Langsung ke konten utama

Secuil Berhala

Seluruh risalah kenabian telah dibungkus dengan buntalan pesan singkat, padat makna lagi sakti. Dialah kalimat "Laa Ilaaha illaa Allah"; Tiada tuhan selain Allah. pesan ini memantulkan bias cahaya di berbagai penjuru, agar tunduk pada satu poros keabadian; Allah swt. 

Bagi siapa pun yang mencoba bermain-main dengan kalimat sakti di atas, sepanjang hayat ia takkan menuai jejak hidup yang baik. Kehidupan dunia bangkrut-semrawut-kusut, akhiratnya merana-durjana. Pohon keyakinan seketika tumbang, tangkainya patah, daunnya mengering, dan akarnya tercabut secara paksa. Demikian itulah perumpamaan terhadap para pemuja selain Allah.

Pesan peng-Esa-an ini pada dasarnya tak selalu sepadan dengan cara manusia masa kini memaknai nilai-nilai tauhid. Tak sesangar para pengutuk tradisi, tak seseram para gerombolan pejuang anti-bid'ah. Sebab jika kita hanya terhenti pada penghakiman atas praktik agama yang sarat dengan asimilasi kultur, di sanalah kita akan menemukan gejala penyakit baru bernama secuil berhala.

Sepatutnya kita mencoba memantulkan pesan ini tepat di dalam sanubari kita masing-masing. Adakah di antara detak jantung kita telah terselip secuil berhala yang bakal membuat suram dan buram masa depan jelang perjumpaan dengan Tuhan? Atau justeru sebaliknya, secuil berhala itu telah berubah wujud sebagai gaya hidup baru, trend masa kini. Bahwa mengharap petunjuk Ilahi saat ini sama halnya dengan si Cebol merindukan bulan? 

Bukan tidak mungkin, pertanyaan di atas akan menghentak relung batin akan rapuhnya keyakinan yang merupakan tonggak utama layak tidaknya seseorang digelari manusia, khalifah Tuhan di muka bumi.

Lalu apa itu secuil berhala? Ialah segala apa yang selama ini telah membuat kita jumawa, merendahkan Tuhan lewat perilaku merendahkan hamba-hamba-Nya. Padahal di setiap kekurangan seseorang, selalu saja ada kelebihan yang disandang. 

Di luar sana pun tentu masih akan ada yang lebih hebat darinya? Lalu apa yang kita banggakan? Mengapa secuil berhala itu terlalu nyaman mendekam dalam sanubari kita? 

Cobalah tengok kelaziman yang terus diperturutkan hari demi hari. Para kaum bijak selalu mengingatkan. Bahwa keruntuhan satu generasi disebabkan oleh kesombongan atas warisan leluhurnya. Ia bangga dengan kehebatan masa lalu. Tanpa ada kesadaran yang terbangun bahwa masa lalu tetaplah masa lalu. Dan itu bukanlah masa kini. Lebih jauh, itu jelas bukan masa mendatang.

Tengoklah dengan manusia-manusia penganut kemapanan, bermazhab zona nyaman. Percaya, ia akan bertemu dengan makhluk bernama kemunduran. Sebab dalam dirinya tak lagi ditemukan semangat juang. Secuil kenyamanan telah membuat terlena, tanpa merasakan bahwa dunia ini terus berubah. Jadilah ia mengalami fase kemunduran. Sementara yang lain, justeru melejit sebagai pemenang kehidupan.

Karena itu, jangan heran jika suatu kelompok terdapat kumpulan orang-orang pintar, namun tak punya manfaat apa-apa bagi kehidupan. Mereka hanya bangga dengan kepintaran, sembari membusungkan dada bahwa di tangan merekalah warisan pengetahuan itu mendarat ke muka bumi.

Tapi apa manfaatnya bagi kehidupan ini? Lebih pragmatis lagi, apa untungnya semua itu? Sebaliknya, gugusan gagasan pengetahuan yang mendekam di batok kepala hanya sebatas instrumentalia kekesalan kita membaca seluruh tanda-tanda zaman. Jadilah kita sebagai pengutuk kehidupan dengan aneka rupa dalil dan dalih kemurkaan.

Dari manakah semua itu? Sekali lagi, itulah maha karya yang sangat terselubung dari secuil berhala dalam diri manusia. Secuil berhala telah menumbuh-suburkan kebanggaan yang tak terkira. Di saat yang sama, secuil berhala memaksa manusia sekelilingnya untuk ikut serta berirama dalam nyanyian para pengagumnya.

Karena itu, bijaklah. Sebab Tuhan Maha Tahu akan seluruh isi hati setiap hambaNya. Sekian... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa