Langsung ke konten utama

NARASI PILGUB DAN ISYARAT TERITORIAL

Perhelatan menuju pemilihan Gubernur Sulawesi Barat 2011 mendatang, telah menimbulkan beragam spekulasi politik. Bagi yang mengharapkan munculnya mekanisme baru dalam penataan Sulbar, tentu memberi opsi agar ke depan, dapat ditemukan figur, selain, Gubernur saat ini, Anwar Adnan Saleh.


Bukan hanya itu, pemilih opsi ini melihat pesimis akan lahirnya sebuah sistim pemerintahan yang bersih dari praktik-praktik KKN, bila masih harus mempertahankan roda pemerintahan yang saat ini sedang bekerja.


Bagi yang lain, mereka tetap mengukuhkan diri pada argumentasi, bahwa sosok incumbent masih sangat diperlukan, apalagi jika dikaitkan dengan terobosan-terobosan jitu yang dilakukannya selama ini.


Program perbaikan infrastruktur misalnya, tentu bukan hal yang dapat diremehkan begitu saja. Ibarat hutan belantara, Pak Anwar datang “merobek” jazirah Mandar dan berupaya memolesnya semungil dan seeksotik mungkin, dengan harapan agar rakyat Sulbar tidak melulu menempatkan diri sebagai orang yang dicibir dan terkucilkan sepanjang zaman di negeri ini.


Tidak kurang dari setahun belakangan ini, beragam opsi tentang figur ideal sang calon Gubernur mendatang telah mencuat ke permukaan. Isu ini telah menjadi konsumsi publik berkelas elit hingga kelas mandor.


Dalam benak publik telah hadir semacam tanda tanya besar tentang siapakah yang layak menahkodai Sulbar ke depan? Maka untuk menjawabnya, teradapat tiga pertimbangan yang menjadi landasan atau rujukan.


Pertama, seorang pemimpin ideal untuk masa depan Sulbar, haruslah berasal dari unsur pejuang Sulbar yang selama ini telah menghibahkan harta dan kehormatannya, demi tegaknya secara hukum, nama Provinsi Sulbar sebagai Provinsi yang ke-33 di Indonesia. Alasan rasionilnya mudah ditemukan.


Pada aspek pertimbangan historis, yang memahami seluk beluk rancang bangun Sulawesi Barat adalah mereka yang sejak awal telah berjibaku serta dipandang mampu untuk menyambungkan antara harapan (idealitas) para pendahulu dengan kenyataan (realitas) yang dihadapi oleh rakyat. Dan pada aspek pragmatisnya, mungkin boleh disebut sebagai “ucapan terima kasih”. Meskipun demikian, gejala ini juga memberi sinyal masih kentalnya virus post power syndrome di kalangan para pejuang.


Ternyata, dalam opsi ini juga terdapat sekian banyak faksi-faksi yang saling berbenturan satu sama lain. Dalam faksi tersebut, telah bermunculan suara kekesalan atas kinerja dan komitmen politik dari seorang Anwar Adnan Saleh. Pak Anwar kemudian digelari sebagai orang paling mudah berjanji, namun teramat sulit menunaikan setiap kata yang telah dilontarkan.


Ada lagi yang beranggapan bahwa Pak Anwar tidak komitmen dalam menjalankan roda pemerintahan, di atas spirit mandar malaqbiq. Bukti dari argumentasi tersebut didasari oleh makin banyaknya anggaran yang “bocor”, dengan perampungan program yang terlunta-lunta, dan berujung pada makin tidak berwibanya wajah pemerintahan di bawah kepemimpinannya.


Kinerja salah satu pimpinan SKPD, yang belum lama ini diobrak-abrik oleh pihak DPRD Provinsi misalnya, telah memberikan bukti sahih, bahwa memang, di Sulbar sedang muncul beragam persoalan krusial.


Dengan muara yang sama, namun dalih yang berbeda, justeru tetap kukuh menganggap Pak Anwar masih sangat dibutuhkan untuk sekian tahun mendatang. Mengapa? Karena Pak Anwar teramat piawai dalam “merayu” dan memainkan hasrat korporasi dari sekian banyak investor, baik di level nasional, terlebih di tingkat Internasional. Ditambah lagi dengan basis partai pengusungnya (baca: Golkar) yang_ selama ini dikenal_ tidak pernah lepas dari lingkaran kekuasaan.


Di sisi ini, ada beberapa nama yang dipandang elok menjadi representasi pejuang Sulbar, diantaranya: Ma’mun Hasanuddin, Rahmat Hasanuddin, Hatta Da’i, Aruchul Tahir, dan Syahrir Hamdani.


Kedua, adapula yang mengusulkan agar ke depan, Sulbar dipimpin oleh orang-orang yang selama ini tumbuh dan berkembang dari pijakan massa yang riil. Mereka di antaranya terdiri dari para elit politik, dan elit Agama.


Jikapun tidak dapat menduduki kursi utama sebagai Gubernur, setidaknya dapat menempati posisi sebagai pejabat Wakil Gubernur. Kedua elit ini dipandang mampu merepresentasikan diri sebagai pendulang suara secara massif.


Deretan nama-nama semisal Salim Mengga (Partai Demokrat), Said Saggaf (PKS), Ali Baal Masdar (Nasdem), Suhardi Duka (Golkar), Naharuddin (Barnas), dan Asri Anas (DPD), mungkin boleh dikatakan sebagai representasi elit politik di Sulbar. Dan satu-satunya nama yang merepresentasikan diri sebagai elit agama (baca: tarekat) yang mencuat dalam bursa ini, yaitu KH. Syibli Sahabuddin.


Isyarat Teritorial


Ketiga, opsi yang berkembang dewasa ini bahwa pemerintahan di Sulbar mutlak dipimpin oleh salah seorang putra terbaik dari Kabupaten tertentu di Sulawesi Barat. Menurut saya, jika opsi pertama dan kedua di atas masih memiliki pertimbangan-pertimbangan dan argumentasi atas nama kewajaran, maka pada opsi ketiga ini, saya belum menemukan, apa yang menjadi alas pikir yang dapat diterima oleh akal sehat, sehingga dapat menjadi pertimbangan politik nantinya. Bahkan, sekedar untuk menyebut namapun, amat terasa tidak pantas, apalagi untuk mendaulat siapa sebetulnya yang paling layak disebut sebagai putera terbaik dari setiap Kabupaten.


Bagi saya, alas berfikir demikian justeru makin menunjukkan sikap yang tidak dewasa dalam menghadapi era kekinian yang makin kompetitif. Jikapun dipaksakan, maka pilihan ini akan memiliki bias yang cukup merugikan, utamanya dalam upaya merekatkan nilai-nilai esensial orang Mandar secara umum.


Kita pun dapat bertanya, atas alasan apa sehingga seorang Calon Pemimpin di Sulbar harus berasal dari latar belakang Kabupaten tertentu? Bukankah ini semakin membuka ruang yang terang benderang, bahwa masih ada pihak yang cenderung ambisi terhadap kekuasaan namun, teramat miskin lagi primitif dengan alasan-alasan rasionilnya, serta tidak mempersiapkan kapasitas internalnya sejak dini?


Resiko sosial yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya iklim disintegrasi teritorial antar Kabupaten. Karena setiap Kabupaten akan mengusung figurnya masing-masing, atas nama putra terbaik, sekalipun tidak pernah memiliki jejak historis sebagai cikal bakal Putra terbaik.


Pemilihan Gubernur Sulbar 2011 mendatang sesungguhnya bukan sekedar siapa memilih siapa. Bukan pula sebatas pesta penentuan siapa menggantikan siapa. Pilgub bukan ajang gagah-gagahan. Pilgub juga bukan arena pembagian giliran “kue” kekuasaan antar Kabupaten silih berganti.


Bagi saya, sekeras dan setegang apapun arus perpolitikan yang sedang menggelinding, tidak harus menyulut berbagai pihak untuk melakukan spekulasi, namun tidak memikirkan efek positif negatif dari hasil tuturnya.


Idealitas pemimpin


Sampai di sini, kitapun akan bertanya-tanya, apakah yang dapat dijadikan barometer untuk menemukan figur yang mendekati nilai kepatutan?


Jawabnya, temukanlah sosok pemimpin dari mereka yang memiliki kapasitas bergaransi, yang ditandai dengan jejak intelektual yang mumpuni, berkinerja baik, serta tidak cacat sosial. Dari manapun dia, dan apapun Kabupatennya. Temukanlah mereka sebagai orang yang memang benar-benar layak disebut pemimpin, bukan orang yang cenderung dipaksakan menjadi pemimpin.


Panduan ini, tentu terlalu abstrak rasanya. Namun setidaknya, ini menjadi spirit dasar bagi semua pihak, daripada sekedar mendebat soal isyarat teritorial pada pilgub yang akan datang. Karena itu, masing-masing pihak hendaknya membuka ruang untuk saling mengakui kelebihan, saling menghargai kehormatan.


Dengan begitu, kita telah turut menjadi penyumbang atas hadirnya iklim egaliter dan demokratis di Tanah Mandar. Intinya, siapapun berhak menjadi pemimpin, asalkan didasari oleh kesadaran utuh, bahwa dipundaknya sedang terpikul sekian banyak hajat hidup dan amanat rakyat Sulbar.


Selamat bertarung, Selamat berkompetisi!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa