Langsung ke konten utama

Haji di Mata Kompeni


Dari sudut pandang fenomenologis, peristiwa haji terbilang kolosal dan cukup unik dibandingkan dengan praktek-praktek ibadah ritual lainnya. Efeknya tak hanya terkait pada sosok yang akan menunaikan haji saja.
Namun juga pada orang-orang di sekelilingnya.

Belum lagi bagi sejumlah jamaah yang mendamba haji dengan cara plus; plus uang, plus fasilitas dan sebagainya. Bagi jamaah yang menginginkan perjalanan haji plus, mereka tidak tanggung-tanggung menumpahkan harta bendanya sekalipun biaya yang dikeluarkan mencapai 100 persen,  dua kali lipat dari biaya haji regular.

Itu baru ONH, kata Andi Suruji dalam tulisannya di Harian Kompas 2011 silam. Karena di luar kewajiban itu, masih banyak kebutuhan lain yang sangat bersinggungan dengan masalah uang. Misalnya pernak-pernik, biaya administrasi, biaya syukuran, biaya hidup di tanah suci, serta biaya oleh-oleh bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sebaliknya, bagi yang tak menunaikan, mereka juga tidak kalah sibuknya. Setidaknya disibukkan dengan pengeluaran uang meliputi biaya ziarah kepada para calon jemaah haji, dan biaya pengantaran.

Dalam pandangan analis kolonial belanda, dirumuskan beberapa sumber pendapatan kaum muslim sebelum mereka berangkat haji. Antara lain: Pertama, penjualan hasil perkebunan dan pertanian. Termasuk di dalamnya nelayan dan peternak. Cara ini menempati rating tertinggi sepanjang abad XIX hingga pertengahan abad XX. Beberapa hasil pertanian dan perkebunan yakni: Lada, padi, tembakau, kopi, kakao, karet, Cengkeh dll.

Kedua, perdagangan. Perdagangan merupakan model tertua dalam cerita panjang upaya pengumpulan dana haji kaum muslim nusantara. Pada abad XVI, sejumlah orang Indonesia telah berhaji lantaran hasil perdagangannya. Bahkan, kadang dalam perjalanan ibadah haji yang pada masa silam dapat memakan waktu sekitar lima sampai enam bulan, mereka masih melakukan aktivitas dagang di kapal layar.

Ketiga, Upah kerja. Pada abad XIX, masyarakat semenanjung Malaya bekerja sebagai buruh pada perkebunan sawit. N. Schetelma mengatakan, terdapat sejumlah orang Indonesia yang tak punya kesanggupan berhaji. Jalan keluarnya, mereka berkerja sebagai kuli hingga beberapa tahun kemudian mereka memiliki modal. Bahkan ada juga yang setelah pulang dari tanah suci, mereka melakukan eksodus ke Singapura, untuk kembali menjadi kuli. Mereka itulah yang digelari sebagai Haji Singapura.

Keempat, melalui pinjaman. Menurut Saleh Putuhena, Tak disangkal, ada jamaah haji yang rela meminjam uang hingga puluhan juta hanya untuk menyandang gelar Haji. Pada 1925, Tajuddin Brother’s, sebuah perusahaan yang bergerak pada usaha peminjaman uang, memperoleh sejumlah tanah pertanian yang subur sebagai tebusan biaya perjalanan haji. Kendati bagi Vredenbregt mengaku, pola ini merupakan mekanisme pemiskinan lewat doktrinasi haji. Sebab sekembalinya dari Makkah, jika tak mampu melunasi utang, mereka akan kehilangan sumber kehidupan.

Salah seorang konsulat Belanda di Jedaah, J. Wolff (1911-1914) menyimpulkan, jamaah haji yang berasal dari Hindia-belanda, 90 persen berasal dari kalangan marginal, sederhana jiwanya, tidak dengan semangat keagamaan yang berlebihan, berketetapan hati untuk berhaji. Tapi, motivasi mereka berhaji karena orang lain di sekelilingnya
terlebih dahulu telah melaksanakan. Atau karena dirayu, ataupun karena menganggap pakaian haji sama dengan pakaian agama. Artinya, menurut J. Wolff, kaum muslim nusantara tidak memiliki interpretasi yang jelas terhadap haji. Bahkan cenderung sebatas mengikuti trend keagamaan.

Kemudian, dalam artikel Indie lebih rinci menyebutkan motif muslim nusantara dalam menunaikan salah satu perintah Allah swt yakni, Menyatakan keberanian, menimbulkan kebanggan, menjadikan terpandang, dan sebagai alternatif jalan-jalan menikmati dunia lain.

Atas beberapa tuduhan yang tertera di atas tentu ada benarnya, meski tak sepenuhnya benar. Salah satu titik kelemahannya, karena pandangan yang digunakan dalam menyoroti masalah ini sebatas pada wilayah praksis, yang tentunya gagal dalam menembus ruang tak terbatas, atau pesan ruhani haji itu sendiri.

Karena itu, pemenuhan akan nilai-nilai hakiki terkait ibadah haji seyogyanya dapat ditebarkan tanpa memilah dan memilih antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. Beberapa pesan penting dapat dijadikan sebagai spirit haji bagi siapapun yang hendak berhaji. Di antaranya:

Pertama, dalam al-Qur’an, Allah swt berfirman: “Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah KepadaKu hai orang-orang yang berakal” (Qs.2:179)

Kedua, Dalam satu riwayat juga disebutkan, bahwa suatu ketika al-Syibly pernah ditanya oleh Ali Zainal Abidin. Wahai al-Syibliy, pernahkah engkau menghormati masjidil Haram? Tentu. Jawab al-Syibly. Lalu ditanya lagi, sudahkah engkau menegakkan kehormatan bagi kaum muslimin? Lalu al-Syibly tidak mampu berkata-kata lagi.

Ini menjadi pelajaran berharga bahwa, sesungguhnya menjaga kehormatan kaum muslimin jauh lebih berharga daripada kehormatan Ka’bah yang menjadi sentral ibadah kaum muslimin. Karenanya, secara filosofis, pembangunan Masjidil Haram itu dibangun karena hendak mengokohkan kehormatan kaum Muslimin. Sebaliknya, siapa saja yang meruntuhkan kehormatan kaum muslimin, jauh lebih terhina dari pada orang yang
meruntuhkan ka’bah di masjidil haram.

Ketiga, al-Ghazali menitipkan pesan bagi yang berhaji. Katanya, berhajilah dengan harta yang halal, jangan mau diperas orang lain, jangan boros dengan kelezatan material. Hindari akhlak tercela, perbanyaklah berjalan kaki, gunakan pakaian sederhana, peduli pada yang miskin, dan sabar terhadap musibah yang melanda.

Keempat, Tokoh besar dalam dunia tasawuf, Ja’far al-Shadiq, berkata, Jika engkau berangkat haji, kosongkan hatimu dari segala urusan. Hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah swt. Tinggalkan setiap penghalang, dan serahkan urusanmu pada penciptamu. Bertawakkallah kepadaNYa dalam gerak dan diammu. Buatlah persiapan seakan engkau tidak akan kembali lagi. Pakailah pakaian kejujuran, kesucian, kerendahan hati dan kekhusuan. Bertawaflah dengan hati dan malaikat arsy. Akuilah kekhilafanmu ditempat pengakuan; di arafah. Segarkan
perjanjian primordialmu, lemparkan amarahmu dan hempaskan birahimu di jamarat.

Kelima, dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib, berkata: “Allah telah mewajibkan kalian untuk menunaikan ibadah haji ke rumah Suci-Nya yang merupakan momen penting bagi umat manusia. Yang pergi ke sana laksana binatang buas atau burung merpati bergerak mendatangi mata air. Posisi mereka sama dengan para Nabi Allah, serta para malaikat-Nya di arsy. Mereka mendapatkan keuntungan dari Ibadahnya, serta ampunan yang dia janjikan”. 

Selamat bagi anda yang berhaji Tahun ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui