Langsung ke konten utama

PEMILUKADA; BERMARTABAT ATAU KEPARAT?

Setiap momentum pemilukada, setiap kali pula kita menelan rasa pahitnya. Setiap kali KPU mengumumkan pemenang, setiap kali pula, harus diberondong gugatan. Kecurangan di tiap TPS, dugaan politik uang, mobilisasi (atau lebih tepatnya, eksodus) massa, seringkali menjadi senjata ampuh untuk melakukan tidak kekerasan yang berefek pada sobekan horizontal antar pendukung.

Lagi-lagi, dampak itu berpulang pada rakyat, yang notabene, hanya dilibatkan dalam keributan massa. Tentu, fakta-fakta yang telah terjadi tidak elok jika hanya dipetakan sebagai dinamika demokrasi sebuah negara berkembang yang sedang meniti identitas kesempurnaannya.

Salah satu sebab krusial pada setiap konstalasi politik, ialah sikap pasif publik dalam menerima kehadiran kontestan. Sikap pasif itu ditandai dengan kurangnya minat untuk “menguliti” sang Kandidat secara utuh, dan cenderung menyemplungkan diri dalam kubangan pragmatisme. Bukti nyata dari hal ini, ialah setiap Kandidat hanya dihargai ketika memiliki pasokan finansial yang melimpah. Sebaliknya, Kandidat nyaris tak punya kehormatan atau bargaining apa-apa ketika hanya mengandalkan obsesi idealnya.

Secara bersamaan, mesin partai politik tidak secara proaktif mendorong tumbuhnya iklim demokrasi pada level grass root dengan mengedepankan semangat visi, daripada semangat “gizi”. Lebih ironis, parpol kerap membuka ruang lempang bagi lestarinya semangat pragmatisme di tengah-tengah masyarakat. Atas nama tools, strategi dan taktik, segala cara dihalalkan, semua pihak boleh melakukan. Anarkis sekalipun.

Pertautan yang serba tidak sehat itu, kemudian bertemu pada muara yang sama, yakni, mengunggulkan figur tertentu, dan mengebiri kandidat lainnya. Di sinilah setiap garis kepentingan disambungkan oleh figur. Di sini pulalah, fanatisme disuburkan dengan janji-janji yang belum tentu ditunaikan, dan kebencian pada yang lain, dimakmurkan.

Dengan seribu satu macam gerakan penghasutan dan pembunuhan karakter, yang belum terang benderang kualitas kesahihannya. Makin nyatalah, bahwa ada benih kecacatan konseptual yang demikian halus, dan tak teraba.

Dengan makin suburnya sistem politik figur, makin bersayap pula tradisi politik dinasti di berbagai daerah. Di kalangan masyarakat yang masih kental dengan tradisi paternalistik, pola ini terlihat nyata dan nyaris lestari sepanjang periode. Dengan pola ini pula, tidak mengherankan ketika sistem kepemimpinannya digilir bagaikan pembagian warisan. Maka berlakulah kepemimpinan otokrasi.

Tradisi politik dinasti ini ternyata ikut dilakonkan oleh orang-orang yang memiliki modal besar. Dengan garis finansial yang melimpah, mereka halalkan politik rasa uang, merangsek, melucuti dan meracuni nurani politik publik. Pola ini kemudian makin menyuburkan praktik politik transaksional, dan pemilukada menjadi bagian dari “barang dagangan” musiman sekali dalam lima tahun. Partai pengusung-pun menjadi bulan-bulanan, karena hanya diposisikan sebatas “souvenir”, tak ada daya gigit, apalagi daya gugat.

Resiko ekstrem kedua yang kita hadapi bersama adalah terhambatnya roda pembangunan yang terencana jangka panjang. Mengapa? Karena segala program pembangunan tidak lagi berorientasi pada skala jangka panjang, melainkan sebatas menguras kas Negara untuk melunasi utang politik kepada sekian banyak tim sukses dan pembagian “kue” kekuasaan kepada setiap jaringan korporasi di belakang layar. Belum lagi jika anggaran Negara habis terkuras demi pelunasan biaya pemilukada, yang berlangsung lebih dari satu putaran. Inilah yang_ oleh F. Budi Hardiman_, disebut sebagai tindakan politik kaum keparat, yang mengeliminasi gaya politik yang bermartabat.

Kemenangan Sang Kandidat dengan beragam janji politiknya, kemudian berlanjut pada aksi percepatan pembangunan boleh jadi didapati di setiap lokus dan tempus, namun pernahkah kita membidiknya lebih dalam? Bahwa di balik gerakan percepatan itu, kerap mengakibatkan kesemrawutan tata ruang kota, dan makin amburadulnya sistem perencanaan jangka panjang. Sekali lagi, karena kita masih menganut, bahkan ikut melestarikan semangat dinasti dan transaksi dalam dunia politik. Publik teramat pasif memandang persoalan ini sebatas spekulasi lima tahunan, dan kurang memikirkan nasib bangsa untuk sekian tahun mendatang.

Jika demikian halnya, akankah kita harus memberangus tradisi politik dinasti atau sekalian menjungkir balik pemerintahan yang sedang berjalan dengan dalih, perubahan? Bagi saya, dalih inipun tak selamanya memberi garansi. Karena, gagasan tentang perubahan-pun acap kali mengalami distorsi makna secara berulang kali, hingga kata perubahan dipahami sebatas penggantian rezim kepemimpinan saja.

Akan jauh lebih memiriskan hati ketika mereka yang berselimut dalam jubah “perubahan” justeru menggiring opini publik, menuju penciptaan politik dinasti gaya baru, dinasti yang mengunggulkan finansial, dan meminggirkan semangat rasional. Saya menyebutnya sebagai rezim korporasi-neo feodal.

Desain politik gaya inipun tentu tak salah jika turut dikategorikan sebagai tindakan keparat, alias tak bermartabat, yang endingnya menempatkan ruh demokrasi menjadi kian sekarat.

Skepstisisme inilah yang kemudian makin menguatkan asumsi kita, bahwa selama ini pertarungan politik, di tiap daerah, dengan beralaskan figur, teramat subur dilakonkan. Dalam menjalankan agenda demokrasi, ternyata kita belum sungguh-sungguh mengembannya sebagai amanat keumatan, mandat kemanusiaan. Juga belum secara bening niat setiap elit politik untuk melakukan pendidikan politik dalam arti yang seluas-luasnya.

Dan secara nyata, kita dapat berkesimpulan, bahwa elit politik masih cukup kerdil dalam memahami subtansi pemilukada. Di benak mereka, logika menang-kalah menjadi domain yang tak tersaingi. Adapun soal agenda kerja pasca pemilukada, biarlah dipikirkan di kemudian hari. Bukankah realitas ini makin menguatkan skeptisisme kita, bahwa siapapun yang bakal menjadi pemenang bakal berperilaku sama, bertangan besi, dan sewenang-wenang?

Belum cukup sampai di situ, isu mutasi pasca pemilukada merebak bagai hantu gentayangan di setiap lingkup birokrasi. Bagi setiap pimpinan SKPD yang membelot, siapkanlah diri anda untuk masuk dalam daftar orang-orang yang terdampar dengan nasib, non Job. Sedangkan bagi yang terdeteksi sebagai bawahan yang loyal, sekalipun harus menggugurkan kehormatan dan profesionalismenya, nikmatilah guyuran hujan kenikmatan itu, atas hasil jerih payah selama ini.

Untuk keluar dari kemelut yang kian tak sehat ini, diperlukan langkah pematahan mind set pragmatis dan mengukuhkan mind set ideal terhadap tradisi perpolitikan kita. Jika selama ini, masih teramat kuat usaha mengunggulkan figure, mengukuhkan finansial, maka sudah saatnya asumsi tersebut dipatahkan, lalu semua pihak secara objektif menggiring pandangan politiknya pada semangat cita ideal bernama, Visi dan Misi. Bahwa siapapun figurnya, itu tak masalah. Karena di atas semua itu, segalanya ditentukan oleh sejauhmana sang Kandidat mampu memaparkan visi idealnya di depan publik.

Kentalnya keawaman rakyat terhadap makna subtansi pada setiap perhelatan pemilukada, mengharuskan setiap elit politik untuk bergerak lebih progresif, dengan jaminan ketulusan hati, menuntun konstituen masing-masing, dalam memahami dan memaknai arti penting kehadiran sang Pemimpin.

Siapapun dia, dari manapun asalnya, bukan hal yang mesti dirisaukan. Maka mulai detik ini, risaukanlah masa depan bangsa ini. Dengan sendirinya, anda sedang menggeser relung jiwa anda menuju garis hidup yang lebih bermartabat. Bukan keparat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa