Langsung ke konten utama

Masih 'Adakah' Tuhan di 2017?

Fase kehidupan telah banyak dilumuri aneka modernitas. Manusia yang hadir di dalamnya dipaksa takluk atas dalih melepas diri dari ketertinggalan zaman. Siapa yang tak berpacu dengan sajian kemajuan zaman, ia akan diterkam lalu disekap dalam buntalan generasi tak berguna. Jadilah seluruh rutinitas digerakkan pada ketundukan serba mencekik. Kebutuhan diabaikan, keinginan diagungkan. Kepalsuan dikejar, ketulusan dipinggirkan. Kemerdekaan dimatikan, kerakusan dilanggengkan.

Inilah bentuk kekuatiran jamak bagi manusia yang masih menyisakan satu pertanyaan sebagai tali tasbih agar tak terseret dalam arus dan badai modernisasi. Tali pengikat dalam bentuk kalimat tanya itu; Masih Adakah Tuhan hari ini dan esok?

Pertanyaan menukik ini jelas tak sedang menggusur zat Tuhan sebagai Maha di atas segala-galanya. Namun sedang menggugat gerak zaman yang terus bergulir, menjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk yang berketuhanan. 

Tengoklah rutinitas serta daya kejar manusia dewasa ini. Lebih separuh dari apa yang 
dipertaruhkannya dipahatkan pada titik-titik kepalsuan antara ambisi aktualisasi atau sebaliknya, aktualisasi ambisi. Rumus geraknya hanya disandarkan pada kepercayaan diri mendulang seluruh target kehidupan materi, namun abai terhadap masa depan setelah kematiannya. Desakan kemajuan zaman terlampau dominan di atas kesadaran keabadian. Bisikan batin tak lagi terdengar sebab makin bisingnya konser dan adegan hura-hura.

Realitas ini, dalam konstruksi pemikiran psikoanalisis, sebagai bagian dari bentuk ketidakwarasan manusia modern dalam menyerap hakekat makna kehidupan. Bahkan sekadar untuk memaknai cinta, pun kini telah tergerus sebagai bungkusan-bungkusan yang diperebutkan.

Bagi Erich Fromm (w. 1980), kecenderungan memaknai cinta di zaman ini lebih tepat disandarkan pada nafas Amor eros alias cinta berdasarkan keinginan syahwatiyah belaka. Sementara Caritas dan Agape yang merupakan tipe cinta yang lebih tinggi dan tak mementingkan diri sendiri telah lenyap menjauh dari narasi peradaban. 

Prinsip hidup 'tak ada makan siang gratis', tunduk pada rumus kejar tayang popularitas, aspirasi menjelma dalam wujud rupa korporasi, konstitusi dibelokkan oleh hasrat saudagar yang diamini para bandar, adalah bagian-bagian yang terus dimaklumi. Inilah harga sebuah peradaban yang sedang ditampilkan sebagai simbol kemajuan anak bangsa. Kita benar-benar sedang jatuh tenggelam dalam palung cinta (Falling in Love). Tapi tidak sedang berdiri tegak di atas nafas serta kekuatan cinta (Standing in Love).

Lazimnya, siapapun yang jatuh hanya satu yang didamba. Yaitu diselamatkan dari tragedi kejatuhannya. Ia butuh dipapah, disapih, dikasihi dan disayangi. Sebaliknya, siapapun yang tetap berdiri tegak, lebih kuat memapah, menyapih, mengasihi dan menyayangi. Saat yang jatuh masih mendamba cinta, sementara yang tegak telah menebarkan cinta.

Ironisnya, kesadaran ini kian tumpul seiring dengan makin ganasnya gempuran agenda modernisasi yang disambut permisif. Kehendak menguasai alam semesta dengan segala pernak-pernik kecanggihan teknologi membuat manusia lupa pada kebutuhan hakikinya. Berupa kekuatan menghentakkan jiwa terbang melayang menuju kesadaran keabadian.

Imbas tak terkira atas semua ambisi gila itu membuat suasana di planet bumi terasa sempit-menghimpit, saling sikut, jegal-menjegal, hingga sampai pada sikap tega meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan. Lalu terbangunlah rumus baku; jika ingin maju, berbuatlah tanpa mengenal malu. Bukankah ini bagian dari bentuk kebinatangan yang sedang diperagakan umat manusia? Masihkah pantas digelari sebagai penerima mandat kekhalifahan dari Tuhan?   

Karena itu, jika masih punya setitik rasa percaya bahwa dengan cinta, Tuhan telah menambatkan pesan kekhalifahan kepada manusia, masih patutkah berada di barisan itu? Ataukah kita telah mematikan Tuhan demi ambisi mengejar zaman?

Tahun 2017 adalah bagian dari fase penentuan pilihan itu. Maka, ucapan selamat tahun baru tak ubahnya sedang membongkar kesadaran manusia. Antara pilihan berTuhan di akhir zaman atau sebaliknya, tetap kukuh sebagai manusia yang terus menuhankan zaman.

Jika memilih tetap menuhankan zaman dengan tradisi hura-hura tanpa secuil pun merenungi makna perjalanan menuju keabadian, maka Tuhan pun punya cara jitu menunjukkan 'hura-hura-Nya' di kemudian hari dan di hari kemudian. Jika anda punya terompet tahun baru, Tuhan pun punya terompet kematian. Sekian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui