Langsung ke konten utama

Jiwa Yang Jauh

Manusia Agung, pembawa berkah bagi semesta alam, Muhammad saw. Hadirnya sebagai senjata pamungkas bagi para pengingkar kebenaran. Pelipur lara bagi manusia penuh derita. Yang mukjizat ditangguhkan hingga hari pengadilan Ilahi; itulah syafaat Nabi Muhammad saw, rahmatan lil alamin. 

Kini, beliau hadir dalam gegap gempita bulan maulid. Keberkahannya selalu dinanti oleh mereka yang percaya pada keajaiban, keberkahan dalam dimensi lintas batas. Bahwa Muhammad saw bukanlah hanya dia yang lahir di tahun gajah. Lalu wafat dan dikenang seadanya. 

Muhammad saw adalah dimensi awal dan akhir, zahir dan batin. Beliau akan terus menanti setiap umat yang merapalkan nama dan mengabadikan ajarannya. Siapa yang menyebutkan namanya, sekali saja, ia akan disambut dengan anugerah kebaikan berlipat lapis. Tak peduli dari bibir mana nama Muhammad dilafadzkan; pengumpat, pendurhaka, pemaki, pezina, pengutuk, penipu. Seluruhnya luluh lantak, hancur lebur oleh kerinduan pada sosok agung itu.

Kali ini, Nama Muhammad saw kembali menggema dalam balutan irama rebana hingga marawis, qasidah hingga gambus padang pasir. 

Dari jiwa yang jauh, ada malu yang tak disangkali. Akankah sosok agung itu bakal merangkul kita di kemudian hari? Ataukah kita hanya akan menghabiskan sisa-sisa nafas dengan teriakan penyesalan? 

Dari jiwa yang jauh, pesan persaudaraan darinya telah lama disampaikan di hadapan sahabat Nabi kala itu. Bahkan, tak sungkan menyebut orang-orang di majelis itu sebatas sahabat saja. 

Lalu siapa saudara Nabi? Ialah, mereka yang tak pernah berjumpa, namun tetap saja mengimani kenabian Muhammad saw. 

Inilah pesan mengharukan bagi setiap penghuni bumi di akhir zaman. Janji itu niscaya. Tapi akankah kita telah pantas disebut saudara Nabi? 

Barru, 1 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui