Langsung ke konten utama

Imam Lapeo; Teks Peradaban Hulu Hilir

Rasanya telah hilang beribu lembar narasi peradaban di Tanah Mandar, jika tak mencantumkan nama Ulama Legendaris, KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo. Nyaris saja kita akan melipat lembaran narasi itu sembari berkesimpulan; Apa artinya bicara Mandar jika sedikitpun tak mafhum dengan Imam Lapeo? 

Pada jarak terdekat, di bilangan waktu masa kini, boleh jadi orang di luar sana akan terus berdecak kagum dengan sosok Imam Lapeo. Baik tentang karamahnya, kedalaman ilmunya, keteguhan perjuangannya, konsep kebangsaannya, hingga doanya yang mustajab, mampu membelah langit. 

Sementara kita tanpa sadar tengah berada dalam pusaran yang biasa-biasa saja. Jadilah kita sebatas pengagum sejarah Mandar, sejarah Imam Lapeo. Tanpa disertai kesanggupan menangkap anasir keberkahan dari pancaran cahaya kewalian beliau. 

Bukankah ini yang disebut dengan kekeringan makna sejarah? Bukankah ini yang dimaksud dengan keluar dari ruh pembacaan sejarah? Ataukah kita memang masih gandrung dengan sejarah yang tumpul saat mengiris sisi kebenaran antara hikayat dan riwayat. Antara fakta dengan yang 'dipaksa jadi fakta'. 

Seperti itulah yang terbersit dalam benak saya saat menghadiri Haul KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo ke-64, pekan lalu (Selasa, 23 Agustus 2016). Dari pembacaan Manaqib yang disampaikan Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, hingga Taushiyah oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, keseluruhannya mengajak agar Imam Lapeo dapat menjadi teks peradaban.

Kerugian terbesar di jagad Mandar ini, jika warisan Imam Lapeo tak mewujud sebagai risalah peradaban. Sebab dalam bentang narasi para Waliyullah, kita menjumpai adanya sisi rumpang, tak berjalan simultan. Betapa banyak anak yang terlahir ke dunia, tapi sedikit yang mampu memantaskan diri sebagai pelanjut risalah peradaban itu. Meminjam istilah Prof. Nasaruddin Umar, ada banyak anak biologis, tapi sedikit yang menjelmakan diri sebagai pelanjut warisan spiritual.

Karena itu, sesingkat apapun pemahaman seseorang terhadap Imam Lapeo, kiranya telah cukup untuk membentuk batin manusia agar makin sadar akan makna kehadirannya di muka bumi.

Membaca, menelaah dan mendalami sosok Ulama yang satu ini, sepatutnya tak sebatas dalam riwayat akhir hayat, alias hilir. Berikut dengan segala keajaiban yang di sekelilingnya (Barakna Haulahu). Sebab yang lebih penting dari semua itu adalah energi pembacaan yang harus ditarik hingga ke hulu. Tujuannya hanya satu. Yakni kehendak untuk menjawab pertanyaan; Mengapa Imam Lapeo bisa sehebat itu? 

Kata Prof. Ahmad M. Sewang, warisan paling anyar untuk dipatrikan bagi generasi saat ini adalah dengan menancapkan tekad kuat agar bangsa ini benar-benar meneguhkan prinsip pendidikan sepanjang hayat (minal mahdi ilal lahdi). Percayalah, tak ada bangsa yang dapat maju tanpa disertai dengan garansi pendidikan yang baik, jitu dan bermutu. 

Bolehlah kita bertanya, dalam konteks Imam Lapeo sebagai pancaran spiritual, pendidikan apa yang mesti digerakkan? Ialah, mampu mengantar manusia pada derajat kecerdasan, membuka tabir kejahilan, empati serta energi berlari kehadirat Tuhan. 

Tengoklah bagaimana kehidupan serta etos belajar yang dimiliki KH. Muhammad Thahir. Di samping banyak guru, beliau juga punya banyak titik wilayah pengembaraan intelektual. Dari tanah Mandar ia bergerak ke Pare-pare, Pulau Salemo, ke Sumatra, lalu ke Banten. Belum lagi dengan pergerakannya yang menembus Makkah al Mukarramah hingga ke Turki. Sungguh itu bukan sebuah perjalanan wisata (travelling) apa adanya. Tapi ekspresi kerinduan seorang manusia pada ilmu atas nama penghambaan pada Ilahi. Di saat itulah, dalam pengembaraan intelektual, gerak-gerak spiritual pada dirinya pun akhirnya bermunculan. 

Maka, sesiapapun yang hendak menjadi orang besar, dikenang dalam sejarah kehidupan, mulailah dengan membangkitkan generasi berpengetahuan atas nama penghambaan pada Ilahi (Iqra Bismi Rabbik). Keteladanan seorang Imam Lapeo sepatutnya dimulai dari hulu, yakni pengetahuan mandalam. Adapun hilirnya, biarlah Tuhan yang menurunkan berkah-Nya. 

Satu hal terpenting dari catatan ini, dengan karamah kewalian yang dimiliki, Imam Lapeo hadir sebagai sosok Manusia yang kehidupannya sangat sederhana. Bentuk komunikasinya pun terbilang apa adanya. Tapi dari sana, kita akan menemukan betapa pesan sesederhana itu, justeru menghasilkan letupan yang sangat perkasa. 

Perhatikan ketika ada seseorang yang meminta nasehat kepada beliau. Apa katanya? Hanya ada dua rumus yang bisa menyelamatkan manusia. Rendah hati (Tawadhu) dan tidak Takabur. Sesungguhnya, pesan super singkat ini sangat sederhana. Tapi hasilnya luar biasa perkasa. Sebab dua hal inilah titian jalan kehidupan yang seharusnya dilalui. Sebaliknya, jika lepas dari kedua hal itu, lepas pulalah dimensi kemanusiaan anda. 

Mari menjadi pengagum Imam Lapeo. Lebih penting lagi, jadilah bagian dari pelanjut atau pelaku risalah yang diwariskan. Alfatihah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Potret Masyarakat Post Truth

Revolusi Indistri telah melahirkan kekuatan 4.0. Terdapat perubahan teknologi yang datang silih berganti. Dahulu, manusia mengandalkan tenaganya, kini tergantung pada siapa  yang berduit. Dahulu, kita mengandalkan otot. Lalu berubah dengan mengandalkan mesin yang dapat digerakkan.  Pergeseran itu terus bergerak. Saat ini, sejumlah jenis pekerjaan lenyap, lalu tergantikan dengan kecanggihan yang mengandalkan tombol, sandi, dan kode rahasia lainnya. Pastinya, dengan kecanggihan itu, pola kehidupan umat manusia pun ikut terpengaruh di dalamnya.  Jika dahulu, jarak geografis sangat terasa menggerus waktu. Namun kelebihannya, jejaring kemanusiaan berlangsung dalam kehidupan penuh kehangatan. Namun ketika teknologi merajai sistem kehidupan umat manusia, segalanya berubah.  Kita dibuat takluk pada satu objek genggaman untuk sekian banyak tugas dan beban kerja. Smartphone yang ada dalam genggaman kita masing-masing benar-benar telah menegaskan diri, bahwa dunia memang sudah dalam