Apakah yang mengikat interaksi sosial manusia hingga pantas
dikatakan bermartabat dan diberkati? Adalah keseimbangan yang diapit
oleh dua kutub; hak dan kewajiban. Jika hak dipenuhi dan kewajiban
dilalaikan, saat itulah terjadi ketimpangan. Sebaliknya, jika kewajiban
ditunaikan sementara hak diabaikan, itu namanya kezaliman.
Dalam skala mikro, retaknya rumah tangga disebabkan adanya
kewajiban dan hak yang saling berhadapan pada porsinya yang tak sepadan.
Suami akan murka jika haknya disepelekan. Pun dengan Isteri bakal
terluka jika haknya dipinggirkan.
Sebuah perusahaan tak layak disebut tajir jika
kesejahteraan hanya dinikmati para pemiliknya. Sebab anda atau siapa pun
bakal berkesimpulan bahwa keringat karyawan mesti dibayar tanpa
mengenal kata tunda.
Bagi anda yang menautkan kehidupan di lingkar birokrasi,
masalah hak dan kewajiban boleh jadi berlangsung secara tak adil, bahkan
itu sudah biasa. Mereka yang memeras keringat menuntaskan kewajibannya
tak mendapat upah yang pantas. Keringat hanya dibayar dengan tepuk
tangan dan terima kasih. Ajaibnya, jika anda menuntut hak, di saat
itulah anda dianggap tak loyal pada atasan.
Dilema kehidupan yang mengaburkan garis demarkasi antara
hak dan kewajiban sebenarnya merupakan awal dimulainya ketimpangan
interaksi sosial manusia. Filosofi keringat yang menetes hingga jatuh ke
bumi sama sekali tak dianggap sebagai perilaku mengundang murka Tuhan.
Wajarlah jika gumpalan doa selalu tertutup kabut. Sebab
jiwa kita pun kian kabut, tak punya empati pada kehidupan. Sikap kita
terus disesaki oleh kebiasaan berlindung di balik sistem. Atas nama
laporan yang belum lengkap, atas nama jaringan yang macet, atas nama
perubahan aturan, semuanya ditumpahkan seenak hati.
***
***
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering" (HR. Ibnu Majah, shahih). Demikian pesan Nabi saw.
Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si
pekerja setelah selesainya pekerjaan. Begitu juga bisa dimaksud jika
telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.
Al Munawi berkata, “Yang dimaksud memberikan gaji sebelum
keringat si pekerja kering, adalah ungkapan untuk menunjukkan
diperintahkannya memberikan gaji, setelah pekerjaan itu selesai. Baik
ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau
keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718).
Pesan Nabi di atas tentu tak pantas jika menyebutnya
sebagai inspirasi. Layaknya pesan-pesan para motivator. Sebutlah sebagai
kode keras bagi siapapun yang masih mendambakan narasi kehidupan lebih
baik.
Biarlah keringat menjadi saksi amal baik dan buruk di
kemudian hari maupun di hari kemudian. Sebab boleh jadi di antara kita
masih ada yang menyangka bahwa Agama hanyalah berputar dalam lingkaran
tasbih, lipatan sajadah dan tangisan di hadapan Ka'bah Baitil Haram.
Kita sedih dengan semua sangkaan itu. Ingat, di sisi Tuhan, keringat itu
punya hak tolak kepada siapapun yang merindukan surga.
Komentar