Langsung ke konten utama

Miskin Makna

Roda kemajuan peradaban terus mengantar para pemujanya pada kekayaan khazanah. Histori yang otentik, kebudayaan padat  filosofi, dan pengetahuan kontekstual sebagai tanda besarnya. 

Di sini, kita menemukan kekayaan makna yang sungguh luar biasa. Tak ada yang berjalan dengan perspektif seadanya. Sebab di setiap jengkal gerak selalu tertuang pesan-pesan kearifan. 

Kekayaan terhadap makna berdampak sehat bagi kemajuan sebuah wilayah. Pun dengan kemajuan sebuah rezim. Sebab di dalamnya kita mampu saling berbagi kekayaan khazanah antara satu dengan lainnya. Tak ada debat kusir. Apalagi debat yang ujungnya hanya menyisakan kekesalan. 

Namun harapan itu bakal menjadi utopis dan terkesan sensasional saja, jika tak punya kecakapan membuka tabir kekerdilan. Yang ada hanyalah serupa wujud kehebatan di zona masing-masing, di kandang kita masing-masing. 

Manusia acapkali lupa dengan roda perubahan zaman. Ia tak tahu bahwa gerak perubahan itu sedemikian cepat. Sementara ia terus memaksa agar pemaknaannya dapat terus berlaku seumur hidup. Itu jelas mustahil.

Karena itu, jika hendak memajukan suatu era, hal paling mendasar diawali dengan ikhtiar memperkaya pola pemaknaan terhadap kehidupan. Makin banyak sisi yang terlihat, itu membuka celah bagi kita menuju sikap arif dan bijaksana. Tak mudah menyalahkan, menghargai alat ukur orang lain, dan lebih penting jauh dari halusinasi batin alias mencurigai orang lain. 

Sebaliknya, pada pemaknaan yang sempit, terdapat peluang besar akan hadirnya sikap menutup diri, congkak, memaksakan kehendak dan akhirnya mempertegas kejahilan yang sebenarnya. 

Apakah ini hanya goresan tanpa wujud? Atau bakal dinobatkan dalam deret bualan Abu Nawas? Tidak juga. Sebab realitas makin menujukkan tanda-tanda itu. Fenomena politik yang hari ini kian kental dengan praktik saling menjegal merupakan salah satu dalil sahihnya. Termasuk juga dengan dunia birokrasi yang belum surut dari hasrat mengais keuntungan bermodus tugas negara. 

Semua itu, jika ditilik lebih kritis, hanyalah wujud rupa betapa urgensi  sebuah makna kian kerdil. Wajar, jika hampir setiap agenda pembangunan, apalagi agenda kemanusiaan, nyaris berujung kesia-siaan. Sebab sedari awal, kehidupan ini digerakkan tanpa kekuatan roh. Juga minus kearifan. 

Alauddin-Makassar, 17 Desember 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa