Langsung ke konten utama

Mengapa Agama Tak Direncanakan?

Sungguh meriah gelaran Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Provinsi Sulawesi Barat Senin (11/4) lalu. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo hadir membuka. Sementara Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin didaulat menutup di Sore hari.
 Namun kemeriahan itu menyisakan pertanyaan mendalam bagi kita (baca: bagi penganut agama-agama). Mengapa? Sebab dalam faktanya, forum musrenbang telah nyata dan terbukti lalai terhadap aspek primer kehidupan beragama di Sulawesi Barat.
Mari kita meneropong 9 isu strategis yang menjadi acuan penyusunan program pembangunan lebih lanjut.
Yaitu: (1). Layanan dan aksebilitas pada pendidikan, (2). Layanan dan aksebilitas kesehatan ibu dan anak, (3). cakupan kualitas air baku, sanitasi dan air bersih, (4). konektivitas infrastruktur wilayah dan pembangunan wilayah pinggiran, (5). pemberdayaan masyarakat miskin, (6). kualitas dan keunggulan SDM dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), (7). Ketahanan Pangan dan Komunitas unggulan melalui agro industri dan daya saing daerah, (8). keunggulan wisata dan budaya daerah, (9). tata kelola pemerintahan dan kapasitas aparatur pemerintah daerah.
Pertanyaannya, lalu dimana isu Agama itu ‘disisipkan’? Atau dalam bentuk lain pertanyaan, mengapa Agama tak direncanakan?
Dengan merujuk pada 9 isu strategis di atas, bagi saya, ini telah menjadi alamat buruk bahwa masa depan Sulawesi Barat sesungguhnya makin suram. Atau lebih tegasnya, pemerintah tak pernah serius menangani masalah agama.
Dalam setiap majelis agama-agama, pemerintah acapkali bicara bahwa mereka sangat peduli terhadap pembangunan di bidang agama. Bahkan sangat menaruh perhatian besar terhadap agenda kerukunan antar umat beragama. Namun dengan hasil musrenbang ini, terjawab sudah, bahwa semua itu hanyalah pelipur lara saja.
Jika menengok ke belakang, paradigma pembangunan agama selalu dibebankan pada Kementrian Agama saja. Sementara harus diakui bahwa beban kerja kementrian agama sungguh-sungguh berat.
Dengan asumsi ini, hanya dua kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, para perencana tak paham bagaimana mendesain agama dalam konteks perencanaan pembangunan. Atau memilih aspek kedua; bicara agama, maka kita bicara soal kementrian agama.
Dengan kondisi ini, di tahun 2017 mendatang, porsi penganggaran pembangunan agama hanya akan terjatuh pada serpihan-serpihan pos anggaran berbentuk bantuan sosial (bansos) dan dana taktis saja. Jika dinarasikan dalam bentuknya yang saling berhadap-hadapan, Negara saat ini sedang memulai gerakan terstruktur, sistematis dan massif untuk ‘meninggalkan’ agama!
Tak berguna lagi bicara soal upaya menghadang gerakan terorisme dan radikalisme. Hentikan saja bicara seputar kepedulian pemerintah terhadap agenda toleransi. Bahkan kegusaran terhadap makin dekatnya gerakan transnasional memasuki wilayah Sulawesi Barat. Semua itu hanyalah gagasan yang harus dipulangkan kembali kepada para tokoh agama. Merekalah yang akan bertanggung jawab terhadap masa depan umat agama-agama. Jangan habiskan energi untuk menunggu kehadiran pemerintah... Billahittaufiq wal Hidayah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui