Agama terus mengalami reduksi pemaknaan. Dapat dibayangkan,
ketika penonjolan wilayah normativitas makin menguat, sementara
kesadaran subtansi justeru semakin tersingkirkan. Padahal keduanya harus
berdiri sepadan di atas panggung kehidupan.
Corak beragama manusia modern dewasa ini juga bergerak ke
alam digitalisasi. Penggunaan referensi atas kepatuhan tak lagi
bersumber dari otoritas muktabarah. Sebaliknya, malah bergeser ke
belahan dunia maya. Jadilah kita sebagai umat beragama di atas dalil
yang serba terpenggal.
Apa yang kemudian bakal menjadi masalah susulan? Ialah,
pola maupun mekanisme menarik kesadaran dengan cara yang benar lagi
tepat. Ketika agama menegaskan pentingnya berpijak pada kebenaran hakiki
(baca; tiada tuhan selain Allah), dunia maya justeru menggeser
kebenaran agar berdiri di barisan para pemburu rating. Akibatnya,
seluruh kesadaran kita tergulung habis oleh kekuatiran untuk tak lagi
berada di barisan isu terdepan.
Karena itu, jangan heran ketika dewasa ini kita menemukan
fenomena baru yang diistilahkan sebagai pragmatisme religius. Orang
hanya akan melakukan ajaran agama jika tampak bakal menjadi hot isu
alias punya manfaat sesaat bagi dirinya. Dirinya sulit bersedekah dengan
sembunyi. Sebab itu bakal tak punya kesan pencitraan.
Kesadaran persembahan dan kepasrahan diri di hadapan Tuhan
kini tergantikan oleh tingginya libido menundukkan kehendak Ilahi sesuai
dengan cita rasa dan keinginan hamba.
Bukti lain dari fenomena pragmatisme religius, juga
ditandai dengan pola memahami agama layaknya manusia yang berbelanja di
pasar. Kita hanya membeli sesuatu berdasarkan apa yang kita inginkan.
Dan para penjual hanya memunculkan barang dagangan yang diprediksi bakal
laris manis.
Dalam beragama pun begitu. Bahwa acapkali manusia hanya
akan mengambil satu praktik keberagamaan berdasarkan kebutuhannya saja.
Atau berdasarkan apa yang trend hari ini. Atau lebih ekstrim,
berdasarkan seleranya saja!
Ajaibnya, para pengkotbah juga ikut dalam lingkaran itu.
Kehadirannya tak lagi menyampaikan ajaran yang semestinya. Melainkan
telah menjelma seperti pedagang nakal yang hanya menampilkan barang
dagangan yang sedang laris manis.
Adalah tugas para ulama untuk memandang fenomena ini bukan
sebagai ilusi dan wacana saja. Sebab jika dirunut lebih dalam, mandulnya
kepatuhan atas pesan- pesan yang terlahir dari mimbar dan majelis
taklim juga dikarenakan gempuran 'agama trending topik' ini.
Maka catatan terpenting atas ihwal di atas adalah:
Maka catatan terpenting atas ihwal di atas adalah:
Pertama, umat mesti disadarkan kembali akan arti penting
mendalami ajaran agama secara benar dan tepat. Larutnya umat manusia ke
alam maya, tidak akan semakin membuatnya toleran dalam kehidupan. Juga
bakal semakin menjauhkan dirinya dari cita-cita luhur untuk 'berjumpa'
dengan Tuhan di hari kemudian, kelak.
Kedua, tugas para ulama, ustadz, mursyid, untuk menjemput
mereka yang sedang mengalami kegersangan batin. Sebab problem mendasar
manusia modern adalah ketidak sanggupan menukar kekayaan dengan
kebahagiaan. Atau lebih tegas, kegagalannya merebut kebahagiaan setelah
ia menyandang predikat sebagai orang sukses.
Ketiga, kiranya penting mendorong agar elit agama berdiri
di barisan terdepan untuk tak melulu bicara soal polemik mazhabiyah.
Sembari menemukan pola cerdas terhadap upaya menggetarkan batin umat
agar kesadarannya benar-benar sampai ke hadirat Tuhan. Semoga.
Komentar