Langsung ke konten utama

Sekomandi, Catwalk dan Media Fashion

Catatan dari Indonesia Fashion Week 2015 

Saat ini, penelusuran hasil cipta-karsa khas tiap-tiap daerah di Nusantara sedang gencar dilakukan. Setelah diakui bahwa kebesaran suatu bangsa hanya dapat terwujud nyata saat kesadaran akan identitas budaya benar-benar diseriusi pola penggarapannya.

Salah satu hasil karya seni di Sulawesi Barat adalah kain Sekomandi. Hasil karya yang berasal dari Kalumpang dan Bonehau itu, selain karena memiliki daya pikat keunikan, juga dikarenakan narasi kearifan lokal yang ikut tersulam.

Terdapat beberapa motif Sekomandi, yakni: Ulu karua kaselle. Motif ini menggambarkan 8 penguasa setiap kampung sebagai dewan adat yang merupakan pilar. Yaitu To baraq Pondan, To baraq Timbaq, To  baraq Lolo, To pakkaloq, To Maq Dewata, Totumado, Tomakaka, dan To Kamban.

Ada juga motif Leleq sepu. Motif ini merupakan lambang persahabatan dan kekeluargaan. Sedang motif Tomoling merupakan lambang tawakkal (kepasrahan) kepada Tuhan.

Adalah Mahdalia Makkulau, salah seorang perempuan Mandar yang cukup berani menerobos panggung fashion di pentas Nasional. Melalui event Indonesia Fashion Week 2015, ia memperkenalkan Sekomandi sebagai salah satu kekayaan budaya di Sulawesi Barat. Kain tenunan khas Kalumpang.
Ambisinya tak muluk-muluk. Mahdalia rupanya hendak menghentakkan banyak pihak, untuk melirik Sulawesi Barat sebagai salah satu Provinsi yang memiliki buntalan kekayaan budaya.

"Selama ini kita di Mandar baru dikenal karena memiliki sarung sutera bernama Saqbe. Tapi belum banyak yang tahu bahwa selain Saqbe, ada juga jenis kain lain. Sekomandi namanya. Nah event ini kita ikuti dengan mengambil tema To Malaqbi'na. Mudah-mudahan dengan upaya kita ini, nama Sulbar akan dilirik sebagai daerah dengan berbagai rupa-ragam budaya yang berbeda dengan suku maupun etnis lainnya. Saya yakin di Mandar ini kita masih punya banyak kekayaan budaya," ujar Mahdalia Makkulau, di Arena Indonesia Fashion Week 2015, Jakarta Convention Center (JCC), Ahad, 1 Maret lalu.

Tak tanggung-tanggung, Mahdalia yang berprofesi sebagai desainer ini menghadirkan tema Tomalaqbi'na kepada ribuan kaum sosialita dengan menampilkan kain Sekomandi. Bersama sejumlah desainer ternama Indonesia, seperti Asri Welas, Jimmyy Fei Fei, Allerga Jane, Jill Sahara, Ventlee. Serta mereka yang tergabung dalam 16 desainer lainnya, karya Mahdalia ditampilkan lewat peragaan sejumlah model cantik dengan mengenakan kain sekomandi berjalan di atas catwalk.

Mulai dari peragaan Belt loops (Tempat untuk memasukkan ikat pinggang pada ban pinggang), hingga menjadi rok yang dipadupadankan dengan Saqbe Mandar.

Wajar saja, saat hasil karya Sekomandi ini dikenakan oleh para model, decak kagum para hadirin sulit terbendung. Tak henti-hentinya ratusan mata memelototi kain khas Kalumpang itu sembari bertepuk tangan.

Tak heran jika sebelum dimulainya parade The Biggest Fashion Movement itu, Bupati Mamuju, Suhardi Duka (SDK) diundang khusus untuk sebagai tamu kehormatan. SDK sontak berdiri, berjalan menuju Catwalk untuk memberi ucapan selamat kepada Mahdalia atas kerja kerasnya memperkenalkan kain Sekomandi kepada para pegiat fashion.

Kepada sejumah undangan yang sebagian dari kalangan artis, SDK tak henti-hentinya memberikan support atas inisiatif Mahdalia ini. "Saya selaku Bupati Mamuju, tentu sangat mengapresiasi hasil karya ini. Sebab kita berkeinginan agar Sekomandi ini dikenal banyak pihak. Sehingga nantinya, bisa memberi dampak positif terhadap kemajuan pembangunan daerah di Sulawesi Barat. Ini kontribusi nyata yang telah dibuktikan oleh Mahdalia," urai Suhardi.

Kata Suhardi, saat ini Sekomandi tengah dilirik banyak pihak, dikarenakan coraknya yang khas. "Sekomandi itu punya corak tertentu yang membedakan dengan jenis tenunan lainnya," tambahnya.

Tak hanya di atas Catwalk, jenis kain Sekomandi-pun diperkenalkan kepada 6 stasiun Televisi swasta sekaligus. Tentu dengan kepentingan serupa. Bahwa hasil karya tersebut benar-benar mengalami lompatan besar setelah hajatan Indonesia Fashion Week 2015 ini.

Untuk diketahui, saat ini dunia fashion telah merambah untuk menemukan kembali khazanah kebudayaan nusantara. Jika di kalangan pegiat budaya, hasil karya sekelas Sekomandi diyakini sarat dengan makna kearifan lokal. Sementara kalangan desainer memandang bahwa potensi ini layak digaungkan sebagai bagian dari objek industri masa depan, khususnya di Sulawesi Barat.     

"Setelah Sekomandi ini dikenal oleh kalangan desainer, kemudian juga menjadi bagian penting penelusuran kebudayaan oleh teman-teman media fashion, kita berharap agar memiliki dampak positif terhadap pembangunan daerah. Khususnya dalam hal upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujar salah seorang inisiator kerjasama program, Selvi Febriana.


Ke depan kata Suhardi, kain Sekomandi akan memiliki prospek ekonomi yang sangat luas. "Ini akan sangat membantu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka agar menjadi lebih baik. Kita berharap agar ke depan tenunan khas ini dapat benar-benar memiliki daya pikat bagi semua pihak," ungkap Bupati dua periode ini saat diwawancarai sejumlah awak media nasional.

Upaya Mahdalia ini, agaknya menjadi catatan penting bagi banyak pihak. Sebab di tengah gempuran serta kompetisi ekstra ketat dunia fashion, perempuan ini justeru mampu menghadirkan identitas budaya. Desain yang berhasil dipadukan dengan corak kontemporer rupanya menjadi celah berharga, betapa kekayaan budaya di Sulawesi Barat tak boleh diremehkan oleh siapa pun. Terlebih bagi mereka yang mendiami bumi Sulawesi Barat saat ini. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa