Langsung ke konten utama

Rontoknya Nilai Sebuah Karya

Pergeseran era industri menuju era digital tak melulu mampu menggeser segala hal agar turut maju. Ada saja dimensi tertentu yang entah terlupa, atau tertolak oleh roda kecepatan zaman.

Sebuah pertanyaan yang terasa mubazir dikemukakan; masih adakah informasi yang tak tergarap oleh teknologi digital hari Ini? 

Sebab dengan bermodal smartphone, gugusan informasi itu telah hadir dalam genggaman orang per orang. Bagi Habermas, inilah fase kemabukan zaman, ditandai dengan ekstase informasi. 

Belum cukup kita menikmati sendawa, muncul lagi deretan kabar lainnya. Hasilnya, kita mulai mual dengan aneka rupa sajian itu. Bahkan, tanpa rasa mual sekalipun, kita telah cukup merasakan obesitas, penghalau gerak bagi tubuh.

Hadirnya media online juga tak ubahnya melengkapi rasa kenyang itu. Padahal, di lain sisi, gempuran kabar palsu juga tak kalah menyesakkan dada. Garis pembatas antara kebenaran dan berita bohong kian tipis, samar-samar dan akhirnya mewabah menjadi bumbu prahara kehidupan. 

Hasrat merebut kecepatan acapkali mengabaikan dimensi penyajian beralas fakta. Lebih miris jika sumber berita tidak benar-benar primer. Atau sekadar mengandalkan perebutan panggung sensasional. Lebih ironis lagi jika irisannya dirusak oleh narasi kepentingan. 

Jika telah begitu, rontoklah nilai sebuah karya. Rumusan Bill Kovach dalam Elemen Jurnalisme yang disodorkan, selain sebagai panduan, juga berguna sebagai pengingat. Bahwa sebuah karya mesti berdiri teguh pada kebenaran. Bukan pada yang dibenarkan. Tanpa peneguhan batin pada kebenaran, nilai sebuah karya hanya akan membusuk dan merusak akal sehat. Sehingga mesti disingkirkan dari panggung peradaban. 

Ini menjadi penegasan, bahwa makhluk bernama Jurnalis juga punya kadar kebatinan yang terus mendambakan refleksi mendalam. Agar tak sekadar merdeka dalam berkarya. Namun juga tahu hakekat dari apa yang disajikan. 

Tak banyak yang benar-benar mendalami kekuatan narasi. Komponen pegiat tulis menulislah yang lebih mafhum betapa dahsyatnya jika narasi dimainkan massif. Jika peluru mampu membunuh satu nyawa seketika, lalu lenyap selamanya. Sementara narasi, punya kekuatan mencuci pikiran manusia. Di saat yang sama juga dapat mengubah haluan kehidupan. 

Maka dalam konteks hakekat sebuah karya, sepatutnya kita tak lelah bertanya, untuk siapa narasi itu digerakkan? Untuk menciptakan kehidupan baru? Untuk menggembirkan hasrat seorang Tuan? Untuk melahirkan Tuan Baru? Untuk melanggengkan kezaliman? Atau anda juga menjadi bagian dari pelecut prahara kehidupan? 

Manakarra, 3 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa