Langsung ke konten utama

Andai Aku Sudah Pensiun

Sebetulnya tidak alasan yang lebih logis mengapa aku tersentak untuk membicarakan sedikit tentang masa depanku ketika telah memasuki masa pensiun. Tapi boleh jadi akibat “gesekan genetika” dari orang tuaku yang telah menghitung hari jelang memasuki masa pensiunnya.
Menyandang predikat sebagai pensiun sama halnya dengan orang yang telah khatam dalam sebuah perguruan bela diri. Artinya, pengabdiannya selama ini telah cukup membawa jejak bagi generasi selanjutnya, entah baik maupun buruk.

***

Publik telah paham betul akan keberadaanku saat ini. Kesibukan kantor sudah tidak lagi menguras tenaga aku. Saat ini, aku mengalami proses adaptasi dari kehidupan serba instruktif menuju kehidupan yang dinamis.

Pada saat ini pula telah banyak tawaran dari beberapa kolega aku untuk bergabung di partainya. Motif mereka dalam berdialogpun bermacam-macam. Ada yang berasalan idealis, konstruktif, ingin mengangkat kepentingan keluarga yang selama termarginalkan, hingga pada hasrat untuk sekedar “mencicipi” (baca: terlibat) pada beberapa proyek pembangunan. Sebagai orang tua, akan lebih baik bila aku menerima mereka layaknya sebagai anak, atau paling tidak sebagai saudara, tanpa terburu-buru untuk menjustifikasi kepentingan mereka. Berulang kali aku ditawari, hingga aku merasa terpanggil untuk menjadi salah satu kontestan dalam pemilu 2009 nanti.

Dengan cepat aku menyusun beberapa kerangka kerja yang akan aku “teriakkan’ di depan rakyat agar mereka yakin dengan i’tikad-ku ini. Bagiku, program kerja tidak harus banyak tapi yang penting berkualitas.

Pertama, Jika aku terpilih nanti, tugas pertamaku adalah berupaya semaksimal mungkin untuk memperjuangkan nasib sosial-ekonomi masyarakat tani, nelayan, para buruh serta kelompok masyarakat kecil lainnya. Tugas ini aku anggap sebagai hal penting. Mengapa? Karena sebuah ide yang baik tidak akan diserap secara “sehat” oleh masyarakat bila mereka mengalami masalah di bidang sosial (sengketa tanah, misalnya) dan ekonomi (pendapatan, misalnya). Kita akan sulit menerapkan tawaran program pemberdayaan jika masyarakat telah tumpul dengan sejumlah janji-janji yang selama ini telah hangus.

Demikian pula, akupun akan merasa rikuh di saat berkampanye, lalu aku harus mengeluarkan uang banyak sebagai upaya sogokan politik. Ini jelas pantang bagiku. Karena aku tidak ingin masyarakat semakin dibodohi, semakin dieksploitasi.

Untuk hal ini, tentu aku tidak bisa egois dengan sekedar memperjuangkan orang-orang yang selama ini mendukungku, tapi secara lebih universal, dapat dirasakan oleh semua komponen masyarakat. Karena aku sudah pensiun, tentu aku juga harus tahu diri untuk menggunakan berbagai perangkat ilmu-ilmu modern, dengan memberdayakan kalangan akademis, LSM, wartawan di dalam menyerap ide-ide konstruktif yang dapat menguatkan kualitas dari sebuah usulan seorang calon anggota legislatif seperti aku.

Aku juga harus paham bahwa di saat hidup rakyat semakin terpuruk karena beragamnya tingkat kesulitan sosial, aku harus bertindak lebih cermat dengan tidak menghambur-hamburkan anggaran perjalanan dinas atas nama konsultasi, hearing, studi banding dan yang sejenisnya. Aku benci dengan sikap para legislator yang tidak mampu membuat regulasi tanpa didahului dengan kegiatan studi banding. Karena aku benci, maka aku tidak akan bersikap apalagi bersifat demikian.

Kedua, Masalah Pendidikan. Sebagai orang yang telah banyak “makan garam”, aku ingin agar pendidikan di masa silam tidak lagi sama dengan saat ini dan ke depan. Baik dari segi finansial, manajemen, hingga pada kapasitas tenaga edukasi. Pendidikan bukan sekedar merupakan hak azasi bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi juga kewajiban azasi sebagai makhluk pebelajar bagi seluruh rakyat.

Secara finansial, aku harus cerdas dalam melihat celah agar anggaran tidak terkuras habis hanya dengan beragam pembangunan fisik. Tapi yang lebih penting, pendidikan saat ini diarahkan penguatan sumber daya yang lebih terukur dan terarah. Selama ini aku telah melihat bahwa pendidikan kita di Indonesia belum menggambarkan adanya sebuah pertautan yang akrab antara bidang studi yang digeluti siswa dengan pola prilaku kesehariannya.

Juga, aku tidak akan serta merta menerima saran dari berbagai kepala sekolah yang selalu meminta tambahan gedung sekolah. Aku ingin agar seluruh sekolah yang ada di daerahku mengalami pemerataan. Sehingga kita tidak melihat adanya kesenjangan antar sekolah, yang di satu sisi bertumpuk dengan siswanya, sementara pada sisi lain, ada sekolah yang menguras tenaga hanya untuk menambah para calon siswa.
Pada bidang ini juga, sebagai orang yang beragama, aku ingin agar tidak lagi didikotomikan antara pendidikan agama dengan pendidikan Umum. Karena aku sadar, bahwa jika sekolah agama semakin hari semakin tidak jelas statusnya di daerahku, maka lambat laun sekolah agama akan padam dengan sendirinya. Jelas, ini merupakan dosa sosial jika saya tidak berhasil. Dan pertangungjawaban eskatologis saya di hadapan Tuhan tentu lebih besar daripada para Ustad yang kewajibannya sekedar menyampaikan dakwah.

Pada wilayah sosiologis akupun melihat dikotomi tersebut. Kebanyakan siswa yang berprestasi di berbagai olimpiade diberikan penghargaan yang serba lengkap, tapi sebaliknya para siswa yang berlatar belakang agama,selamanya mendapat hadiah apa adanya, kalau tidak ingin disebut santunan kaum dhu’afa.

Oleh karenanya, sebagai pembuat regulasi, ke depan aku akan membuat perda penghargaan, di mana semua orang yang berprestasi memperoleh penghargaan yang setara, berkeadilan dan berkeadaban. Contohnya apa saja? Banyak.

Misalnya siswa yang juara dan memeroleh penghargaan pada olimpiade sains, mestinya setara dengan siswa yang juara pada cabang perlombaan keagamaan. Dan ibu-ibu yang juara pada lomba yang diadakan BKMT, mestinya setara dengan penghargaan yang diberikan kepada Ibu-Ibu yang juara pada pertandingan senam poco-poco.

Ketiga, Aku paham betul bahwa basis kultural masyarakatku bercorak religius. Untuk hal ini, sebagai seorang politisi, aku harus mampu menerawang lebih jauh bahwa pola keberagamaan rakyat hendaknya lebih diarahkan kepada upaya menciptakan semangat toleransi dan pluralisme antar sesama.

Meskipun seorang politisi, aku tidak ingin menjadikan agama sebagai alat ampuh untuk sebuah kesuksesan karir politik. Aku tidak ingin rakyat terbodohi lalu dilengkapi dengan pembodohan lewat jalur agama. Itu pantang bagiku !!!
Di bidang ini, pola yang ingin aku perjuangkan adalah bagaimana agar pembinaan keagamaan tidak sekedar diukur dengan bertambahnya jumlah masjid akibat bantuan pemerintah, dan jumlah kuota jamaah haji setiap tahunnya, tapi harus berfikir sebijak mungkin untuk menawarkan sebuah kebijakan yang mengantar masyarakat pada pola keberagamaan yang memiliki dimensi sosial-ekonomi. Agama yang dianut oleh masyarakat hendaknya mampu mengayomi hidupnya lahir dan batin.

Ide ini tentu tidak sampai di sini, namun hendaknya berlanjut menjadi landasan etika sosial dalam mengelola beragam masalah sosial-politik seperti pelanggaran hukum, kriminalitas, korupsi, konflik sosial, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan kebodohan. Secara pribadi, aku juga harus pandai menjadikan agama sebagai wadah meditasi dengan Tuhan untuk memperoleh pencerahan spirtual.
Tentu masih banyak lagi ide dariku sebagai seorang calon legislatif. Akan tetapi, aku ingin tersadarkan sebagaimana Barack Obama, bahwa aku memiliki banyak pengetahuan, tetapi tidak semua hal dapat kuketahui.

***

Tiba-tiba pikiran skeptisku datang menghantam seluruh ide di atas. Dengan tanda tanya besar di kepala, pikiran skeptisku berucap: Mampukah kamu mengembang tugas ini dengan sebaik-baiknya? Lalu aku mencoba menggunakan nalar objektif untuk menemukan jawabannya.

Pertama, Dengan sesadar-sadarnya, bahwa secara fisiologis aku telah memasuki usia senja, di mana aku harus objektif dalam mendudukkan segala hal dengan sebaik-baiknya. Aku telah tua, dan seharusnya bersikap sebagaimana halnya orang tua yang senang berbuat bajik dan bijak. Aku tidak ingin disebut sebagai orang yang secara fisik telah tua, tapi masih memiliki jiwa kekanak-kanakan, emosional dan tidak bertanggung jawab.

Aku harus berfikir dengan matang, apakah aku masih produktif untuk berfikir dan bergerak demi memperjuangkan amanat rakyat? Apakah niat aku untuk menjadi caleg benar-benar tulus untuk sebuah pengabdian? Ataukah bagian dari setting sosial untuk melanjutkan hajat hidup yang selama ini serba berkecukupan? Apakah aku benar-benar ingin berjuang demi rakyat, ataukah saat ini aku sedang mengeksploitasi rakyat? Apakah niat aku benar-benar haqqul yaqin, ataukah sebatas dorongan untuk populer, kaya dan berkuasa?

Karena aku pusing dengan semua pertanyaan di atas, akupun kembali merebahkan diri di atas tempat tidurku_hasil gaji pertamaku sewaktu baru mendapat SK PNS_sambil menyadari bahwa sesungguhnya aku ini sudah pensiun. Jadi, di samping predikat pensiun tersebut sebagai identitas mantan PNS, namun juga sebagai penetralisir libido politik aku. Kesimpulannya, aku semakin ragu dengan diriku. Akhirnya, aku tertidur pulas hingga waktu fajar telah tiba.

Pada pagi hari, aku didatangi oleh salah seorang pengurus parpol untuk menegaskan kesiapan aku maju pada pemilu 2009. Alasan kedatangannya- katanya- untuk bersilaturahmi setelah lebaran, tapi intinya hanyalah menunggu jawaban pasti dariku. Wal hasil, tanpa menunggu jawaban pasti, orang itupun permisi pulang.

Belum lama dia meninggalkan rumah, di benakku hadir lagi beragam pertanyaan. Apakah aku cukup cerdas untuk konteks kekinian? Bagaimana dengan daya ingatku? Bagaimana dengan kesehatanku? Aku tidak ingin jika terpilih nanti, ketidakhadiranku dianggap sebagai hal yang lumrah bagi pensiun.

Apakah aku benar-benar telah memiliki kekuatan spiritual ketika melakukan perjalanan dinas, untuk tidak tergoda dengan rayuan apapun dan dari siapapun? Mampukah aku untuk tidak terlibat pada beragam jenis skandal? Dan yang lebih penting, apakah di setiap lontaran kalimat yang aku sampaikan akan mampu menjadi pendobrak menuju perubahan yang lebih baik?

Ringkasnya, apakah aku memiliki kekuatan yang cukup untuk mengawal kebijakan pemerintah? Prinsip aku, tanpa ada keseimbangan kapasitas internal diri aku, tentu meniscayakan sebuah kegagalan dini sebelum berlaga pada pemilu 2009 nanti.

Di sisi lain sebagai seorang yang beragama, akupun harus yakin bahwa segala yang terjadi tidak lepas dari izin Allah. Saat ini aku telah pensiun, itu takdir tuhan. Dan jika aku menang dalam pemilu nanti akupun harus bersyukur pada Tuhan. Sebaliknya, jika aku kalah, sekali lagi aku harus menjadi orang Tua yang bijak dan tidak mudah emosi.

Andai aku kalah nanti, aku tidak ingin berhati busuk untuk menjatuhkan lawan politik dengan cara yang tidak etis. Apalagi sampai menganggapnya sebagai orang yang mengalami kecelakaan masuk di ranah politik. Aku harus tetap menyanjungnya dan bersikap murah hati. Aku harus sadar, bahwa inilah riil politik. Ada yang menang, ada pula yang kalah.
Kemudian, entah apa yang terjadi, naluri politik yang sebelumnya berkobar-kobar dalam jiwa, tiba-tiba reda dan mengulangi rentetan dari setiap pertanyaan yang masuk ke dalam nalar.

Terdapat beberapa alasan mengapa aku harus berfikir kembali sebelum lebih jauh melangkah. Pertama, pada awalnya karirku hanyalah seorang birokrat murni yang tidak mau pusing dengan skenario politik yang berkembang. Sejak orde baru hingga masa reformasi ini, aku tetap seorang birokrat. Bahkan aku pun memasuki masa pensiun dari jabatan birokrasi, bukan politik. Olehnya itu, sekalipun dalam kalkulasi sosiologis, aku tergolong orang mampu, tapi aku juga harus pahami dengan baik, bahwa dunia saat ini tidak sama dengan angan-anganku di masa silam. Intinya, aku tidak ingin latah dengan beragam jabatan.

Kedua, Insting politik saya mulai berjalan sistematis, bahwa jika aku maju dalam pemilu nanti, bukankah aku telah mengaborsi masa depan generasi. Apa tidak sebaiknya saya mengalihkan estafet ini kepada yang muda saja? Aku memang paham bahwa secara kapasitas politik, boleh jadi aku tidak kalah hebatnya dengan kaum muda. Akupun pasti mendulang suara dari teman-teman sejawat.

Tapi, bukankah ini suara nafsu untuk tidak lepas dari jabatan empuk hingga bersua dengan liang lahad?

Ah sudahlah, sekali lagi, aku harus sadar bahwa aku ini telah pensiun. Tidak akan banyak gagasan produktif yang akan terlahir nantinya. Kata para psikolog, umur senja mengakibatkan pemikiran senja pula. Pengalamanlah yang mebuatku bertahan hidup.

Aku ingin membiarkan para pemuda untuk bangkit menyuarakan pemikiran-pemikiran barunya. Biarlah aku menutup rapat-rapat niat politik ini demi sebuah agenda regenerasi.

Karena aku tidak jadi berpolitik, bukan berarti ide-ide di atas akan musnah. Seandainya ada yang hendak menjadi caleg, aku akan memberikannya secara ikhlas, gratis, tanpa meminta imbalan proyek di kemudian hari. Ini sekaligus merupakan tantangan besar bagi kaum muda untuk tidak melepaskan identitas idealismenya di kemudian hari.

Lalu bagaimana dengan aku? Ah sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Biarkan hari-hariku di masa pensiun berakhir dengan cerita yang indah (husnul aqibah) di mata Tuhan. Aku hanya meminta agar kalian tidak mengganggu hidupku dengan beragam gugatan mark up, korupsi, dan manipulasi. Aku ingin berbuat bagi bangsa ini sesuatu yang lebih riil di mata masyarakat. Bukankah keharuman seseorang di masa hidupnya tidak diukur pada banyaknya jabatan yang disandang, tapi lebih pada makna yang subtantif, yaitu bagaimana berupaya mengukir makna dalam hidup ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa