Langsung ke konten utama

Mengukur Orang Waras

Baru saja saja usai menjawab 567 soal  psikologi yang disajikan oleh software Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), terbit pada tahun 1940. 

MMPI dikembangkan pada tahun 1930 di Universitas Minnesota sebagai tes kepribadian yang komprehensif dan serius yang dapat digunakan untuk mendeteksi masalah kejiwaan.

Tes MMPI adalah sebuah alat tes inventori yang berisi banyak pertanyaan dengan option “ya” dan “tidak”, tujuannya adalah untuk mengetahui kepribadian seseorang, terutama gangguan-gangguan psikologis yang ada di dalam diri seseorang, seperti gangguan anti sosial, gangguan seksual, gangguan depresi, kehohongan, dan sebagainya.

Peserta lainnya juga mengerjakan hal serupa. Dari proses tersebut, hal menarik ketika membincang bagaimana psikologi gaya MMPI merancang kadar kejiwaan seseorang. 

Dengan model ini, kecenderungan yang dihasilkan akan mempersepsi manusia sebagai barang rusak. Sehingga mesti dibengkeli sedemikian rupa. Bila perlu, hadirkan psikiater yang mampu menyadarkan pasien soal kegilaan yang tak disadarinya selama ini. 

Ajaibnya, dengan logika sederhana, agak sulit mempertemukan dimensi kesadaran dan dimensi kegilaan. Namun itu bisa sangat berbeda hasilnya jika berhadapan dengan para tukang kejiwaan ini. Dari sajian scanning diagram MMPI, anda akan sadar bahwa selama ini anda gila.

Tanpa menjelaskan terlalu detail dan panjang, saya bergegas menanyakan beberapa hal sebagaimana sajian pertanyaan yang telah disodorkan. 

Misalnya, apakah anda pernah mengalami kejadian aneh/ hal-hal gaib? Jika  menjawab Ya, maka MMPI akan mengeluarkan jawaban bahwa kita sedang mengidap penyakit schizophrenia. Atas pelabelan ini, kita disadarkan tentang bahaya penyakit itu.

Sayangnya, sedikit orang yang mau melayangkan sanggahan balik terhadap kemungkinan gagapnya MMPI mendefinisikan makna kejadian aneh, sebagai software. Sebab tanpa nalar kritis, kita bakal terjebak menuduh seseorang yang pernah bersentuhan dengan pengalaman gaib dalam dimensi spiritual sebagai penderita schizophrenia. Yang berpotensi menimbulkan halusinasi dan berpikir tidak waras. 

Kadar "aneh" yang dibangun dalam MMPI telah memberi sumbangsih luar biasa terhadap kekeliruan manusia mempersepsi dirinya. Program ini tidak mampu membedakan hal aneh negatif, dan aneh secara positif. Sebab jika pun harus berjumpa dengan pengalaman spiritual, ia bakal bergegas menarik diri, kuatir jika dirinya divonis kronis schizophrenia. Jurus MMPI tak sanggup membedah dua laporan aneh; antara orang yang mimpi bertemu Tuhan, dan orang yang mengaku dalam perutnya ada sarang burung walet. 

Itu artinya, semakin seseorang memasuki dimensi spiritual, jiwanya akan semakin mengkuatirkan. Semakin anda mengalami mukasyafah ruhaniyah (penyaksian batin), semakin anda tidak waras. 

Sebaliknya, semakin anda menjauhkan diri dari aktivitas pendalaman rohani, semakin sehat pula jiwa anda. Semakin anda beribadah sekadarnya, anda pun akan semakin jauh dari potensi kegilaan. 

Seaneh inikah kekuatan raksasa psikologi menghantam pondasi kewarasan kita? Waraskah jika dimensi terdalam jiwa kita digarap habis oleh teknologi yang tak tahu rasa itu? Lalu, mal majnun haqqul majnun, siapa yang gila sebenar-benarnya? 

Untuk sementara waktu, kita hanya punya argumentasi sederhana. Bahwa sejak awal psikologi macam ini telah mendudukkan manusia sebagai barang rusak. Penyelesaiannya hanya dengan metode rehabilitasi dan suntik bius (semoga dugaan ini salah). Bukan makhluk yang kerap bergumul dengan hasrat, mimpi, harapan dan doa-doa yang dipanjatkan. 

RS. Dadi, 6 Desember 2017 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa