Langsung ke konten utama

Kemarau Intelektual

Saya membaca tulisan Gus Dur tentang masa depan pemikiran, khususnya di Indonesia. Fase keresahan yang disebutnya sebagai kemarau Intelektual itu, kian terasa akhir-akhir ini.

Membaca tatanan politik misalnya, hanya ramai dengan pembangunan perspektif citra dan dramaturgi. Dalam artian, dimensi stereotip terhadap politik merajai setiap ruang dialektika politik itu sendiri. 

Padahal, politik seharusnya menjadi gerbang kehidupan untuk meraih tuntutan bersama; hadirnya masyarakat adil dan makmur. Politik juga meniscayakan tumbuh kembangnya sebuah tatanan peradaban. Sehingga tidak tepat jika bincang politik harus selalu kandas dalam kesimpulan menyakitkan. Bahwa khusus untuk tema yang satu ini, hanya tepat dibicarakan jika punya pengalaman muslihat di lapangan. 

Belum lagi dalam ruang kebudayaan kita. Kecenderungannya kerap membuat jarak eksklusif terhadap realitas di luar. Aktivitas kebudayaan tak ubahnya terus memberi kutukan terhadap roda perkembangan zaman. Sementara kesucian terus digenggam rapat. Pada akhirnya, kebudayaan hanya sibuk dengan produksi kebencian masa kini. Atau paling minimal, kacamata kebudayaan mengerucut dalam aktivitas seni semata. 

Lebih miris lagi, agama pun turut menerima imbas kemarau tersebut. Arus pemikiran keagamaan kita dewasa ini seketika kandas disebabkan ketidakcakapan umat membuat kanal pembeda antara pemikiran agama dan agama itu sendiri. Arus ketidakcakapan itu ternyata cukup memberi efek pendangkalan luar biasa terhadap pola dan mekanisme keberagamaan kita. Akibatnya, agama dikurung paksa dalam ruang halal, haram, sunnah dan makruh. 

Lebih fatalnya lagi, karena salah kaprah menggunakan sumber ajaran agama. 

Dunia kampus pun tak kalah durjananya. Kampus kian memiliki kecenderungan mengedepankan orisinalitas teknis sebuah karya; bukan plagiat, target cepat sarjana, dan pemenuhan syarat administratif semata. 

Karena itu, kita perlu terobosan baru untuk menetas kebuntuan pemikiran yang sementara berlangsung ini. Memang betul, panggung politik, narasi beragama, kekakuan budaya dan keringnya produk intelektual kampus masih terus menyisakan kekecewaan. Namun itu tidak lantas membunuh kemerdekaan berpikir manusia masa kini. 

Justeru sebaliknya, keberanian mendobrak kemapanan berpikir akan mengantar kita untuk menemukan kesejatian sebagai manusia. Juga sebagai bangsa yang tak buta dengan perubahan zaman. Kita merindukan siraman hujan filosofis. Sebagai ruh perjuangan politik, kebudayaan, agama dan pendidikan. Tanpa itu, kebinatangan akan bertindak sebagai mesin pelecut ketimpangan. 

Mamuju, 4 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui