Langsung ke konten utama

Cak Nur, Ilmuwan dan Politik Kerahmatan

Sepeninggal Cak Nur (Nurcholish Madjid, red), dunia keilmuan, khususnya di Indonesia nyaris tak menemukan tokoh yang tepat diposisikan sebagai Guru Bangsa. Sosok Cak Nur dipandang sebagai personality yang memiliki cakrawala luas dan mendalam terhadap Konsep Keislaman, Kebangsaan, termasuk di dalamnya Gagasan Peradaban. 

Berulang kali Cak Nur ditarik-tarik oleh berbagai kepentingan kekuasaan, utamanya saat orde baru. Namun berulang kali pula ia hempaskan rayuan pragmatisme itu dengan caranya sendiri. Yakni dengan cara cerdas, sebagaimana layaknya seorang intelektual. 

Ketika Indonesia mengalami krisis saat gejolak 1998, Cak Nur seringkali dimintai pertimbangan oleh Presiden Soeharto. Dan atas pertimbangannya pulalah, Soeharto menyatakan mundur dari jabatan sebagai Presiden. Ini pulalah yang membawa Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini terus dikenang sebagai cendekiawan.

Lalu bagaimana dengan para Ilmuwan masa kini? Era Cak Nur (1939-2005) tentu tidak tepat untuk mengukurmya dengan sepak terjang para ilmuwan masa kini.  Lokus dan tempusnya berada pada jarak yang sama sekali berbeda.

Kendati demikian, hal yang kiranya patut ditanyakan: mengapa Cak Nur seorang diri sangat 'berani' melontarkan sebuah gagasan hingga berbuah sebagai gerakan pemikiran bahkan (juga) perlawanan kampus? Bandingkan dan sandingkan hal itu dengan fakta masa kini. 

Tampaknya, ruang gerak para ilmuwan makin terpenjara oleh rutinitas 'jam tayang', serta desakan pemenuhan kewajiban administratif kampus. Akibatnya, para dosen mengalami nalar kritis yang cenderung mandul terhadap realitas di luar kampus. Bahkan kampus itu sendiri kian tak punya nyali sebagai pilar kontrol sosial. 

Sebatas misal saja, Proses Pemilihan Gubernur Sulawesi Barat, tampaknya hanya menjadi panggung para Politisi. Padahal, momentum ini pulalah yang mestinya disorot oleh para Dosen agar Pilkada ini kian mendekati subtansi Demokrasi. 

Kiranya tak cukup jika hanya berada dalam debat soal netralitas kampus. Sebab yang lebih penting adalah menggeser tema perdebatan itu pada subtansi persoalan. Lebih dari sekedar menang dalam Pilkada, para Ilmuwan sedang dinanti pencerahannya, agar Politik tak melulu bersuhu panas tanpa ujung narasi yang jelas.

Proses politik yang terus diangkat di ruang maya dengan tampilan saling menghujat dan memaki antar berbagai pendukung sesungguhnya telah dapat menjadi dalil paling sahih bahwa Kampus, Dosen dan seluruh Ilmuwan sedang dinantikan untuk tak menyebut bahwa mereka pun saat ini sedang dipertanyakan.

Tak elok jika para Ilmuwan saat ini terus-menerus dipersepsikan sebagai pengamat semata. Apalagi jika telah sampai tertuduh sebagai 'tukang prediksi'.  

Ketika arus perdebatan jelang Pilkada terasa hanya seru-seruan, tugas para Ilmuwan untuk mengangkatnya pada derajat yang lebih jitu dan bermutu. Jika para calon tak juga bicara soal visi dan misi, sepatutnya para Ilmuwan bersuara lantang, menagih dan menimbang rasionalitas visi dan misi itu. 

Jika telah begitu adanya, patutlah kita menyebut bahwa kampus telah bergerak menuju Politik Kerahmatan. Kita nantikan itu! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui