Langsung ke konten utama

Menegakkan Din Muhammad: Missi Imam Huseyn as (Bagian I)

Oleh: Jalaluddin Rakhmat

إن كان دين محمد لم يستقم إلا بقتلي فيا سيوف خذيني
إمام الحسين ع

“Dari ibn Syihab, dari ‘Urwah bin al-Zubayr, dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Abd al-Qari, ia berkata: Aku keluar bersama Umar bin Khathab ra pada malam Ramadhan ke masjid. (kami dapatkan) orang-orang dalam kelompok-kelompok yang terpisah. Ada orang yang salat sendirian, ada orang yang salat kemudian diikuti oleh kelompok. Umar berkata: Aku pikir sekiranya aku kumpulkan mereka pada seorang qari (imam) pastilah sangat baik.

Kemudian ia merencanakan dan mengumpulkan mereka pada Ubayy bin Ka’ab. Kemudian aku keluar bersamanya pada malam yang lain. Orang-orang salat –berjamaah- dengan imam mereka. Umar berkata: ni’ma al-bid’atu hadzihi . Orang yang tidur (sekarang) lebih utama dari orang yang berdiri –maksudnya salat pada akhir malam- padahal manusia berdiri salat pada awal malamnya” (Shahih al-Bukhari 2:252; Al-Muwatha 73; Kanz al-‘Ummal 8:408, hadis 23466).

Hadis di atas dikutip dari Al-Bukhari dengan sanad seperti tercantum di atas. Ibn Syihab, yang ditulis pertama dalam rangkaian sanad, adalah “orang pertama yang mentadwin hadis” (Menurut Imam Malik, lihat Ibn ‘Abd al-Birr, Jami’ Bayan al-‘Ilm 98; Al-Bidayah wa al-Nihayah 9:343; Tarikh Madinat Dimasyq 55/334). Ibn Hajar berkata, “Orang pertama yang mentadwin hadis adalah Ibn Syihab pada permulaan tahun 100 Hijriyah atas perintah Umar bin Abdul ‘Aziz” (Fath al-Bari 1:208).

Seperti dalam kasus salat tarawih, sebuah “bid’ah” berubah menjadi sunnah apabila dilakukan oleh sahabat, khususnya khulafa al-rasyidin. Sahabat seluruhnya adalah teladan, imam-imam petunjuk, dan hujjah agama. Dalam ushul al-fiqh, sunnah shahabat adalah salah satu dari dasar-dasar syariat.

Kembali pada salat tarawih. Para ahli hadis sepakat dengan Umar bin Khaththab bahwa salat tarawih berjamaah itu bid’ah.

Al-Nawawi berkata: (Maka Rasulullah saw meninggal dunia dan urusan tarawih itu seperti itu, seperti itu pula pada zaman khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar), maksudnya, selama ini berlangsunglah urusan itu seperti itu, yaitu setiap orang salat qiyamu ramadhan di rumah masing-masing munfarid. Sampai berakhir awal khilafah Umar. Kemudian Umar menjamaahkan mereka pada Ubayy bin Ka’ab. Berlangsunglah amal tarawih itu dalam jamaah” (Syarh Shahih Muslim, 3:40).

Al-Qasthulani menulis: (Berkata Umar) ketika memandang mereka (ni’ma al-bid’atu hadzihi) Umar menamainya bid’ah karena Nabi saw tidak pernah mensunnahkan berjamaah dalam melakukannya. Tidak juga pada zaman al-Shiddiq, tidak pada awal malam, tidak pada setiap malam, tidak dengan bilangan ini” (Irsyad al-Sari 4:656, Kitab al-Tarawih; lihat juga komentar Ibn Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari 4:219).

Apa yang dibuat Umar memang bid’ah dalam arti sebenarnya, sesuatu dalam agama yang tidak pernah dilakukan Nabi saw. Karena itu Jalaluddin al-Suyuthi menyebutnya sebagai “awwaliyat Umar” seperti yang ia kutip dari Al-‘Askari: “Dialah orangyang pertama digelari Amirul Mukminin, orang yang pertama mensunnahkan qiyam bulan Ramadhan –tarawih- orangyang pertama mengharamkan nikah mut’ah; orang yang menjamaahkan salat janazah dengan empat takbir..” (Tarikh al-Khulafa).

“Aku bertanya kepada Rasulullah saw,”kata Abdullah bin Mas’ud, “Mana yanglebih utama-salat di rumahku atau salat di masjid? Nabi saw menjawab: Tidakkah kamu perhatikan betapa dekatnya rumahku dengan masjid. Salat di rumahku lebih aku sukai daripada salat di masjid kecuali salar wajib (maktubah)” (Al-Targhib wa al-Tarhib, ta’liq Mushtafa Muhammad ‘Imarah, 1:379)

Jadi sunnah Rasulullah saw itu salat sunat dilakukan munfarid dan di rumah. Umar memulai sesuatu yang baru. Salat tarawih yang sunat dilakukan dengan berjamaah dan di masjid. Karena itu ia menyebutnya bid’ah. Tetapi karena bid’ah itu dilakukan oleh sahabat Nabi, yang sekaligus salah seorang dari Khulafa al-Rasyidin, bid’ah itu menjadi sunnah.

Kata Al-Qasthulany, “Qiyam Ramadhan bukan bid’ah karena Nabi saw bersabda: Teladani dua orang sesudahku Abu Bakar dan Umar. Jika sahabat ijmak bersama Umar maka hilanglah nama bid’ah” (Irsyad al-Sari, in loc cit).

Ibn al-Atsir menulis, “Termasuk jenis ini ialah ucapan Umar “ni’ma albid’ah hadzihi”, tarawih karena termasuk perbuatan baik dan terpuji, Umar menyebutnya bid’ah dan memujinya. Memang Nabi saw tidak mensunnahkannya. Ia hanya salat beberapa malam kemudian meninggalkannya dan tidak mendawamkannya, juga tidak menjamaahkan dengan mengajak orang banyak. Tidak juga di zaman Abu Bakar . Umar kemudian menjamaahkannya dan mensunnahkannya. Karena itu ia menyebutnya bid’ah. Pada hakikatnya, ia itu sunnah karena sabda Nabi saw: “’Alaykum bi sunnati wa sunnat al-khulafa al-rasyidin min ba’di” dan sabda Nabi saw: Teladani dua orang sesudahku Abu Bakar dan Umar. (Al-Nihayah 1:106, 107, bab al-Baa ma’a al-Dal)

Kedua hadis di atas telah digunakan sebagai dalil untuk membenarkan bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh sahabat Nabi saw. Secara pelan tapi pasti, sunnah Rasulullah saw digeser oleh sunnah shahabat.

Sekedar sebagai contoh saja, kedua hadis itu digunakan untuk menshahihkan hadis yang dha’if. Mengusap kedua mata dengan kedua ujung telunjuk pada waktu mendengar muadzdzin menyebut nama Nabi saw disebutkan dalam hadis yang disepakati dha’if berasal dari Abu Bakar al-Shiddiq. “Sekiranya hadis ini hanya sampai kepada Abu Bakar al-Shiddiq, cukuplah ini dijadikan alasan untuk mengamalkannya, karena sabda Nabi saw; ‘Alaykum bi sunnati...”(Al-Qari, Al-Asrar al-Marfu’ah 306).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa