Langsung ke konten utama

Cerita Kekuasaan dan Kekuasaan Bercerita

Tak sedikit energi terkuras di saat publik digiring dalam cerita besar tentang kekuasaan. Untuk tema ini, tak ada pembagian kamar pengetahuan. Semua kelas sosial berhak membincang sedalam-dalamnya. 

Cerita tentang kekuasaan telah lama memancarkan aroma beraneka rupa. Kadang manis, asam, asin dan akhirnya, ramai rasanya. 

Dikatakan manis sebab kekuasaan mampu menggerakan kehidupan hingga ke level terendah. Sekaligus sanggup menyingkirkan segala bentuk selubung kejahatan hingga ke sudut manapun. 

Tapi jangan lupa, kekuasaan juga dapat menjelma dalam cita rasa serba pahit. Itu ditemukan saat hasrat memakmurkan rakyat tersandung oleh beragam kepentingan saling silang. Tabrakan beruntun antar kepentingan kerap tak dapat dibendung. Hingga menyisakan puing-puing cerita kekecewaan.

Dalam genggaman kuasa, tak dipungkiri hadirnya celah untuk melakukan apapun sekehendak seorang Penguasa, salah sekalipun. Di sinilah publik dengan mudah melabeli sebagai Pemimpin Otoriter. Bukan hanya itu, model kepemimpinan yang tak pernah mengenal istilah khilaf dalam sebuah rezim pada akhirnya akan memukul kembali. Dan ujungnya adalah kutukan publik tanpa henti. 

Belum lagi ketika kekuasaan itu tak cakap dalam bercerita. Satu hal yang mesti ditegaskan, kegagalan sebuah kekuasaan dalam bercerita sangat mudah berdampak pada kegagalan menjalankan misi kekuasaan, sekalipun itu terbilang mulia. 

Mundurnya 17 Dokter ahli di Rumah Sakit Regional Mamuju Sulawesi Barat dapat ditilik sebagai bentuk kegagalan kuasa membentang narasi bercerita. Simaklah ketika cerita surat pengunduran itu dibalas dengan cerita pasal penelantaran pasien. Bahkan dengan mudahnya mengambil rumus 'mati satu tumbuh seribu'. 

Juga dengan hadirnya program'jalan-jalan' ke Rusia yang tak jelas asbabun nuzulnya. Pun tak terang apa maunya terhadap rencana itu.

Belum lagi dengan rencana pembangunan Bandara di Polewali Mandar. Padahal itu sebentuk narasi yang saling bertabrakan dengan narasi awal. Ketika periode Anwar Adnan Saleh telah lebih awal menancapkan Bandara Sumarorong, Mamasa. 

Karenanya, satu hal yang penting dicermati, kekuasaan yang baik hari ini bukan sekedar mengandalkan rupa ketegasan. Tapi juga punya kecakapan bercerita.

Sebaliknya, buruknya kecakapan bercerita dalam sebuah rezim akan memberi simpulan ringkas. Bahwa kekuasaan hari ini memang sedang memburuk, sakit dan butuh otopsi. 

Mamuju, 12 Desember 2017. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa