Langsung ke konten utama

Mengurai Kebijakan Kesehatan di Majene


Boleh jadi, kesehatan lebih nyaman ‘diparkir’ di halaman takdir Ilahi. Lalu dengan anggapan itu, upaya penanganannya pun tak terpaksa melingkar dalam bentuk yang serba padat regulasi. Namun di situlah sumbatan utama mengapa kebijakan kesehatan di negara dunia ketiga acap kali diposisikan terpinggir.

Setidaknya, asumsi di atas juga makin kuat saat penulis mengikuti lokakarya Monitoring Result for Equity System (selanjutnya disebut MoRES) yang diprakarsai oleh Dinas Kesehatan Majene bekerjasama dengan Unicef, pekan lalu.

Dalam lokakarya itu, ada banyak klaim kesuksesan gugur seketika saat disajikan 6 jurus faktor determinan untuk menangkap frame persoalan sebenarnya. Di Puskesmas Ulumanda misalnya, sektor sarana dan prasarana baru mencapai 12,5 persen. Sementara dari sisi ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM), masih berada di kisaran 30, 8 persen.

Aspek geografis juga memberi kontribusi cukup besar terhadap potensi AKI dan AKB di Majene. Terbukti baru 6 persen capaian yang dapat diraih. Sehingga jika ditakar kualitas layanan kesehatan, khususnya terhadap ibu dan anak masih bertengger di posisi 22,2 persen.
Itu di Ulumanda, sebagai wilayah Kecamatan yang beririsan dengan Mamasa dan Mamuju. Mari membandingkannya dengan Puskesmas Banggae I sebagai salah satu pusat layanan kesehatan di Ibukota Kabupaten Majene. Terdapat 66,66 persen sektor sarana dan prasarana telah tercapai. Demikian halnya dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang mencapai 85,71 persen. Pun dengan akses geografis yang mencapai 89,9 persen. Dan jika dikualitatifkan, persentase kesediaan Ibu Hamil yang melahirkan di PKM Banggae I mencapai 86,66 persen.

Apa artinya? Pertama, bahwa persoalan penanganan AKI dan AKB tak sepenuhnya hanya melingkar dalam tanggung jawab para pelayan kesehatan (baca: Perawat, Bidan, Dokter). Sebab jika ditelisik dari sisi kendala geografis, itu pertanda bahwa persoalan akses jalan juga memberi kontribusi terhadap hilangnya nyawa seorang Ibu saat melahirkan.

Kedua, bukan perkara mudah ketika masalah ini dipertautkan dengan kendala kultural wilayah setempat. Dapat dibayangkan, ketika seorang ibu hamil bertempat tinggal hanya beberapa meter dari Poskesdes, Pustu, atau PKM. Rupanya hal itu tak menjamin bakal melakukan persalinan di tempat tersebut. Mengapa? Sebab ia masih lebih percaya pada sang dukun beranak, meski ia harus berjalan menempuh jarak puluhan kilometer. Jelas ini harus didudukkan sejernih mungkin, agar tak menimbulkan persoalan baru; ada perang terbuka antara Dukun vs Bidan, Doa vs Kapsul.

Ketiga, persoalan anggaran tak melulu sebagai hambatan utama dalam menyelesaikan masalah kesehatan. Sebab faktanya, kesalahan dalam mengarahkan kebijakan, atau lebih subtantif, ketidakberdayaan menemukan perspektif pelayanan yang baik, selalu berujung pada penggelontoran anggaran yang sia-sia belaka. Benarlah kata dr. Willy Kumurur: Anggaran besar tak selamanya sejurus dengan program yang tepat!

Keempat, dari sisi ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM), Majene memang memiliki pasokan yang dapat diandalkan. Persoalannya, jumlah ketersediaan tersebut belum menjawab jumlah AKI dan AKB setiap tahunnya. Problem distribusi SDM ke berbagai wilayah merupakan salah satu mengapa ada satu wilayah, pelayanan kesehatannya makin membaik, sementara di daerah lainnya mampu mengejar ketertinggalan itu.  

Penulis menduga kuat, dari apa yang ditulis oleh Wiko Saputra dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 12, Juli 2013 bahwa Angka kematian ibu, bayi dan balita di Indonesia masih tergolong tinggi adalah benar adanya. Sekaligus merupakan salah satu masalah utama kesehatan.

Karena itu, perlu kiranya kebijakan kesehatan ini dicermati lebih serius. Proses penanganannya sungguh-sungguh tak sama dengan stake holder lainnya. Hal paling urgen sebelum bergerak lebih jauh adalah bangunan perspektif yang sama antar semua pihak bahwa masalah kesehatan bukan tanggung jawab satu pihak semata. Jika dimulai dari hambatan geografis, sepatutnya pemerintah dapat menggulirkan kebijakan agar akses jalan dapat benar-benar dibenahi. Sebelum kita bicara terkait keuntungan kapital, dahulukanlah pertimbangan kemanusiaan. Satu nyawa yang diselamatkan setara dengan menyelamatkan sekian banyak nyawa lainnya. Demikian pesan kitab suci. 

Setidaknya, penulis hendak menukilkan kembali pesan wakil Bupati Majene, Fahmi Massiara saat memberikan sambutannya. Apa katanya? “Tingginya AKI dan AKB masih menjadi masalah. Sehingga penting untuk menemukan penataan lain. Banyak hal yang harus dibangun, baik dalam ide maupun kesepahaman bersama, serta melibatkan stakeholder yang lain”.

Dari kegiatan MoRES ini, tentulah kita berharap agar tak kembali disimpan dalam kotak pandora. Hanya dikenang, tapi tak diulurkan dalam kerangka kebijakan yang lebih strategis. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui