Langsung ke konten utama

Menegakkan Din Muhammad: Missi Imam Huseyn as (Bagian II)

Oleh: Jalaluddin Rakhmat

Uraian di atas itu sangat ilmiah, karena mengutip ernyataan para ulama. Inilah penjelasan dalam bahasa orang awam, Para ahli hadis menegaskan bahwa apa yang disebut Umar itu bid’ah memang bid’ah, karena Rasulullah tidak mensyariatkannya. Tetapi kalau bid’ah itu dilakukan oleh para sahabat, bid’ah itu berubah menjadi sunnah. Mengapa? Kata para ulama, karena berdasarkan hadis Nabi Saw: “Hendaknya kamu mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin.” Karena Nabi Saw bersabda: Sepeninggalku hendaknya kamu meneladani Abu Bakar dan Umar.

Atau—masih kata mereka: Seluruh sahabat itu boleh diteladani karena sahabat itu bagaikan gemintang di langit dengan siapa saja kamu mengambil teladan dari mereka, kamu akan memperoleh petunjuk. Atau kata al-Razi: ""Maka Allah pun memuliakan mereka dengan anugrahNya dan meninggikannya dalam posisi teladan. Karena itu Allah menafikan (menghilangkan) dari mereka keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan, dan kecaman. Allah menyebut mereka ‘adul al-ummah…Mereka menjadi umat yang paling adil, imam-imam petunjuk, hujah agama, dan teladan (pengamalan) Al-Kitab dan Sunnah”

Jadi semua perkataan dan perbuatan sahabat adalah hujjah agama dan harus diteladani. Jadi kalau sahabat itu melakukan bid'ah, bid'ahnya menjadi sunnah yang harus kita ikuti. JIka mereka berbuat kejahatan, misalnya berzinah, para ulama tidak menyebutnya kejahatan, tetapi ijtihad dan sahabat mendapat pahala satu.

Pada tulisan yang lalu, saya menyebut bid'ah tarawih yang diciptakan Umar bin Khathab. Sunnah Nabawiyyahnya ialah salat malam Ramadhan itu dilakukan sendirian dan di rumah. Menurut bid'ah Umar, salat malam Ramadhan itu dilakukan berjamaah dan di masjid. Apa yang sekarang dilakukan kaum Muslim pada umumnya: Sunnah Nabawiyyah atau Bid'ah Shahabat?

Saya memberikan satu contoh saja. Bukan hanya Umar, tetapi Abubakar, Utsman, Aisyah, dan sahabat-sahabat lainnya memberikan kontribusi pada penciptaan bid'ah-bid'ah dalam Islam. "Bila satu bid'ah datang, satu sunnah hilang," ini sih data tarikh tasyri', walaupun ada dasarnya dalam hadis.

Sekali lagi, dengan munculnya bid'ah-bid'ah sahabat itu, sunnah Nabi saw hilang dalam praktek kaum muslim dan terpendam dalam kitab-kitab hadits. Islam sejati yang berdasarkan sunnah Nabi saw digantikan oleh Islam yang didasarkan pada bid'ah sahabat. Dalam perkembangan zaman, bid'ah itu menjadi sunnah.

Membuat bid’ah artinya membuat agama baru. Karena itu dalam bahasa Arab, mendatangkan bid’ah disebut أحدث; hal-hal yang baru diadakan disebut محدثة atau perkara-perkara yang diada-adakan محدثة الامور

Siapakah yang melakukan ahdatsa أحدث dalam Islam? Simaklah hadis-hadis berikut:

1. Shahih al_Bukhari, Kitaab al-Fitan, hadis kedua: “Aku menunggu kalian di telaga, al-hawdh, kemudian sungguh dihadapkan kepadaku orang-orang di antara kalian sehingga ketika aku bermaksud untuk menggapai mereka, mereka dicampakkan dari sisiku. Maka aku berkata: Duhai Tuhanku, mereka itu sahabat-sahabatku. Dia berfirman: Kamu tidak tahu (agama) baru yang mereka adakan sepeninggalmu, لا تدري ما أحدثوا بعدك.
2. Shahih Muslim, Kitaab al-Fadhaail, Bab Itsbaat al-Hawdh, dari Abdullah, dari HUdzaifah, dan yang saya kutip di bawah ini dari Anas bin Malik: Akan datang menemuiku di alHawdh kelompok orang yang pernah menjadi sahabatku. Ketika aku melihat mereka dibawa kepadaku, mereka dicampakkan dari sisiku. Maka sungguh aku akan berkata: Tuhanku, sahabatku, sahabatku. Sungguh akan dikatakan kepadaku: Sesungguhnya kamu tidak tahu agama baru yang mereka ada-adakan sesudahmu, انك
لا تدري ما أحدثوا بعدك
3. Shahih al-Bukhari dalam Kitaab Bad’ al-Khalq, bab Ghazwah al-Hudaybiyyah, dari Al-‘ALaa bin al-Musayyab, dari bapaknya, ia berkata: Aku berjumpa dengan Al-Barra bin ‘Azib. Aku berkata: Berbahagialah engkau, karena pernah menyertai (bersahabat) dengan Rasulullah saw, berbaiat di bawah pohon. Al-Barraa menjawab: Wahai anak saudaraku, engkau tidak tahu (agama) baru yang kami ada-dakan sepeninggalnya, يا إبن أخي انك لا تدري ما احدثنا بعده
4. Dalam Thabaqat ibn Sa’ad 8:51 dilaporkan perkataan Aisyah menjelang wafatnya: “Aku sudah mengada-adakan yang baru setelah Rasulullah saw, karena itu kuburkanlah aku bersama istri-istri Nabi saw.
اني قد أحدثت بعد رسول الله فادفنوني مع أزواج النبي ص” (artinya, janganlah dikuburkan bersama Nabi saw, karena agama baru yang aku ciptakan sepeninggalnya).

Dari sabda Nabi saw dan dari pengakuan sebagaian sahabat (Saya tidak menuliskan semuanya, karena keterbatasan tempat), kita mengetahui bahwa para sahabat mengadakan hal-hal yang baru dalam agama, yang sebelumnya tidak ada pada zaman Rasulullah saw.

Al-Quran dan hadits menetapkan hak waris anak dari orangtuanya, tetapi Abubakar menghapuskan hak waris Fathimah as dari ayahnya, Rasulullah saw. Umar, dalam contoh di atas “menciptakan” salat tarawih berjamaah di masjid. Utsman mempraktekkan dan memerintahkan orang untuk tidak mengqashar shalat dalam perjalanan. Aisyah menetapkan menyusui orang yang sudah dewasa sebagai cara untuk memuhrimkan perempuan dan laki-laki. Dan sebagainya.

Ada ratusan sunnah shahabat yang sekarang dipraktekkan kaum Muslim sekarang ini, baik dalam ibadat maupun mu'amalat. Walhasil, setelah wafat Rasulullah saw terjadilah perubahan-perubahan dalam agama. Apalagi di zaman imam Husein a.s. Di zaman imam Ali saja, orang-orang lebih percaya kepada para tukang cerita daripada Imam Ali. Sehingga Imam Ali berkata kepada mereka: Tanyalah aku sebelum kamu kehilangan aku. Pada zaman imam Husein orang-orang sudah mengikuti sunnah sahabat begitu rupa sehingga mereka meninggalkan sunnah Rasulullah Saw. Terjadilah perubahan agama yang menyedihkan.

Maka bangkitlah Imam Husein. Imam Husein berkata: Aku tidak keluar karena kepongahan, kesombongan, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kezaliman. Aku keluar untuk berusaha memperbaiki (agama) umat kakekku. Aku mau melakukan amar makruf nahi munkar, melanjutkan sirah (sunnah) kakekku Muhammad saw, dan sirah Ali bin Abi Thalib as (Maqtal Khawarizmi 1:188)

Imam Husayn juga bersabda: “Sekiranya Dinu Muhammad tidak bisa tegak kecuali dengan membunuhku; wahai pedang-pedang, ambillah aku”

Imam Husein menegaskan berkali-kali bahwa ia “ingin menghidupkan sunnah Nabi”
Di padang Karbala ketika semua orang mengepungnya dan menyuruh beliau menyerah, beliau mengatakan:

Lebih baik aku mati dari pada menanggung malu, (karena sebagai umat Muhammad membiarkan agama Nabi diubah-ubah)
Dan lebih baik juga malu daripada harus masuk neraka.

Akulah Husein putra Ali,
Aku bertekad untuk tidak bergeming
Dalam melanjutkan agama Nabi
Dan menjaga keluarga ayahku

Itulah tujuan imam Husein pergi syahid di Karbala. Setiap kali kita memperingati kesyahidan ini, sebetulnya kita bukan memperingati kematiannya itu. Tetapi kita ingin menunjukkan sebuah bukti pembelaan kita terhadap sunnah Rasulullah Saw, ingin mengembalikan agama kepada agama yang asli.

Mengapa imam Husein waktu itu tidak mengembalikan sunnah itu dengan cara yang biasa: ceramah, menulis, khutbah, dan sebagainya? Karena waktu itu seluruh media komunikasi telah dikuasai oleh penguasa. Imam Husein tidak bisa lagi khutbah di masjid. Yang khotbah waktu itu, adalah orang-orang yang disewa oleh penguasa. Mazhab imam Husein tidak diberi kesempatan untuk menyebar.

Orang-orang berada dalam kekuasaan penguasa waktu itu tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husayn untuk menerangkan agama yang asli. Tidak ada media untuk menerangkan bahwa agama ini telah diubah-ubah. Agama waktu itu adalah agama yang dibuat oleh penguasa.

Dengan keadaan demikian, imam Husein bangkit mengajarkan manusia agama yang benar. Beliau mengajarkan dengan cara dramatis sengga semua orang—mau tidak mau—pasti akan memperhatikannya. Setiap tahun, ketika ketika memperingati Imam Husayn, kita sebetulnya memperingati agama Islam yang sejati, agama yang ditegakkan di atas sunnah Nabawiyyah.

Saya ingin mengatakan kepada Anda terbuka dua pilihan, tetapi saya urungkan niat saya. Anda sudah menjatuhkan pilihan dalam agama Islam yang Anda praktekkan sekarang ini. Pilihan Anda adalah sunnah shahabat. Pilihan saya: Bergabung dengan Imam Husayn untuk menegakkan kembali Sunnah Nabawiyyah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui