Energi bangsa ini terus saja terkuras jika momentum akhir tahun itu tiba. Aksi teror terjadi di berbagai wilayah. Mulai dari kasus perusakan rumah ibadah, hingga tindakan sadis bom bunuh diri.
Ajaibnya, tensi aksi teror terasa kian meningkat dari tahun ke tahun. Tak terkecuali tahun ini yang menimbulkan kepanikan luar biasa di tengah warga. Lebih mencengangkan lagi, sebab peristiwa tersebut terjadi di beberapa tempat pada hari yang sama.
Peristiwa ini jelas bukan lagi dalam batas-batas yang wajar dimaklumi seadanya. Apalagi jika hanya ditangkap dalam frame berpikir jamak sebagai percikan yang tak berpotensi menjadi kobaran api kelak.
Dalam beberapa diskusi terkait gerakan teror ini, doktrin 'merasa suci' masih tetap menjadi tema besar yang melingkupi cara berpikir para pelaku tersebut. Ini dipicu oleh waham yang terlampau besar terhadap realitas di luar diri mereka sebagai makhluk perusak alam semesta. Sebaliknya, di tangan merekalah otoritas kebenaran itu berada.
Dalam perspektif yang cukup sederhana, faktor penguatan wawasan keagamaan adalah bagian penting untuk dicermati lebih dalam. Di sekolah, kehadiran guru agama kini telah berganti seiring dengan masa pensiun mereka yang telah tiba. Datangnya generasi guru agama baru dan perginya guru agama lama juga membuat perubahan pola pendidikan kegamaan di sekolah. Jika dahulu, materi ajar lebih mengedepankan Tauhid dan Akhlak, kini boleh jadi telah bergeser menjadi materi ajar antara Tauhid dan Fiqh. Ditambah lagi dengan penggunaan media pengajaran yang sangat akrab dengan kecanggihan teknologi.
Agar menjadi ingatan bersama, saat ini semangat beragama khususnya generasi muda dihadapkan pada ketersediaan informasi super cepat, gemuk dan berlebihan. Sayangnya, mereka mempelajari ilmu agama sudah tak lagi didampingi oleh seorang pembimbing yang tahu lebih dalam soal agama.
Sementara, 'tampilan' agama pada segmen media sosial didominasi oleh cara beragama yang sangat rapuh. Semangatnya masya Allah, tapi landasannya Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Sikap otodidak atas sajian agama di media sosial ini, rupanya tak sanggup ditelisik secara kritis. Tak ada saringan antara informasi valid atau hoax, sulit dibedakan antara ajakan atau hasutan, dan seterusnya.
Di sinilah penyemaian pertama masuknya gerakan radikal yang bakal berujung teror di kemudian hari. Ada proses doktrinasi yang cukup dalam bersamaan dengan kekagetan budaya yang diperoleh dari berbagai sumber media sosial.
Karena itu, jangan heran jika saat ini ditemukan sejumlah lembaga pendidikan berbasis agama justeru tampak lebih militan meruntuhkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka sedemikian tak punya empati berbangsa, walau sebatas menggelar upacara bendera. Sebaliknya, hormat kepada bendera dipandang sebagai bagian dari praktik kemusyrikan.
Suatu ketika, saya ditanya oleh seorang tokoh di Sulawesi Barat. Temanya seputar identifikasi lembaga pendidikan keagamaan terhadap potensi gerakan radikal. Dengan enteng saya pun memberi tanggapan sama seperti di atas. Tak boleh ada sikap toleran terhadap lembaga pendidikan manapun yang mencoba mendekonstruksi tafsir kebangsaan kita. Apalagi jika hanya berputar di kisaran defenisi semata.
Untuk itu, pemerintah tak boleh melihat sederhana seluruh lembaga pendidikan yang memandang remeh simbol-simbol negara. Jika di sisi ini pemerintah tampil lemah, maka tunggulah bom waktu itu bakal meledak sebagai huru-hara akhir zaman. Ingat, gerakan teror akhir tahun itu telah berlangsung setiap tahun. Sekian.....
Komentar