Langsung ke konten utama

Kalma Katta with Sufyan Sagena; Mungkinkah?

KK-SS, adalah akronim yang kerap digunakan untuk memahami geliat politik “teman tapi mesra” antara Bupati Majene, Kalma Katta (KK) dengan salah seorang bawahannya, Sufyan Sagena (SS). Selain kedua akronim tersebut, istilah MAMMIS dan SIAMASEI juga menjadi ikon penting dalam memoles pola pembacaan kita tentang fenomena politik lokal Majene akhir-akhir ini. Istilah MAMMIS merupakan “mimpi besar” yang ingin diwujudkan oleh seorang Kalma Katta dalam kepemimpinannya, sedang istilah SIAMASEI merupakan “ideologi” seorang Sufyan Sagena, yang ingin dibumikan di Tanah Mandar lama, Majene.
Dalam catatan saya, setidaknya, momentum “bulan madu” itu makin intens dilakukan sejak memasuki medio 2009-2010, tepatnya sejak salah satu organ kepemudaan bernama, Poros Muda Majene (PMM), menggulirkan paket Kalma-Sufyan di media sebagai pasangan ideal untuk memimpin Majene ke depan. Dan puncaknya ketika berada pada bulan Maret hingga April 2010. Beberapa momentum tersebut antara lain: Majene Open-Bupati Cup, Dialog Week End by K3, dan beberapa event kemasyarakatan lainnya. Pertemuannya kadang terencana, namun lebih banyak (dibuat) bersifat dadakan.
Pertanyaannya kemudian, seberapa idealkah kedua figur ini untuk maju sebagai pasangan pada Pemilukada 2011 mendatang?
Tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan kandidat lainnya, saya melihat bahwa ada sisi unik yang dimiliki oleh kedua sosok ini. Keduanya memiliki sisi persamaan, dan perbedaan. Pada sisi persamaan, jelas keduanya terlahir dari cetakan yang sama, yaitu birokrasi. Namun ketika ditilik lebih dalam, terdapat ruang perbedaan yang sesungguhnya saling menopang satu sama lain. Ibarat sebuah mobil, figur Sufyan Sagena berposisi sebagai alat tancap gas-nya, sedang Kalma sebagai rem-nya. Kadang pula Kalma bertindak sebagai Driver utama, sedang Sufyan menunjukkan peta jalan pintas dan singkat menuju tujuan. Bukan hanya itu, baik Kalma maupun Sufyan memiliki kapasitas personal masing-masing. Mari kita membedahnya.
Di mata publik, sosok Kalma Katta boleh dikata mewakili beberapa unsur antara lain:
Pertama, Unsur generasi Tua, generasi adat, yang akrab dengan ranah konvensional. Pada tataran ini, agaknya Kalma tidak begitu sulit untuk menembus kalangan tua utamanya dalam upaya sosialisasi diri menuju kepemimpinan jilid dua. Demikian pula pada level generasi adat, Kalma bukan orang asing di level ini. Beliau ningrat dan terhormat secara historis. Jelasnya, Kalma tidak akan mengalami kegamangan dan rintangan komunikasi yang begitu berarti.
Kedua, karena ke-ningrat-annya pula, Ketua Umum Golkar Majene ini memiliki daya pikat kharismatik yang telah terbentuk sejak puluhan tahun silam. Artinya, untuk persoalan pencitraan dalam upaya menumbuhkan nilai kharismatik, saya kira, Kalma bukan sosok yang sulit untuk dipoles nilai kharismatiknya. Tegasnya, tanpa dipolespun, beliau telah memiliki akar sejarah yang mumpuni. Meski demikian, karakter ningrat yang dimilikinya tidak justeru membuatnya berjarak dari warganya.
Ketiga, terlepas dari diskursus berhasil atau tidaknya, periode kepemimpinan jilid satu telah memberi bekas kepada sekian banyak warga, bahwa Kalma adalah sosok Bupati yang “tidak ribet” dalam melayani warganya, jika tidak ingin disebut masih sangat diperlukan untuk konteks kepemimpinan Majene ke depan. Kalaupun harus menemukan kerumitan, lebih banyak dilakukan oleh oknum bawahannya, yang masih lekat dan erat dengan budaya “senang memeras”. Namun khusus untuk urusan bertemu Bupati, Kalma bukan tipe yang sulit untuk ditemui.
Bukan hanya itu, baginya, jika masih rasional, segalanya masih berhak mendapatkan kebijaksanaan sebagai solusi. Sayanganya, atas ketulusan yang diperagakan itu, Kalma kerap dirundung prahara. Kadang atas ulah bawahan, Kalma yang harus menanggung borok dan menjadi memori catatan hitam bagi siapapun yang hendak menumbangkannya. Pada posisi ini, siapapun boleh menilai fakta ini sebagai bagian dari problem kepemimpinan Kalma yang luput dari kaca mata penguasaan manajerialnya.
Nah, di sinilah, sosok Sufyan Sagena hadir dengan segala macam keliahiannya dalam meng-otak-i manajemen birokrasi yang sarat dengan kepentingan itu. Jabatannya sebagai staf ahli Bupati di bidang pemerintahan, hukum dan HAM makin memberikan ruang legitimasi yang lempang untuk bersuara atas nama staf ahli dalam setiap rancangan telaah staf yang dilakukannya.
Bagi saya, ada sekian point penting dalam mendudukkan figur yang pernah menahkodai KNPI Majene selama dua periode ini. Beliau tidak cukup didudukkan sebatas figur Sufyan Sagena “yang staf ahli” an sich. Karena figur ini mewakili sekian banyak bias dan kepentingan.
Pertama, hadirnya Sufyan Sagena sebagai figur the next leader yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini karena mewakili semangat ke-muda-an. Kehadirannya adalah tumbal perjuangan bagi proses transisi generasi kepemimpinan di Majene. Saya tidak ingin mengatakan bahwa dialah satu-satunya yang mewakili unsur kemudaan. Namun, jika dirunut dari sekian banyak keterlibatannya dalam pentas kepemudaan di Majene, dialah karakter orang muda yang cukup berani berjibaku dengan pola berhadap-hadapan, bukan menikam dari belakang. Ajaibnya, dia mampu memeragakan peran ganda sekaligus.
Mana buktinya? Di satu sisi, Sufyan merupakan bagian dari sistem roda birokrasi yang berjalan, namun pada sisi yang lain, kehadirannya selalu membawa gairah baru yang kadang dianggap tabu oleh sekian banyak rekan kerjanya. Secara gamblang, perilakunya memberi pola dan pemetaan tersendiri terhadap iklim birokrasi di Majene. Bagi yang memiliki paradigma birokrasi open minded dengan gagasan-gagasan progresif dan inovatif, Sufyan Sagena menjadi idola, ikon Pemimpin masa depan. Sebaliknya, bagi yang mencoba melegalkan sistem birokrasi patriarkhi ataupun neo-patriarkhi, Sufyan Sagena menjadi “hantu” yang diharapkan dapat lenyap seketika, berikut “granat intelektual” di belakangnya.
Meski demikian, dalam semangat kemudaannya yang meluap-luap itu, masih terselip bisikan kesantunan terhadap roda transisi generasi untuk tetap eksis menjaga dimensi keadaban dan peradaban. Sehingga, atas nama “tahu diri”, dalam kamus hidupnya tak pernah mengenal sistem kudeta generasi.
Kedua, beliau mewakili karakter intelektual-organik. Riwayat pendidikannya yang sedang menuju puncak prestasi akademik, sebagai kandidat Doktor pada bidang Hukum di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, menjadi dalil bagi siapa saja yang masih meragukan kapasitasnya. Beliau bukan akademisi tulen, namun beliau lincah dalam meracik dan menata pemerintahan secara apik, cantik dan eksotik. Sosok yang beristerikan seorang dokter ini juga bukan seorang yang ahli dalam merancang kurikulum pendidikan sebagai instrumen kesuksesan dalam mewujudkan Majene sebagai Kota Pendidikan, namun mampu menggulirkan konsep tata pemerintahan dengan roda sinergitas lintas stake holder dalam menjadikan persoalan pendidikan sebagai agenda strategis pembangunan secara berkelanjutan.
Ketiga, dalam pergaulannya dengan sejumlah kalangan, kehadirannya mewakili unsur birokrasi yang memiliki mind set yang terbuka, lugas dan luwes terhadap agenda perubahan. Setiap kritikan yang disampaikan kepadanya, menukik sekalipun, akan menjadi “semangat api membara” untuk menata ulang konsep yang dimilikinya. Setidaknya karakter yang disandangnya menjadi bagian dari gairah baru terhadap agenda perubahan tanpa harus menciptakan perlawanan.
Keempat, jika Kalma terlahir dari akar historis yang kental dengan nuansa identitas ke-ningrat-an, maka Sufyan Sagena mewakili kalangan “yang biasa-biasa” saja. Kehormatan yang disandangnya adalah murni karena pergulatan dan jejak historisnya sebagai generasi “nafas baru”. Karir dan jabatan yang diperolehnya bukan disebabkan oleh prinsip symbiosis mutualisme, bukan pula atas dogma “Tangan-Tuhan” yang datang tiba-tiba, apalagi belas kasihan.
Di saat kandidat lain hadir dengan sekian banyak sokongan dana dari berbagai donatur dan koleganya, Sufyan secara tegas menyodorkan karakternya sebagai garansi bagi yang masih bimbang menilainya. Dalam akar “kebiasaannya” itu, ternyata tersimpan ketegasan untuk menyatakan “Tidak” terhadap siapapun yang mencoba merusak tatanan rasionalitas, yang senang membakukan feodalisme birokrasi, dan yang melestarikan kesenjangan dengan jarak yang amat jauh antara pemerintah dengan rakyat.
Inilah ideologi “SIAMASEI” yang menjadi filosofi sekaligus kendaraan ruhani bagi seorang Sufyan Sagena dalam setiap pertarungannya. SIAMASEI menjadi titik sentrum kekuatan sekaligus kelemahannya. Kekuatan SIAMASEI ditebarkan dengan menembus dan melintasi seluruh anak tangga sekat sosial yang selama ini pekat dan beku. Sebaliknya, jikalau Sufyan Sagena harus tumbang dalam mempertaruhkan segala apa yang disandangnya, maka benteng pertahanan bermerek SIAMASEI mesti lebih awal dimusnahkan. Lalu masih bermaknakah kehidupan tanpa kehadiran prinsip itu?
Derap langkah yang digerakkan oleh Kalma-Sufyan akhir-akhir ini dengan mewakili unsur Tua-Muda, Ningrat-Abangan, Kharismatik-Progresif, Orientasi pelayanan-Orientasi kualitas, dan Merakyat-Cerdas, tentu belum menjadi jaminan utuh sebagai paket Pemimpin untuk Majene 2011-2016 mendatang, sebelum sejumlah partai politik menyatakan dukungan dan apresiasinya. Sebelum tim pemenangan keluarga membuka mata, hati dan pikiran, bahwa saat ini, di Majene sedang terbangun berbagai aroma kekuatan baru yang didesain oleh anak-anak bangsa yang meresahkan masa depan, yang mengedepankan rasionalitas di atas segala-galanya.
Kekuatan itu tak tampak dalam gerombolan massa, namun amat terasa riuh gesekannya, hingga menembus berbagai simpul-simpul kekuatan di wilayah yang lain. Simpul-simpul itu sedemikian senyap, saling tak mengenal, non-struktural, kadang timbul-tenggelam, kadang pula tiarap. Namun, bila kumandang SIAMASEI diserukan, mereka bangkit dengan darah yang mendidih, atas nama Perubahan.
Wassalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui