Siang ini, saat kota Makassar sedang diguyur hujan lebat, saya berjumpa dengan Dr. Firdaus Muhammad. Penulis buku 'Anregurutta, Literasi Ulama Sulselbar'.
Dalam bincang singkat itu, Pak Firdaus, begitu saya menyapa beliau, banyak menjelaskan alasan di balik penulisan buku terbarunya itu. Batinnya terketuk untuk ikut menjadi bagian sejarah pewarisan ulama lintas generasi. Khususnya di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat.
Jika dirunut ke muara jejaring ulama, ditemukan fakta bahwa tak ada hal mendasar yang dapat menjadi alasan untuk berfirqah-firqah di era kekinian. Bahkan dengan alasan beda aliran sekalipun.
Jikapun terdapat perbedaan, itu hanya pada garapan pola mengekspresikan ajaran semata. Sehingga titik temu dari setiap perbedaan pandangan para ulama jauh lebih banyak dari pada alasan pembeda satu sama lain.
Lalu mengapa dewasa ini kita terlampau mudah menyemaikan benih pembeda yang kerap berujung pada alasan mematangkan kebencian?
Sebab kita tidak utuh menjaga warisan ulama. Kecenderungan yang ada lebih pada pilihan eklektik. Mengambil ajaran bila menguntungkan, dan menafikan risalah ulama bila dipandang merepotkan.
Tak dipungkiri, dalam hal perkawinan ulama dan politik juga sering dibenturkan hingga ke titik ekstrim. Bahwa ulama telah kehilangan muru'ah jika tak menjaga jarak dengan kepentingan politik.
Anda, atau saya kadang tak tahu jurus politik para Ulama. Mereka punya daya dan bargaining yang berbeda dengan aktor politik pada umumnya. Bukan hal mustahil, mereka melakukan tindakan 'bunuh diri' politik sebagai cara mempertontonkan realitas politik kepada umat.
Jika sudah begini, pesannya tegas; ulama saja dapat dibunuh seketika karena politik. Apalagi dengan umat. Bukankah itu model pendidikan Politik berciri khas Ulama?
Pesan terpenting dari silaturahmi ini, menitipkan secercah harapan agar para ulama yang telah lebih awal menghadap Allah dapat dihidupkan kembali ajarannya. Pada saat yang sama, kita pun punya andil untuk menjaga ulama yang masih ada hingga kini.
Tanpa kehadiran ulama, siapa lagi yang bertindak sebagai penjaga moral kehidupan? Pesan ini sekaligus hendak menegaskan satu hal penting. Bahwa hari ini ada gejala 'melantik' orang jadi ulama instan. Yang akhirnya dimanfaatkan sebagai panggung utama menghujat keragaman fithrawi di bumi Indonesia.
Sekarang, anda pilih yang mana? Merawat risalah para Ulama (yang sebenarnya), atau membiarkan identitas Ulama disandang oleh para Perompak di Jalan Tuhan?
Panakkukang, 17 Desember 2017.-
Komentar