Langsung ke konten utama

Kembalikan Pesantren Baruga; Dari Mana Memulainya?

(CATATAN KHUSUS DI HARI YANG KHUSUS)

Mengawali catatan ini, izinkan saya menghaturkan ucapan maaf beribu maaf atas ketidakhadiran saya pada reuni alumni tahun ini. Sekaligus memberi selamat hari raya Idul Fitri 1431, semoga kita tergolong dalam kelompok al-Aidin dan al-Faizat.

Dalam ketidakhadiran saya tahun ini, terbetik keinginan besar untuk menuangkan setitik pemikiran alternatif sekaligus refleksi atas keberadaan Pondok pesantren tercinta. Secara pribadi, saya termasuk bagian dari kelompok yang dibesarkan dalam beberapa pertautan sejarah tumbuh dan berkembangnya Pesantren yang resmi berdiri sejak tahun 1985 ini.

Sejak itu pula, kebanyakan di antara para alumni yang telah “menjadi orang” saat ini, tetap menyimpan memori seorang Nur Salim Ismail, sebagai Sang bocah yang cengeng, yang kemanapun selalu ikut Bapaknya. Ke asrama, bocah kecil itu selalu ikut, jika ada santri dan santriwati yang sakit ataupun kesurupan tetap saja bertindak sebagai “ajudan kecil” di tengah-tengah kerumunan ratusan Santri yang bertubuh besar.

Sekedar ingin mengungkap deretan nama-nama alumni yang masih segar dalam ingatan saya, semisal Kanda Johan, Yusuf Tahir, Mawardi, Saleh, Muhammad Zaki, Najibah, Nurmawati, Nur Azizah, Yasmaniar, As Alfian dan lain-lain. Deretan nama-nama di atas setidaknya adalah kelompok alumni yang secara nyata akan kaget ketika melihat keadaan saya saat ini. Mereka akan tersadar akan jarak waktu yang telah terlampau lama mereka meninggalkan pondok ini.

Tentu, napak tilas yang terpatah-patah di atas tidak harus disimpulkan sebagai cerita yang menarik bagi siapapun, termasuk saya, namun setidaknya ini menjadi pengantar menuju refleksi kita sebagai alumni atas persoalan kontemporer yang dihadapi oleh Pondok Psantren Ihyaul Ulum DDI Baruga.

Pada dasarnya, tulisan ini, tidak untuk menjustifikasi atas sekian banyak fase perkembangan lembaga pendidikan, semisal Pesantren. Namun sebatas mengantar kita untuk meraba ulang, akankah kita masih menemukan rasa khas dari pesantren ini, ataukah telah hilang ditelan zaman? Sekian tahun kita melakukan reuni, sekian tahun itu pula kita nyatakan ikrar sumpah setia dalam bentuk beragam rekomendasi. Toh, nyatanya hingga detik ini kita belum menemukan lahirnya kesepahaman antara harapan dan relevansi faktawi.

Nah, di titik inilah, baik alumni, maupun pihak internal PP. Ihyaul Ulum DDI Baruga, sebaiknya menjadikan momentum Halal Bi Halal ini sebagai wadah urung rembuk antar sesama, khususnya bagi segenap pihak yang pernah memahatkan nafas hidupnya di lembah Baruga.

Pertama, secara filosofi, Pondok ini bernama Ihyaul Ulum.terinspirasi dari salah satu judul Kitab Imam Al-Ghazali Ihya Ulumuddin; artinya menghidupkan agama. Saya ingin mengulang petuah dari Sang Guru Tercinta,al Mutaram KH. Nur Husain, bahwa penamaan ini juga sekaligus menjadi falasafah gerakan social pondok ini. Bahwa apapun tindak-tanduknya, semuanya bermuara dan berujung pada nuansa Ihya, semangat menghidupkan khazanah keilmuan.

Khusus dalam lingkup internal Pondok ini, terlihat grafik yang menggembirakan dalam hal proses belajar mengajar baik di Madrasah Aliyah maupun di Madrasah Tsanawiyah. Meskipun pada Ujian Nasional lalu, harian sebesar Kompas telah memublikasikan Madrasah Aliyah DDI Baruga telah gagal dalam meluluskan siswanya. Karena, perkembangan pendidikan dewasa ini tidak lagi mengarahkan pada hasil akhir saja, namun telah merambah pada aspek proses yang Ideal.

Itu di sisi Madrasah. Namun bagaimana dengan sisi kurikulum pondok tersebut? Secara spekulatif, saya ingin berucap: Agaknya Pondok ini nyaris gagal dalam menyemaikan roh kepesantrenan yang sesungguhnya menjadi alat pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Dunia pengajian kitab di pondok ini tampak berjalan apa adanya. Bahkan boleh jadi lebih banyak penundaan jadwal pengajian ketimbang pelaksanaannya.

Apa yang harus dibenahi pada sisi ini? Ialah, sebaiknya, pihak internal Pondok secara kolektif merenungkan ulang akan makna filosofi Ihyaul Ulum ini. Sebab jika tak tertangani secara serius, maka pondok ini akan tenggelam dalam nasib yang sama dengan Pesantren lainnya. Hanya dikenal dalam daftar administratif, namun telah lenyap dari ruang eksistensinya.

Pada saat yang sama, saya ingin meneguhkan kembali pahaman kita, bahwa inilah Ideologi kita keluar. Sebuah ideology yang dipancangkan dengan semangat kelimuan, bukan dengan fanatisme tanpa dalil.

Kedua, bahwa sejatinya Pondok pesantren berdiri di atas kepemilikan semua pihak. Dalam konteks PP. Ihyaul Ulum, tentu ini ini merupakan asset besar Orang Baruga, bahkan dalam skala yang lebih makro, dapat disebut sebagai asset orang Sulawesi Barat. Dengan asumsi ini, nyatalah bahwa pelibatan masyarakat dalam rangka membangun nuansa kepesantrenan menjadi niscaya. Pertanyaannya, apakah nuansa tersebut masih tampak di pondok ini? Ataukah telah makin jauh meninggalkan umat? Mari kita menjawabnya dengan fakta yang penuh tanya………

Beberapa tahun terakhir, aktivitas pengajian kini bergeser dari Masjid ke Pondok. Fakta ini jelas mengundang Tanya. Mengapa harus terjadi? Jika kita kita menjawab bahwa banyak kendala pengawasan santri jika ditempatkan di Masjid, maka bukankah itu hanya merupakan jawaban pelampiasan setelah kita gagal dalam bergumul dengan masyaralat lebih luas? Sekiranya, orang Baruga disadarkan akan kepentingan besar yang tersimpan di dalam jantung pesantren ini. Secara timbal balik, pihak internal Pondok mapun masyarakat hendaknya dibangunkan dan disadarkan kembali bahwa Pesantren ini tidak boleh berada dalam ruang tertutup. Ibaratnya, ketika orang menyebut Pesantren, maka yang terbayang bukan hanya sekumpulan gedung sekolah yang ramai di siang hari, namun hening di malam hari.

Tegasnya, Pesantren itu di Baruga dan di Baruga itu, ada pesantren. Baruga adalah Pesantren, dan Pesantren adalah Baruga.

Pada fakta yang lain, beberapa bulan lalu, salah satu yayasan melakukan aksi social dengan pembagian sembako kepada para kaum dhuafa di Pondok ini. Dalam aktivitas tersebut, disinyalir terselip kepentingan missionarisme. Saya tidak ingin mengajak anda pada perdebatan apakah sah menerima bantuan dari pihak agama lain, namun isu sensitif ini telah ikut serta mengaburkan masa depan Pesantren ini.
Di mata public, khususnya di Baruga, telah tercium bau tak sedap, bahwa Pondok ini telah terkapar dalam ruang pragmatisme, tanpa menimbang efek negatif yang lebih menyeramkan. Sikap pikiran instan ini, saya kira perlu untuk segera diredupkan, agar tak berimbas pada bias yang lebih rendah lagi.

Tradisi “permisi” kepada para Kiai dan Ustadz lainnya, saya kira, adalah opsi yang yang dapat dilakukan, guna merekatkan dimensi komunikasi antar sekian banyak kepentingan. Usahakanlah untuk merancang program dengan tidak terkesan sembunyi-sembunyi. Agar tak ada pihak yang merasa diunggulkan, dan yang lain, dikucilkan. Biarkanlah Pondok ini berdiri di atas semua pihak, selama ia memiliki tekad untuk melanjutkan misi kenabian, menyambung risalah keislaman.

Ketiga, sebelum berbicara tentang peranan alumni, kemungkinan terbaiknya adalah menanyakan ulang, Apakah eksistensi ke-alumni-an benar-benar diakui di Pondok ini? Dalam struktur kelembagaan Pesantren, apakah IKAPI DDI Baruga tercantim sebagai lembaga yang diakui? Ataukah hanya sekedar mengakui diri?

Mungkin pertanyaan ini dianggap sepele, meski bukan berarti harus disepelekan. Kadang saya berpikir, apa memang alumni ini teramat diperlukan kehadirannya? Ataukah cukup dengan menggelar reuni tahunan dan arisan saja?

Momentum Latihan Dasar Kepemimpinan misalnya. Pernahkah alumni dilibatkan untuk merancang model training agar terasa lebih berbobot, sebagaimana berbobotnya Training pada era Pak Bardis dan Pak Mukhtar? Ataukah juga telah menjadi ritualitas tanpa makna?
Hal yang patut, diingat, tidak sedikit di antara alumni yang secara personal kurang memiliki kapasisas intelektual, namun dengan modal dan model LDK ala pesantren kita, toh, mereka mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan, menjadi penyejuk di tengah dahaga, dan menjadi pelindung di tengah kegersangan.

Sekali lagi, dengan modal LDK itu, para alumni beranjak meninggalkan pesantren dengan seribu satu macam cara yang menakjubkan. Jadilah mereka Politisi, Polisi, Dosen/ Guru. Kepala Desa, Kepala KUA, bahkan ada juga menjadi Ibu Rumah Tangga yang kerap merekayasa wajah cantik jelitanya menjadi wajah sangar. Mereka dapat berubah menjadi lebih kejam dari pada kejamnya seorang Ibu Tiri terhadap anak-anaknya.

Itulah lika-liku para alumni, yang beranjak meninggalkan pesantren, dengan modal pesantren. Subhanallah……

Akhirnya, dari jauh saya ucapkan Selamat Merayakan reuni Tahun ini. Kepada Para Alumni, jangan lelah mencitai Pesantren, Kepada Para Pengelola Pondok Pesantren, benahi Pesantren, sebelum semua berujung penyesalan, sebelum berakhir sebatas cerita.
Maaf bila salah….

Komentar

Unknown mengatakan…
Adinda Nur Salim Ismail, sy baru menyadari situasi pesantren setelah membaca tulisan anda. Sy kira ke depannya para guru dan alumni harus berani satu kata, bersama meretas dan membuka kembali jalan menuju "addariyah" bagi hidupnya kembali "ilmu" di tengah masyarakat sulbar.
Menurut pendapat sy, sudah bukan lagi jamannya suatu lembaga pendidikan diselenggarakan based on kharisma perseorangan. Bangunan dasarnya harus direorientasi secara profesional (dalam arti sebenarnya) dan batang tubuhnya termasuk kurikulumnya dibenahi hingga guru-guru yang mengajarkannya tidak mengandalkan "jurus mabuk" alias "tiba masa tiba akal".
Jejak mengatakan…
Saya kira ide ini sedang berkecambah menjadi tahap sempurna. Semoga

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui