Langsung ke konten utama

Ulama Jangan Berani Kandang!

Catatan dari Forum Silaturahmi Ulama se-Sulawesi Barat
MAMUJU--Selalu saja ada hal unik yang menyeruak di saat sekumpulan alim Ulama bertemu. Perbincangannya kerap melebar kemana-mana. Kendati muaranya sama; demi kemaslahatan umat. Tak terkecuali ketika mencoba membedah ruang dalam kehadiran Ulama, khususnya organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Sulawesi Barat.

Pertanyaannya sederhana, apakah saat ini Ulama di Sulbar dapat dinyatakan berdaya? Ketua Umum MUI Sulawesi Barat, KH. Nur Husain mengatakan, pada dasarnya ulama di Sulbar punya banyak ruang untuk berdaya.

"Masalahnya, tantangan kita sekarang ini adalah mendorong agar Ulama ini tidak hanya berani kandang. Tidak boleh kita hanya berani di Pambusuang, berani di Baruga, atau di mana saja. Intinya ulama tidak boleh berani kandang," ujar Kiai kharismatik ini saat berbicara di hadapan forum silaturahmi Ulama se-Sulbar di Hotel Pantai Indah, Mamuju, Jumat 18 Maret.

Sikap ini tentu punya alasan, dikarenakan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat ditentukan oleh sikap Ulama serta Umara (Pemerintah) saat ini. Katanya, Indonesia saat ini ibarat pasar yang di dalamnya hadir sejumlah pedagang yang menjajakan dagangannya.

"Salah satu yang dipasarkan adalah kehendak sejumlah pihak untuk memasarkan konsep kebebasan berpikir yang kebablasan. Mulai dari Isu Demokrasi, Hak Azasi Manusia (HAM), Lingkungan hingga upaya menggoyang konstitusi melalui sejumlah amandemen undang-undang," tambahnya. 

Karena itu, sambungnya, melalui MUI, patut untuk diketahui secara pasti seputar tugas Ulama. Di antaranya, sebagai pewaris tugas-tugas kenabian, pembimbing dan pemandu umat, penegak amar makruf nahi munkar, pemberi fatwa, pelopor perdamaian, serta disiplin dalam gerakan pembaharuan pemikiran.

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sulbar, Jamil Barambangi lebih banyak memaparkan seputar konspirasi global yang sedang dihembuskan tanpa henti, termasuk ke Sulawesi Barat. Menurutnya, ada banyak tawaran maupun konsep perubahan jati diri bangsa dari berbagai sisi.

"Salah satunya adalah terlalu banyaknya perubahan regulasi secara nasional. Jika tidak disanggupi di tingkat nasional, upaya yang dilakukan adalah melaui proses intervensi regulasi di tingkat lokal melalui Peraturan Daerah (Perda). Ini perlu menjadi perhatian para Ulama untuk memberi masukan kepada Pemerintah kiranya benar-benar waspada serta matang dalam memutuskan kebijakan," tegas Jamil yang juga menjabat sebagai Asisten II Setda Provinsi Sulbar ini.

Dalam pandangannya, Jamil mengemukakan perlunya penguatan kembali eksistensi pancasila sebagai dasar negara. Sekaligus menjadi payung utama bagi semua elemen untuk saling menghargai satu sama lain. "Demokrasi yang kita anut saat ini kan nyaris kehilangan roh dari pondasi awal kita bernegara, yaitu Pancasila. Jadi Demokrasi itu di atas Pancasila. Nah ini yang perlu untuk dibincang lebih serius oleh kita semua," papar Jamil.

Karena itu, bagi Kiai Nur Husain, ke depan pola kemitraan antara Ulama dan Umara perlu diformulasi sedemikian rupa. Agar tak ada kesan jalan sendiri bagi masing-masing pihak. Baginya, ulama harus menandai jati dirinya sebagai teladan bagi umat. "Sebab sekarang ini banyak ilmuan. Tapi belum tentu patut disebut Ulama. Mengapa, karena keteladanan yang belum dimiliki. Demikian halnya dengan banyaknya pengkhutbah di berbagai masjid. Tapi belum tentu benar-benar mampu bertindak sebagaimana akhlak ulama," jelasnya.

Di sisi lain pemerintah diharapkan dapat benar-benar memposisikan Ulama sebagai pihak yang patut dipertimbangkan sumbang sarannya dalam membangun daerah. "Ulama tanpa kehadiran pemerintah tidak ada artinya. Dan pemerintah tanpa kehadiran ulama jauh lebih memberi kita dampak yang lebih buruk," imbuh Jamil, Ketua KAHMI Sulbar ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa