Isu “persatuan” mengemuka setiap saat, tergantung pada momen yang didapatinya. Istilah persatuan menjadi istilah trend dalam setiap pernyataan politik para elit-elit bangsa. Hal yang memiliki makna sepadan juga turut ikut di dalamnya. Misalnya, kebersamaan, kesetaraan, sekampung, satu sumber, satu nenek moyang, hingga satu kepentingan.
Pada wilayah sosial keagamaan, istilah persatuan juga menjadi konsumsi penting dalam menjaga keutuhan kepercayaan yang telah diyakini selama ini. Tengoklah pernyataan salah seorang tokoh pembaharu Islam, Muhammad Abduh. Beliau menawarkan ide tentang perlunya pembedaan antara konsep persatuan dan penyatuan. Baginya, penyatuan antar penganut agama adalah hal yang mustahil, sedang persatuan merupakan harapan yang manusiawi, dan dianjurkan.
Tengok pulalah impian dan keinginan para ulama terdahulu yang dimotori oleh tokoh Ikhwanu al-Muslimin, Hassan al-Banna, yang mencoba meretas faksi-faksi setiap alur keyakinan dan mazhab dengan membentuk sebuah lembaga perkumpulan yang dinamai “Daru al-taqrib baina madzahibi al-islamiyah”. Organisasi ini didirikan untuk “menyelamatkan” umat Islam dari ancaman disintegrasi antar mazhab. Sekali lagi, ini juga merupakan bagian dari perjuangan untuk persatuan.
Dan, tentu kita tidak mesti malu dan ragu. Kawasan politik baik lokal maupun nasional juga sangat gandrung dengan istilah persatuan. Lihatlah sejumlah partai yang bercokol di negara kita. Seluruhnya berteriak tentang Persatuan !!!. Golkar misalnya, dengan simbol pohon beringin. Lambang tersebut sangat identik dengan seruan agar bersatu di bawah naungan partai Golkar. Sekalipun kalangan elitnya di pusat telah mengaku bahwa Golkar tak mampu bertahan hidup, jika tidak ingin disebut mati suri, bila tidak menjadi mayoritas di ”senayan”. Bahkan tidak sanggup hidup tanpa masuk ”Istana negara”.
Tidak jauh beda dengan Golkar, partai oposisi bagi pemerintahan SBY-JK saat ini, PDI-Perjuangan di bawah pimpinan Megawati juga meneriakkan akan arti penting persatuan, dengan ”dalil” memperjuangkan wong cilik. Kata Hernowo, kadang kala istilah wong cilik yang didengungkan oleh PDI-Perjuangan terlalu manis untuk diungkap, sekalipun pada faktanya lebih sering berwujud wong licik.
Pada level politik lokal, momen pilkada ternyata juga tidak luput dari harapan untuk tetap menyuarakan persatuan. Isu ego tentang geo-politik, kasta, organisasi, dan partai kemudian menguat dengan kencangnya.
Pada isu geo-politik, seorang kontestan dituntut nyali dan keberaniannya untuk memilih ”jodoh politiknya” berdasarkan ”dari mana”nya, bukan lagi untuk ”siapa”nya. Ketika demikian halnya, maka yang terjadi lagi-lagi adalah manipulasi atas istilah Persatuan.
Ini artinya, bahwa pada awalnya kita hendak bersatu namun pada hakikatnya kita sedang membangun gerbang perpecahan. Kita senang dengan sekian banyak asesoris organisasi yang disandang dengan asumsi persatuan, namun ternyata tidak lebih dari pada sebuah upaya politik penjinakan sejak dini.
Kemudian, pada isu kasta juga demikian. Demokrasi yang mengunggulkan suara rakyat ternyata hanyalah bualan dan jualan politik saja. Karena toh, pada akhirnya yang akan tampil menjadi pemimpin lima tahun ke depan adalah orang-orang yang memiliki akses sejarah yang berwibawa di masa silam. Inikah demokrasi sesungguhnya? Ataukah demokrasi juga bagian dari istilah yang telah lama digerayangi?
Dan kiranya kita tidak mesti mengelus dada, jika melihat orang-orang yang senang dengan koleksi organisasi. Dengan mudahnya dari mulut mereka bertekad merangkul seluruh kepentingan anggota dan masyarakat, ternyata dijadikan sebagai ”panggung hiburan” yang setiap saat dapat dijadikan sebagai arena untuk menyuarakan persatuan yang memang pada dasarnya hanyalah semu.
Hidup untuk pilkada
Di tengah murahnya istilah persatuan untuk disuarakan, kalangan awam di negeri ini menjadi apatis dan tidak bergairah. Bahkan jenuh dengan adegan politik yang sedang berlaga. Pada sisi yang lain, akibat kondisi demikian, rakyat dipaksa untuk menelan “pil” politik sebagai penyambung hidupnya. Hingga politik (baca: pilkada) seolah menjadi jenis makanan satu-satunya pada setiap hari. Tiada hari tanpa politik, dan tiada detik selain pilkada. Akankah hidup ini akan berakhir hanya dengan cerita pilkada?
Jika kita merujuk pada konsep religi (baca: Islam), maka sesungguhnya praktik-praktik di atas telah lama dicekam dan terlarang untuk dilestarikan. Kenapa? Karena nyaris saja telah membuat umat manusia terlena dengan kisruh kehidupan arus politik yang menipunya. Kesibukan sehari-hari tidak lain hanyalah untuk memilih dan memilih. Alasan yang dikemukakanpun mudah. Karena kesalahan dalam memilih dan berpihak dalam pilkada dapat mengakibatkan “mati suri” selama lima tahun ke depan. Lebih baik menjadi pahlawan kampanye dari pada menjadi badut lima tahun ke depan. Tidak menutup kemungkinan bagi terbukanya diskursus baru dalam dunia teologis di kemudian hari. Secara terbuka kita mestinya menanyakan, apakah orang yang berprinsip “Hidup untuk pilkada” tidak tergolong sebagai bagian dari sistem kemusyrikan yang sedang berkembang di abad XXI ?
Sungguh, persatuan hakiki sangat sulit untuk diterapkan ketika sikap demikian telah mendominasi aktivitas kehidupan umat manusia. Mereka rela bersatu di atas dasar kepentingan. Artinya, ketika potensi kepentingan telah pudar, maka pudar pulalah persatuan tersebut.
Kita dapat menyaksikan sejumlah daerah yang telah melangsungkan pesta pilkada. Para kandidat beramai-ramai menyepakati untuk menciptakan pilkada yang adil dan damai, demi menjaga persatuan. Tapi ternyata, itu semua hanyalah kesepakatan palsu. Karena fakta yang ditampilkan justeru sangat berbanding terbalik dengan komitmen sebelumnya. Uang negara habis untuk rehabilitasi pasca pilkada.
Lalu pertanyaanya, apa yang apa yang perlu dibenahi? Kang Jalal menjawab, kita harus kembali merehabilitasi sistem budaya yang mengagungkan shame of culture (budaya malu). Malu berteriak tentang persatuan sebelum menjadikan dirinya sebagai garansi jika di kemudian hari persatuan tersebut tidak terwujud. Ingatlah kembali sosok legendaris bangsa ini, Baharuddin Lopa, yang menggerakkan ucapannya seirama dengan derap langkahnya. Yang memegang teguh pernyataan, sebagai aib besar ketika bertolak belakang dengan sikap hidupnya.
Menuju persatuan terbuka
Lalu, menurut filosof Prancis, Henry Bergson, ada dua model persatuan. Yaitu persatuan tertutup dan persatuan terbuka. Persatuan tertutup, menurutnya, adalah persatuan yang dibangun atas dasar keinginan merangkul pihak lain, lalu bangkit untuk “melawan” dan menguasai, bahkan menjajah kelompok tertentu. Persatuan model ini amatlah ramai dilakukan oleh manusia masa kini. Mereka senang membentuk model persatuan untuk menindas pihak lain. Atau mempertahankan persatuannya dengan cara “mengunci mati” seluruh pintu yang dapat menggerogoti tahtanya. Atau dengan cara menjinakkan nalar kirits generasi sesudahnya untuk menjadi anak bangsa yang lemah mental apalagi nalarnya. Adalah sebuah kebodohan jika banyak orang yang senang dan larut dengan model demikian.
Persatuan model kedua, masih menurut Bergson, ialah dengan cara terbuka. Ide ini tidak berangkat dari keinginan untuk membangun kekuatan demi melawan yang lain. Tidak juga melestarikan kekuatan massa yang berdiri tegak di atas logika curiga satu sama lain. Karena persatuan terbuka berangkat dari kekuatan cinta untuk mengasihi, baik sesama manusia maupun pada makhluk yang tak bergerak.
Pada posisi ini, konsep persatuan tidak lagi dipelintir ke sana kemari, tergantung siapa penggunanya. Persatuan terbuka sesungguhnya merupakan babak baru dalam menciptakan iklim yang saling mengasihi manusia secara lahir-batin. Maksudnya, bahwa persatuan batin terikat oleh rasa cinta antar sesama. Sedang secara lahiriyah, tampak sebagai manifestasi rasa cinta yang telah mengisi relung jiwa seluruh manusia. Hatta dalam politik sekalipun, persatuan terbuka diyakini tidak akan mencederai nilai kesantunan yang selama ini telah disandang oleh bangsa Indonesia.
Akhirnya, konsep persatuan terbuka memang terkesan utopis, namun bukan mustahil. Terkecuali kita telah senang dengan persatuan tertutup lagi semu di tengah kebangkrutan moral anak bangsa. Bukalah persatuan itu selebar-lebarnya, demi persatuan yang terbuka. Biarkanlah rasa cinta antar sesama, bersemi di dalamnya. Hingga di suatu hari nanti, kita menemukan kedamaian hakiki. Sungguh indah harapan tersebut, sungguh kontras dengan realitas hari ini. Iya khan?
Pada wilayah sosial keagamaan, istilah persatuan juga menjadi konsumsi penting dalam menjaga keutuhan kepercayaan yang telah diyakini selama ini. Tengoklah pernyataan salah seorang tokoh pembaharu Islam, Muhammad Abduh. Beliau menawarkan ide tentang perlunya pembedaan antara konsep persatuan dan penyatuan. Baginya, penyatuan antar penganut agama adalah hal yang mustahil, sedang persatuan merupakan harapan yang manusiawi, dan dianjurkan.
Tengok pulalah impian dan keinginan para ulama terdahulu yang dimotori oleh tokoh Ikhwanu al-Muslimin, Hassan al-Banna, yang mencoba meretas faksi-faksi setiap alur keyakinan dan mazhab dengan membentuk sebuah lembaga perkumpulan yang dinamai “Daru al-taqrib baina madzahibi al-islamiyah”. Organisasi ini didirikan untuk “menyelamatkan” umat Islam dari ancaman disintegrasi antar mazhab. Sekali lagi, ini juga merupakan bagian dari perjuangan untuk persatuan.
Dan, tentu kita tidak mesti malu dan ragu. Kawasan politik baik lokal maupun nasional juga sangat gandrung dengan istilah persatuan. Lihatlah sejumlah partai yang bercokol di negara kita. Seluruhnya berteriak tentang Persatuan !!!. Golkar misalnya, dengan simbol pohon beringin. Lambang tersebut sangat identik dengan seruan agar bersatu di bawah naungan partai Golkar. Sekalipun kalangan elitnya di pusat telah mengaku bahwa Golkar tak mampu bertahan hidup, jika tidak ingin disebut mati suri, bila tidak menjadi mayoritas di ”senayan”. Bahkan tidak sanggup hidup tanpa masuk ”Istana negara”.
Tidak jauh beda dengan Golkar, partai oposisi bagi pemerintahan SBY-JK saat ini, PDI-Perjuangan di bawah pimpinan Megawati juga meneriakkan akan arti penting persatuan, dengan ”dalil” memperjuangkan wong cilik. Kata Hernowo, kadang kala istilah wong cilik yang didengungkan oleh PDI-Perjuangan terlalu manis untuk diungkap, sekalipun pada faktanya lebih sering berwujud wong licik.
Pada level politik lokal, momen pilkada ternyata juga tidak luput dari harapan untuk tetap menyuarakan persatuan. Isu ego tentang geo-politik, kasta, organisasi, dan partai kemudian menguat dengan kencangnya.
Pada isu geo-politik, seorang kontestan dituntut nyali dan keberaniannya untuk memilih ”jodoh politiknya” berdasarkan ”dari mana”nya, bukan lagi untuk ”siapa”nya. Ketika demikian halnya, maka yang terjadi lagi-lagi adalah manipulasi atas istilah Persatuan.
Ini artinya, bahwa pada awalnya kita hendak bersatu namun pada hakikatnya kita sedang membangun gerbang perpecahan. Kita senang dengan sekian banyak asesoris organisasi yang disandang dengan asumsi persatuan, namun ternyata tidak lebih dari pada sebuah upaya politik penjinakan sejak dini.
Kemudian, pada isu kasta juga demikian. Demokrasi yang mengunggulkan suara rakyat ternyata hanyalah bualan dan jualan politik saja. Karena toh, pada akhirnya yang akan tampil menjadi pemimpin lima tahun ke depan adalah orang-orang yang memiliki akses sejarah yang berwibawa di masa silam. Inikah demokrasi sesungguhnya? Ataukah demokrasi juga bagian dari istilah yang telah lama digerayangi?
Dan kiranya kita tidak mesti mengelus dada, jika melihat orang-orang yang senang dengan koleksi organisasi. Dengan mudahnya dari mulut mereka bertekad merangkul seluruh kepentingan anggota dan masyarakat, ternyata dijadikan sebagai ”panggung hiburan” yang setiap saat dapat dijadikan sebagai arena untuk menyuarakan persatuan yang memang pada dasarnya hanyalah semu.
Hidup untuk pilkada
Di tengah murahnya istilah persatuan untuk disuarakan, kalangan awam di negeri ini menjadi apatis dan tidak bergairah. Bahkan jenuh dengan adegan politik yang sedang berlaga. Pada sisi yang lain, akibat kondisi demikian, rakyat dipaksa untuk menelan “pil” politik sebagai penyambung hidupnya. Hingga politik (baca: pilkada) seolah menjadi jenis makanan satu-satunya pada setiap hari. Tiada hari tanpa politik, dan tiada detik selain pilkada. Akankah hidup ini akan berakhir hanya dengan cerita pilkada?
Jika kita merujuk pada konsep religi (baca: Islam), maka sesungguhnya praktik-praktik di atas telah lama dicekam dan terlarang untuk dilestarikan. Kenapa? Karena nyaris saja telah membuat umat manusia terlena dengan kisruh kehidupan arus politik yang menipunya. Kesibukan sehari-hari tidak lain hanyalah untuk memilih dan memilih. Alasan yang dikemukakanpun mudah. Karena kesalahan dalam memilih dan berpihak dalam pilkada dapat mengakibatkan “mati suri” selama lima tahun ke depan. Lebih baik menjadi pahlawan kampanye dari pada menjadi badut lima tahun ke depan. Tidak menutup kemungkinan bagi terbukanya diskursus baru dalam dunia teologis di kemudian hari. Secara terbuka kita mestinya menanyakan, apakah orang yang berprinsip “Hidup untuk pilkada” tidak tergolong sebagai bagian dari sistem kemusyrikan yang sedang berkembang di abad XXI ?
Sungguh, persatuan hakiki sangat sulit untuk diterapkan ketika sikap demikian telah mendominasi aktivitas kehidupan umat manusia. Mereka rela bersatu di atas dasar kepentingan. Artinya, ketika potensi kepentingan telah pudar, maka pudar pulalah persatuan tersebut.
Kita dapat menyaksikan sejumlah daerah yang telah melangsungkan pesta pilkada. Para kandidat beramai-ramai menyepakati untuk menciptakan pilkada yang adil dan damai, demi menjaga persatuan. Tapi ternyata, itu semua hanyalah kesepakatan palsu. Karena fakta yang ditampilkan justeru sangat berbanding terbalik dengan komitmen sebelumnya. Uang negara habis untuk rehabilitasi pasca pilkada.
Lalu pertanyaanya, apa yang apa yang perlu dibenahi? Kang Jalal menjawab, kita harus kembali merehabilitasi sistem budaya yang mengagungkan shame of culture (budaya malu). Malu berteriak tentang persatuan sebelum menjadikan dirinya sebagai garansi jika di kemudian hari persatuan tersebut tidak terwujud. Ingatlah kembali sosok legendaris bangsa ini, Baharuddin Lopa, yang menggerakkan ucapannya seirama dengan derap langkahnya. Yang memegang teguh pernyataan, sebagai aib besar ketika bertolak belakang dengan sikap hidupnya.
Menuju persatuan terbuka
Lalu, menurut filosof Prancis, Henry Bergson, ada dua model persatuan. Yaitu persatuan tertutup dan persatuan terbuka. Persatuan tertutup, menurutnya, adalah persatuan yang dibangun atas dasar keinginan merangkul pihak lain, lalu bangkit untuk “melawan” dan menguasai, bahkan menjajah kelompok tertentu. Persatuan model ini amatlah ramai dilakukan oleh manusia masa kini. Mereka senang membentuk model persatuan untuk menindas pihak lain. Atau mempertahankan persatuannya dengan cara “mengunci mati” seluruh pintu yang dapat menggerogoti tahtanya. Atau dengan cara menjinakkan nalar kirits generasi sesudahnya untuk menjadi anak bangsa yang lemah mental apalagi nalarnya. Adalah sebuah kebodohan jika banyak orang yang senang dan larut dengan model demikian.
Persatuan model kedua, masih menurut Bergson, ialah dengan cara terbuka. Ide ini tidak berangkat dari keinginan untuk membangun kekuatan demi melawan yang lain. Tidak juga melestarikan kekuatan massa yang berdiri tegak di atas logika curiga satu sama lain. Karena persatuan terbuka berangkat dari kekuatan cinta untuk mengasihi, baik sesama manusia maupun pada makhluk yang tak bergerak.
Pada posisi ini, konsep persatuan tidak lagi dipelintir ke sana kemari, tergantung siapa penggunanya. Persatuan terbuka sesungguhnya merupakan babak baru dalam menciptakan iklim yang saling mengasihi manusia secara lahir-batin. Maksudnya, bahwa persatuan batin terikat oleh rasa cinta antar sesama. Sedang secara lahiriyah, tampak sebagai manifestasi rasa cinta yang telah mengisi relung jiwa seluruh manusia. Hatta dalam politik sekalipun, persatuan terbuka diyakini tidak akan mencederai nilai kesantunan yang selama ini telah disandang oleh bangsa Indonesia.
Akhirnya, konsep persatuan terbuka memang terkesan utopis, namun bukan mustahil. Terkecuali kita telah senang dengan persatuan tertutup lagi semu di tengah kebangkrutan moral anak bangsa. Bukalah persatuan itu selebar-lebarnya, demi persatuan yang terbuka. Biarkanlah rasa cinta antar sesama, bersemi di dalamnya. Hingga di suatu hari nanti, kita menemukan kedamaian hakiki. Sungguh indah harapan tersebut, sungguh kontras dengan realitas hari ini. Iya khan?
Komentar