Langsung ke konten utama

Pesona Anwar Adnan Saleh

Pelantikan Pengurus Ikatan Jurnalis Sulawesi Barat (IJS) yang dilangsungkan Senin 4 Desember 2017 menyisakan catatan menarik. Mubazir jika dilewatkan begitu saja. 

Bukan tentang siapa yang dilantik. Juga bukan terkait kemeriahan pelantikan. Melainkan sosok yang melantik. Pria yang kini tak lagi punya ikatan struktural di birokrasi. Dialah Anwar Adnan Saleh. Mantan Gubernur Sulawesi Barat. Secara datar, kehadirannya biasa saja. Toh, dia dipercaya sebagai Dewan Pembina Organisasi IJS. 

Namun bagi saya, tidak hanya sampai disitu. Hadirnya politisi senior ini menegaskan pesonanya di hadapan awak media. Dia termasuk sosok media darling yang tak tergantikan. 

Mengapa? AAS, demikian singkatan populis beliau, telah memiliki daya magnetis bagi media. Dari diamnya, itu telah memantik kerisauan di mata jurnalis tentang apa yang ia pikirkan. Terlebih lagi jika ia melontarkan pernyataan. Paling seru, kalau pernyataan itu menggelinding di ruang kontroversial. 

Kenanglah sepuluh tahun Anwar Adnan Saleh memimpin Sulawesi Barat. Ingatlah bagaimana ia memainkan ritme isu politik dan pembangunan. Mulai dari yang terbukti nyata, hingga isu lip service semata. Dalam konteks komunikasi politik, meyakinkan publik lebih penting dari pada pembuktian.

Tengoklah bagaimana Anwar saat dipecat DPRD Sulbar kala itu. Ingat pula di saat dirinya dipecat dari jabatan Ketua DPD I Partai Golkar Sulbar. Untuk dua kasus tersebut, mantan Anggota DPR RI seketika dicitrakan oleh media sebagai objek yang terzalimi. 

Tapi itulah kelebihan Tokoh yang satu ini. Ia tak hanya menerima wartawan dalam posisi sebagai narasumber saja. Anwar juga punya kecenderungan mencurahkan isi hatinya kepada wartawan. Tentu bukan untuk kepentingan pemberitaan. Pun ia kerap lebih percaya informasi media dari pada laporan anak buah. Sebuah sikap yang langka ditemukan di kalangan politisi masa kini. 

Sorotan publik terhadap media darling sekelas AAS akan terus dinantikan. Apapun yang diucapkan, akan tetap lezat di dapur redaksi. Dan itu berbahaya jika pemimpin hari ini tak berkesempatan merebut ruang media darling seperti era Anwar Adnan Saleh. 

Pekkabata, Pinrang 4 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa