Langsung ke konten utama

Saat Maulid Nabi saw, Anda Bawa Apa?

Sulit untuk tak mengucap takjub kepada jutaan penduduk bumi yang menggelar tradisi penghormatan beralas cinta kepada Nabi Muhammad saw. Ini telah menjadi tradisi tahunan di seluruh belahan bumi. Mereka menggelar dengan ragam ekspresi cinta. Di antaranya larut dalam bara api kerinduan yang menyisakan tangis penuh harap. Agar kelak, saat hari kebangkitan itu tiba, sosok Muhammad pilihan Tuhan hadir menjadi saksi atas nama kesetiaan kepadanya. Jadilah syafaat sebagai sebab utama mengapa Tuhan menepikan murkanya kepada umat manusia.

Tapi tak dinyana, tradisi penghormatan kepada Nabi Muhammad saw kerap kali berakhir dalam ritual-ritual tanpa makna. Kegembiraan yang diluapkan teramat jauh dari getaran cinta. Yang tersisa hanyalah cerita dan lelucon di antara pengkhotbah dan jamaah. Lalu apa sesungguhnya yang anda bawa saat menghadiri majelis maulid. Apa pula yang anda bawa pulang setelah ritual itu usai? 

Dalam perspektif spiritualisme, bahwa di seluruh majelis kerinduan atas nama maulid, Nabi Muhammad senantiasa hadir menjumpai umatnya. Di antara mereka, ada yang sebatas membawa diri sebatang kara, tanpa kesadaran apakah ia patut dipandang Nabi, saat dirinya masih berlumur dosa.

Kala nyanyian burdah maupun qashidah disenandungkan bersama tabhan rebana, lewat lafaz-lafaz serba puitikal lagi mistikal, sedikit pun tak sanggup diraih sebagai sajak-sajak kerinduan. Kita hanya menyisakan burdah sebagai jenis nyanyian warisan para sufi dan pujangga di negeri Baghdad. Tanpa mampu menyeretnya menuju kesadaran penuh makna. Jadilah kita makhluk pendebat maulid dalam tangkapan teramat rendah; antara bid'ah versus sunnah. Selebihnya hanya sebatas parade kebudayaan yang mewariskan narasi perkawinan agama dengan tradisi penduduk di bumi. 

Pada awalnya kita berangkat menghadiri majelis-majelis itu untuk menemukan kembali kekasih hakiki. Tapi apa daya, semua pulang sebelum Nabi menghampiri batin kita. Semua pulang dengan perut serba kenyang, tapi batin kita tak pernah tenang. Pesan Nabi tak pernah sampai, iman pun tetap melantai. Wajar saja, kekasih hakiki tak pernah dijumpai, sebab kita pun tak sungguh-sungguh mencintai. 

Pesan maulid takkan pernah memiliki jejak-jejak peradaban yang mampu ditarik ke zaman mutakhir, jika tak dibangun dari kesadaran ruhani. Bahwa keteladanan terhadap sosok Agung pilihan Tuhan itu hanya bakal mewujud sejarah yang diulang-ulangi. Jika tak ditempatkan sejurus dengan pengharapan kita pada sang Ilahi. Ringkasnya, mencintai Nabi adalah mata rantai atas pengagungan kita pada sang Ilahi. 

Karena itu, sebelum sampai pada hasrat batin meneladani sosok Nabi Muhammad saw, semaikanlah harapan itu dalam tiga hal: Mendambakan perjumpaan dengan Tuhan (Yarjullah), kesanggupan menghadapi hari akhir (al yaumal akhir) dan melanggengkan zikir pada segenap dimensi ruang dan waktu (dzakarallaha katsiran). 

Sulitlah kiranya menandai diri sebagai sang pecinta sejati jika tak mendambakan perjumpaan. Bukan pula pecinta sejati jika masih diliputi kelalaian atas apa yang didambakan oleh sang 'Yang Dicintai'. Kepatuhan kita kepadanya tidaklah sama dengan kepatuhan bawahan terhadap atasan. Melainkan ekspresi cinta yang bergerak dengan satu harapan pasti, bahwa di hari kemudian Nabi saw akan mencurahkan syafaatnya. 

Karena itu, jika anda tak mampu mengandalkan karya-karya baik di atas kehidupan ini, jika anda tak sanggup menjaminkan diri di hadapan Tuhan, kembalilah ke jalan cinta. Sebab di jalan cinta, sajak-sajak kerinduan teramat dihormati.

Maka, saat Muhammad saw sedang ramai dibicarakan, sambutlah dengan seribu satu macam shalawat, sebagai persembahan terhormatmu kepadanya. Jika esok, nama Muhammad makin jarang terdengar, tetaplah berdiri di barisan para pecinta. Itulah saat paling mendebarkan, untuk menandai siapa sang perindu sesungguhnya. Datangilah majelis Maulid, karena anda sedang rindu. Lalu pulanglah dengan membawa getaran cinta. Allahumma Shalli ala Muhammad wa ali Muhammad.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui