapi kadang pula keliru.
Tengoklah sistem ujian nasional yang merontokkan dimensi kebahagiaan setiap siswa. Saat ujian nasional berlangsung, bayang-bayang ketakutan dan kecemasan mendominasi nalarnya. Kecepatannya dalam menjawab soal terkalahkan oleh kecepatan detak jantungnya yang berdebar-debar, menjauhkan diri pandangan para pengawas yang berwajah garang. Dan saat itu, daya ingatnya tidak bekerja secara maksimal. Kesimpulannya, karena kondisi ketakutan mendominasi mekanisme ujian nasional, maka kecerdasan semakin merosot.
Di tambah lagi dengan sistem yang menafikan potensi kecerdasan alternatif siswa. Misalnya, seorang siswa tidak cerdas dalam menjawab soal secara tertulis, namun mampu menjawabnya lewat ekplorasi imajinasinya. Adapula siswa yang tidak mampu berimajinasi lewat gambar, namun sanggup bertutur kata selama berjam-jam. Akankah kita harus menafikan semua potensi kecerdasan ini, hanya untuk sebuah perjuangan standarisasi pendidikan nasional?
Saya ingin berucap, kadangkala kita tidak sadar bahwa kita sedang menanamkan kesengsaraan permanen pada diri setiap generasi. Dan akibat dari ketidaksadaran tersebut, kita telah menutup harapan hidupnya sebagai orang yang bahagia sepanjang hayat.
Karena itu, kita tidak perlu merasa heran, ketika banyak siswa yang secara administratif tampak cerdas, namun pada hakikatnya brutal dan tak mampu menjadi harapan peradaban.
Lisa Aspinwall (seorang profesor di Universitas Utah yang pada tahun 2000 memenangi hadiah kedua dari Templeton) mengumpulkan bukti kuat, bahwa dalam mengambil keputusan penting pada kehidupan nyata, mereka yang bahagia bisa lebih pintar dalam memutuskan sesuatu.
Agama & Kebahagiaan
Setengah abad sigmund Freud merendahkan Agama. Demikian kata Selligman. Ilmu sosial tetap mendua terhadap agama. Diskusi-diskusi akademis tentang iman telah menuding agama sebagai biang kerok munculnya perasaan bersalah pada diri manusia.
Pernyataan di atas jelas ada kebenarannya. Selama ini suguhan keagamaan lebih banyak tersaji dalam terma-terma yang menakutkan. Dalam perspektif psikologi, jelas merupakan hal perlu dihindari.
Namun sekitar dua puluh tahun yang lalu, orang amerika yang religius tampak lebih kecil kemungkinannya untuk terjebak pada masalah penyalah gunaan narkoba, kejahatan, perceraian, dan bunuh diri. Secara fisik juga sehat dan berumur panjang.
Hasil dari data tersebut, menandakan bahwa orang yang religius masih lebih bahagia dan lebih puas menjalani hidup daripada yang tidak religius.
Kemudian Selligman berpesan, untuk hidup bahagia, sebaiknya anda hidup dalam suasana demokrasi yang sehat, bukan dalam kediktatoran yang melumpuhkan nalar. Hindarilah kejadian negatif dan emosi negatif. Bangunlah jaringan sosial. Dan terakhir, beragamalah.
Namun, sejauh menyangkut kebahagiaan dan kepuasan hidup, anda tidak perlu mencari uang lebih banyak, karena begitu anda merasa ringan dalam membeli koran ini, sambil membaca tulisan saya, pengaruh uang tinggal sedikit. Selebihnya, kaum materialis tetap saja tidak bahagia.
Kemudian, anda harus tetap sehat secara subjektif. Yakni membangun sugesti dari diri anda untuk tetap menjadi makhluk yang hidup dan ingin terus hidup bahagia. Menuntut ilmu penting, namun bukan jaminan kebahagiaan. Tidak pula berarti bahwa ilmu bukan pengantar menuju kebahagiaan.
Jadi, sejauh agama yang kita pahami tidak berbaur dengan egoisme kita dalam menjalankan ajaran agama, maka sejauh itu pula kita akan memperoleh kebahagiaan. Pada posisi ini, jangan lagi ada yang mencoba mempersempit pintu syurga bagi kelompok yang lain atas nama aliran sesat. Niscaya andalah orang yang paling bahagia.

Jebakan kesuksesan
Apakah kesuksesan sama dengan kebahagiaan? Jawabnya tentu tidak. Kesuksesan merupakan hasil yang dicapai setelah usaha, sedang kebahagiaan merupakan ungkapan atas hasil yang dicapai.
Sehingga, sebuah kenikmatan atas sukses yang dicapai tidak berlangsung lama. Sebaliknya, kebahagiaanpun tidak selalu melahirkan ekspresi senyuman yang merekah. Karena terkadang luapan kebahagiaan akan terasa hangat ketika air mata membasahi wajah kita.
Bayangkanlah perbedaan antara ekspresi cinta sang muda-mudi yang sedang kasmaran di tengah hamparan pasir putih, dengan ekspresi cinta ketika kita berdiri kaku di depan makam Nabi Muhammad SAW.
Ekspresi cinta yang pertama menampakkan senyuman penuh kebahagiaan, sedang ekspresi kedua tidak sanggup lagi membuat bibir tersenyum, betapa perjumpaan dengan Nabi Muhammad adalah gerbang kebahagiaan hakiki. Sekalipun yang tampak hanyalah pusaranya yang suci. Menatap pusara Sang Nabi, bibir terasa kaku untuk berucap, menghela nafaspun tak perlu lagi. Kehausan spiritual muncul seketika di saat mata memandang, dan telinga menyimak seruan-seruan cinta, memohon syafaat untuk nasib di hari kemudian.
Di sinilah terkadang ungkapan para sufi menggelegar:” Kehidupan dan kematian sebenarnya sama. Tak ada hidup bila tak ada cinta, dan bukan cinta bila tidak ditebus dengan kematian.
Baiklah kita mulai mendeteksi apakah masih tergolong sebagai manusia yang bahagia ataukah sudah tergolong sebagai masyarakat yang terkena syndrom succes toxic?
Pertama, Stress surrender, menyerah pada stres. Penderita semacam ini disebabkan oleh kepasrahan atas pusaran sistem yang melingkupinya. Dia tidak lagi sanggup berlari dari cengkeraman sistem. Dan ketika mencoba keluar, maka dengan serta-merta masa depannyapun segera tergilas. Karenanya, dari tipologi ini, kita tidak dapat berharap banyak akan munculnya gerakan perubahan yang berarti
Kedua, chronic cynicism, sinisme kronis. Tipe ini merupakan tipologi orang yang senang menyalahkan sesuatu yang ada di luar dirinya. Pada saat yang sama, egoismepun turut di dalamnya. Misalnya, dia senang bergaul dengan kaum cerdas, namun tidak suka bila kapasitas kecerdasannya terlampaui oleh pihak lain. Dia senang disebut kritikus, namun tidak suka dikritik.
Ketiga, Chrono currency, memandang waktu sebagai uang, dan waktu selain uang dianggap penghamburan. Tipe ini cukup berbahaya ketika memasuki wilayah rumah tangga, ataupun menjadi budaya bangsa. Sayangnya BLT telah menjadi cikal bakal para digma tersebut. Tipe ini juga berbahaya ketika menjadi karakter suatu tatanan pemerintahan. PAD tentu dinaikkan setiap tahun, namun kemiskinan berjalan tanpa (pe)rasa(an) apapun.
Keempat, Inhibited power motive (IPM), sebagai tipe senang berkuasa. Atau lebih lengkapnya sering disebut, selebrasi kekuasaan. Tipe ini merupakan karakter manusia yang senang puspa ragam jenis perkumpulan, apapun mereknya asal jadi Ketua. Tanpa harus berpikir sejauh mana kapasitas yang dimilikinya.
Menurut Louis Althusser, seseorang tidak cukup hanya dengan pengusaan tehadap barang, tapi juga manusia. Pola ini telah menjadi budaya politik masa kini dengan mengandalkan logika saling menguasai satu sama lain. Tipe ini juga memiliki kegandrungan melakukan “gerakan penjinakan sejak dini” terhadap berbagai potensi yang memiliki kapasitas yang unik dan lebih.
Kelima, self health and help, perhatian pada olah raga, diet, seminar kepribadian dan mengurangi stres yang mudah dan cepat. Perempuan adalah sosok yang lebih akrab dengan masalah ini.
Keenam, Succes sickness. Setelah seluruh fasilitas dimiliki dan sarana informasi terpenuhi, maka jebakan selanjutnya adalah kekhawatiran berlebih terhadap sejumlah jenis makanan yang mengandung potensi penyakit. Hampir seluruh jenis makanan dideteksi secara jeli, takut makanan mengantarnya menjemput maut.
Maka kelirulah orang yang berusaha meraih kebahagiaan dengan mengejar sukses. Itu kata Kang Jalal. Dan berhati-hatilah terhadap jebakan-jebakan kesuksesan. Itu kata saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa