Langsung ke konten utama

TULISAN TANGAN DAN PERDAMAIAN DUNIA

Bagi saya, cukup mengejutkan apa yang dihasilkan oleh Vimala Rodgers dalam bukunya “Your Handwriting Can Change Your Life” yang kemudian dialihbahasakan oleh Arfan Achyar dengan “Mengubah kepribadian melalui tulisan tangan” lalu diterbitkan oleh salah satu group penerbitan buku-buku mizan, Hikmah.
Lewat pendekatan psikologi, Vimala memberikan rangsangan baru bagi kita bahwa sesungguhnya menulis dengan tangan merupakan tradisi yang tidak terlahir an sich, lalu tergantikan oleh mesin cetak, dan kemudian terpoles secara apik lewat mekanisme komputerisasi. Menulis dengan menggunakan tangan merupakan gaya hidup yang tak akan sirna oleh alat tulis canggih manapun, walau sebatas penulisan nama lengkap dan tanda tangan pada setiap pengisian daftar hadir.
Mengapa demikian? Ada dua kemungkinan jawaban yang dapat dikemukakan.
Pertama, Tulisan tangan merupakan Anugerah Rabbaniyah yang aktivitasnya menjelma lewat simbol-simbol komunikasi. Kita dapat memahami pikiran orang lain lewat dengan tulisan yang digoreskannya. Bahkan kitapun dapat menilai orang-orang di sekeliling kita, entah baik ataupun buruk dikarenakan oleh tulisan yang diukirnya.
Kedua, tulisan tangan bukan sebatas simbol komunikasi tulisan semata, tapi juga merupakan salah satu ungkapan atas sikap hidup. Dengan kata lain, tulisan tangan adalah gambaran singkat dalam memahami suasana jiwa si penulis. Entah sedang gembira, ataukah tengah dirundung duka dan prahara. Vimala mengungkapkan bahwa setiap kondisi jiwa yang sedang berjalan dalam diri seorang penulis, maka guratan tulisannyapun dapat mewakili dirinya dalam mengukir makna di atas kanvas kehidupannya.
Lalu mengapa tulisan tangan begitu hambar untuk ditampilkan sebagai kreasi jiwa kita saat ini?
Itu karena kita sedang dalam jeratan budaya instan yang sesungguhnya dalam pembacaan psikologis, tidak sepenuhnya instan. Kita lebih senang menggunakan alat komputerisasi, mesin cetak canggih sebagai pengganti atas peran tulisan tangan. Kita menganggap bahwa mesin canggih bernama komputer akan mampu menyelesaikan hajat tulis kita secara lebih cepat dan lebih baik.
Bersamaan dengan itu, ketika kita menganggap tulisan tangan sebagai ungkapan sikap hidup, maka sesungguhnya kita telah “terhalang” oleh hijab modernisasi bernama komputer. Dan dalam perspektif Vimala, yang terhijab adalah pembacaan publik terhadap tulisan tangan, sebagai representasi pembacaan kita terhadap realitas. Jadilah kita sebagai makhluk yang tidak saling memahami antara satu dengan lainnya.
Meski demikian, bagi Vimala, menulis dengan tangan ataupun dengan alat bantu semisal komputer tidak mesti dipahami dalam konteks saling bertentangan (paradoks). Karena sekali lagi, tinjauan yang digunakan lebih concern pada pendekatan untuk mengurai ranah kejiwaan manusia.
Hal lain yang tak kalah pentingnya, Vimala mengumandangkan sikapnya untuk menegasikan sifat dan sikap “fear”, yakni ketakutan; sebagai bius yang paling mudah menjangkiti sang penulis. Ketakutanlah yang kadang menjadikan kaum cerdik cendekia untuk dengan sengaja menghamburkan ide dan gagasannya, namun tidak meng-covernya dalam sebuah tulisan sebagai media dokumentasi. Ketakutan pulalah yang menghambat kecerdasan kita dalam menuliskan apa yang terlahir dari benak kita. Faktanya, ada banyak orang yang mengaku berkeinginan besar untuk mengabadikan ide dan gagasannya dalam tulisan, namun sirna dengan sendirinya dikarenakan oleh berhala ketakutan yang diciptakannya sendiri. Dan karena itu, ciptakanlah sistem kepercayaan diri sebelum menuliskan gagasan anda. Tanpa itu, semuanya akan kembali terkubur.
Dalam menelaah setiap guratan tulisan, kita memerlukan metoda khusus yang disebut Graphology. Graphology adalah ilmu yang menganalisa secara khusus korelasi antara tulisan tangan dengan kepribadian seseorang. Dalam ilmu ini, kita dituntun menyelami lebih dalam setiap jenis garis, lengkungan, dan cara mengakhiri guratan tulisan pada setiap kata ataupun kalimat.
Adapula alat bantu lain yang disebut dengan Graphoterapy, yakni ilmu yang mendalami masalah tingkah laku yang mengundang penulis untuk menggoreskan penanya dan mengubah aspek kepribadian secara spesifik setiap guratan tulisannya. Lewat ilmu ini pula kita akan memahami bahwa sesungguhnya yang menggerakkan tangan dan kreasi tulisan kita berpusat pada kinerja otak kita. Dan keadaan otak kita juga sangat ditentukan oleh apa yang kita alami baik di masa lalu, kini maupun yang akan datang. Otaklah yang sesungguhnya memegang peranan penting dalam memandang realitas.
Karena itu, mulai sekarang kita semua bermohon kiranya sistem pendidikan di negeri ini tidak lagi mencerca apalagi mengutuk setiap siswa yang gaya tulisannya keluar dari batas-batas kelaziman, lalu melahirkan kezaliman. Pada saat yang sama kitapun mestinya memberikan apresiasi terhadap setiap potensi yang dimiliki oleh setiap manusia, walau secuil.
Lalu apa hubungannya dengan persoalan perdamaian dunia? Vimala menjawab:
“Karena setiap guratan pena meneguhkan kembali sebuah kebiasaan berfikir, dan setiap kebiasaan berfikir membentuk citra diri kita, dan citra diri merupakan lensa untuk memandang kehidupan……bila sebuah abjad dirancang hanya untuk mengungkap sifat-sifat paling mulia dalam diri manusia, perdamaian dunia bisa jadi mungkin tercapai”.
Bagi Vimala, tulisan tangan memungkinkan terciptanya perdamaian dunia. Saya justeru memandangnya agak spekulatif bahwa tulisan dalam bentuknya yang universal baik berupa tulisan maupun yang lainnya dapat membuka peluang besar akan terwujudnya perdamaian dunia. Sekali lagi dengan mengutip pernyataan Vimala bahwa tulisan tangan merupakan ungkapan jiwa, maka saya menganggap bahwa tulisan merupakan wadah ideal masa kini ke arah cita-cita mulia tersebut.
Alasannya, karena tulisan merupakan karakter atau ciri khas dari seorang yang memiliki jiwa yang sehat. Tulisan merupakan representasi dari kemampuan seseorang dalam memetakan setiap alur pikir dan nalurinya. Atas dasar inilah, kita dapat merumuskannya dalam kerangka pisau analisa sosial bahwa jika tulisan anda baik, maka baik pulalah pikiran anda. Namun bila tulisan anda buruk, maka segeralah merehabilitasinya.
Secara lebih teknis, Hernowo menyarankan kepada kita semua untuk membiasakan menuliskan pikiran kita selama 15 menit setiap harinya. Sedang Vimala menganjurkan untuk menulis dengan tangan selama_paling tidak_ dua menit setiap harinya.
Untuk menghindari timbulnya tulisan (sekaligus pikiran) yang buruk, para pakar memberikan nasihat kepada kita. Katanya, mulailah dengan menulis apa yang ada dalam jiwamu, dan akhirilah dengan mengurainya lewat akalmu. Ini berarti bahwa siapapun yang mengaku dirinya sebagai makhluk yang mencintai kebaikan, maka hendaklah teruji lewat tulisan yang diukirnya, agar kebaikan tersebut dapat menjadi titah sejarah yang tak hilang ditelan masa.
Ini pula yang merupakan babak baru bahwa tulisan mampu meredam emosionalitas setiap pribadi lewat pengaturan adrenalin amarah dan dendam. Tulisanlah yang akan membatasi kalimat-kalimat kebencian dan amarah sekiranya terlontar dalam ucapan. Artinya, walau kita sedang dilanda kebencian, maka aktivitas menulis merupakan terapi untuk meredamnya. Tulisan kemudian menjadi noktah yang berharga dalam mewujudkan perdamaian dunia. Karena dalam lintasan sejarah, tulisan tidak pernah menumpahkan darah seketika. Terkecuali bagi kelompok yang gerah dan kebakaran jenggot pada setiap hasil tulisan dengan cara yang tidak tertulis. Yakni kelompok yang mengganti tinta pena menjadi darah, air mata dan pedang yang terhunus.
Sebaliknya, bagi yang mencintai perdamaian dunia, mereka akan berkeras hati untuk merekam jejak pikir dan hayatnya dalam goresan, sebagai dalil atas eksistensinya sebagai manusia paripurna. Untukmu Vimala Rodgers, salam hormat penuh cinta dan keberkatan, Alfatihah.....!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa